Selasa, 30 November 2010

Materi Pendidikan Islam:
Pendidikan Seks dalam Perspektif Hadis

Oleh: Bukhari Umar

Islam begitu gigih menyeimbangkan pertumbuhan manusia sehingga pembentukannya sesuai dengan tabiat yang telah diciptakan Allah dan juga sesuai dengan fithrah yang telah digariskan Allah. Demikianlah bahwa keseimbangan dalam segala hal merupakan salah satu bagian dari karakter Islam yang istimewa.
Dorongan seksual yang telah diciptakan oleh Allah dalam diri manusia menjadi sebab kelangsungan seluruh makhluk hidup, termasuk juga umat manusia. Allah telah menjadikan masa tertentu untuk bisa melakukan hal ini agar manusia bisa meneruskan keturunan. Syara' menamakan masa ini sebagai masa pembebanan (taklif). Jika seorang anak telah memasuki masa ini, ia mempunyai tanggung jawab terhadap segala hal yang dilakukannya.
Agar dorongan seksual pada diri anak bisa berjalan dengan normal tanpa ada pembangkit dari luar yang menyebabkannya menyimpang dari perilaku yang lurus, Islam menjaga anak dan menuntutnya dengan berbagai perintah dan larangan. Hal itu dimaksudkan agar dorongan seksual yang dimilikinya itu bisa terarah secara baik serta bisa tetap seimbang dan bersih tanpa adanya penyimpangan, bersih tanpa noda.
Lalu apa saja pilar-pilar dan kaidah-kaidah yang digariskan Rasulullah di dalam membina dorongan seksual anak? Ini penting untuk dikemukakan agar kedua orangtua bisa mengikuti apa yang telah digariskan oleh Nabi  untuk kemudian menjaga anak mereka dari penyimpangan seksual. Begitu juga agar fitrahnya bisa tetap terpelihara. Pilar-pilar tersebut antara lain adalah memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan, posisi tidur miring ke kanan, tidak menelungkup, membiasakan anak menundukkan pandangan dan memelihara aurat. Sehubungan dengan ini ditemukan beberapa hadis, di antaranya:
1.      Memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan:
عَنْ عبد الله قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ.[1] رواه أبو داود
Dari Abdullah, Rasulullah saw. berkata: “Suruhlah anakmu mendirikan salat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah mereka karena meninggalkannya ketika ia berumur sepuluh tahun. (Pada saat itu), pisahkanlah tempat tidur mereka.

Yang berhubungan dengan sub tema ini adalah pada saat itu (umur 10 tahun), pisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan. Mengapa demikian? Menurut Muhammad Suwaid, karena saat itu naluri anak mulai tumbuh. Lalu bagaimana pemisahan anak itu dilakukan? Yang dilakukan adalah jangan sampai dua anak itu tidur dalam satu selimut. Jika keduanya tidur masing-masing dalam satu kasur, atau satu ranjang dengan selimut yang berbeda, tidak mengapa. Namun bila keduanya saling dijauhkan, maka itu lebih baik dan lebih utama.[2]
A1-Allamah Syaikh Waliyullah Ad-Dahlawi berkata, “Perintah pemisahan tempat tidur ini disebabkan karena masa-masa seperti itu merupakan masa-masa pubertas, sehingga jika tidak diatur maka bisa-bisa anak akan melampiaskan nafsu seksualnya. Dengan demikian haruslah jalan kerusakan ini ditutup lebih dini sebelum hal itu terjadi.[3]
Tidur di satu ranjang di bawah satu selimut bisa menyebabkan naluri seksual anak akan tumbuh dengan cepat sehingga bisa menimbulkan berbagai indikasi penyimpangan seksual. Betapa sering hal itu terjadi tanpa disadari oleh kedua orangtua. Hal itu bisa menyebabkan kehancuran anak-anak itu karena kesalahan orangtua mereka yang tidak memperhatikan petunjuk Nabi. . Padahal, beliau tidaklah mengucapkan kata-kata berdasarkan keinginan belaka, melainkan merupakan wahyu yang diturunkan. Beliau menyampaikan perintah kepada kita dengan begitu jelas, “Pisahkanlah!. Orang beriman tentu akan memenuhi perintah ini. Adakah pendidikan Barat maupun Timur memberikan bimbingan yang seelok bimbingan Nabi ini?
2.      Posisi Tidur Miring ke sisi kanan, tidak menelungkup
Sehubungan dengan ini, Rasulullah SAW. bersabda:
عن البراء بن عازب رضي الله عنهما قال: قال لي رسول الله صلى الله عليه و سلم  إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضوْءَكَ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ اْلأَيْمَنِ ....[4] رواه البخارى

Dari al-Barra' bin 'Azib, ia berkata: Rasulullah SAW. berkata kepadaku bila engkau mendatangi tempat tidurmu (mau tidur),maka berwuduklah seperti wuduk untuk salat kemudian tidurlah dengan miring ke sisi kanan.
Dalam hadis di atas, Rasulullah saw. menyuruh sahabat tidur dengan posisi miring ke kanan setelah berwuduk. Apa kaitannya dengan pembinaan seks?
Muhammad Suwaid menjelaskan bahwa meneladani sunnah Rasulullah dalam tidur dengan cara berbaring pada sisi kanan akan menjauhkan anak dari sekian banyak gelombang seksual anak ketika tidur. Nabi menganggap tidur menelungkup sebagai tidurnya setan. Tidur telungkup menyebabkan terjadi banyak gesekan alat kelamin anak, yang akan membangkitkan syahwatnya. Jika kedua orangtua mendapati anaknya tidur dalam kondisi seperti itu, maka mereka harus segera mengubahnya serta menyuruhnya agar tidur miring pada sisi kanan dan jangan sampai tidur telungkup. Di samping itu, tidur telungkup juga bisa menimbulkan banyak penyakit jasmani. Semua dokter, tanpa terkecuali, menasihatkan agar mejauhi tidur telungkup.[5]
3. Membiasakan Anak Menundukkan Pandangan dan Memelihara Aurat
Sehubungan dengan ini, terdapat hadis Rasulullah saw. sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ الْفَضْلُ بْنُ عَبَّاسٍ رَدِيفَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَجَاءَتْهُ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ تَسْتَفْتِيهِ فَجَعَلَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصْرِفُ وَجْهَ الْفَضْلِ إِلَى الشِّقِّ الآخَرِ...[6]. رواه أبو داود
Dari Abdullah bin Abbas, ia berkata, “Adalah Al-Fadhl bin Abbas membonceng Nabi SAW lalu datanglah seorang wanita dari Khats’am yang meminta fatwa kepada beliau. A1-Fadhl kemudian memandang perempuan itu dan ia pun memandangnya. Lalu Rasulullah memalingkan wajah Al-Fadhl ke sisi yang lain.
Dalam hadis ini, Rasulullah saw. memalingkan wajah remaja Al-Fadl ibn Abbas yang sedang saling melihat dengan seorang wanita. Beliau melakukan hal itu karena khawatir akan dipengaruhi oleh setan dan menimbulkan nafsu syahwatnya.
Pandangan merupakan jendela bagi anak untuk melihat dunia luar. Apa saja yang dilihat oleh kedua matanya akan terpatri di dalam benak,  jiwa dan ingatannya dengan cepat. Jika ia dibiasakan untuk menundukkan dan menjaga pandangannya dari aurat, disertai dengan adanya rasa selalu diawasi oleh Allah, hal itu akan me1ahirkan kemanisan iman yang bisa dirasakan oleh anak.[7]
Menundukkan pandangan terhadap aurat pasangan jenis merupakan pengamalan dari perintah Allah antara lain dalam Alquran Surat Al-Nur/24: 30-31:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (30). Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Berdasarkan ayat dan hadis di atas, seyogianya orangtua dan guru selalu mengingatkan kepada putra/putri dan murid-murid mereka agar senantiasa menjaga pandangan mata terhadap aurat pasangan yang bukan muhrim. Bersamaan dengan itu, perlu sekali diingatkan agar mereka senantiasa menutup aurat agar orang lain tidak terpancing untuk melihat yang tidak halal.



[1]Abu Daud, Op.cit., Juz 1, h. 133
[2]Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid, Mendidik Anak Bersama Nabi Saw. Panduan Lengkap Pendidikan Anak Disertai Teladan Kehidupan Para Salaf, Judul Asli "Manhaj al-Tarbiyyah al-Nabawiyyah li al-Thifl", Terjemahan Salafuddin Abu Sayyid,  (Solo: Pustaka Arafah, 2004), cet. ke-2, h. 378
[3]Syah Waliyullah Ad-Dahlawi, Hujjatullah Al-Bâlighah, 1/186.
[4] Al-Bukhariy,  Op.cit., Juz 4, h. 2546
[5] Muhammad Suwaid, Op.cit., h. 379
[6] Abu Daud, Juz 2, h.161. Hadis yg semakna juga diriwayatkan oleh Bukhari dan Tirmizi
[7] Muhammad Suwaid, Op.cit., h. 374
Materi Pendidikan Islam:
Pendidikan Intelek/Akal dalam Perspektif Hadis

Oleh: Bukhari Umar

Pendidikan akal adalah  proses meningkatkan kemampuan intelektual anak, ilmu alam, teknologi dan sains modern sehingga anak mampu menyesuaikan diri dengan kemajuan ilmu pengetahuan dalam rangka menjalankan fungsinya sebagi hamba Allah dan khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan oleh Allah. Sehubungan dengan ini ditemukan hadis antara lain:
عن بن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم تَفَكَّرُوْا فِي آلآءِ اللهِ وَلاَتَتَفَكَّرُوْا فِي اللهِ.[1] رواه الطبرانى
Dari Ibn Umar, ia berkata:Rasulullah saw. bersabda: berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah SWT dan jangan kamu memikirkan "esensi, zat" Allah.
Dalam hadis ini, Rasulullah saw. mendorong umatnya agar berpikir sebebabas-besarnya asal di daerah ciptan-Nya, alam semesta. Akan tetapi karena keterbatasan akal, Allah melarang memikirkan zat Allah karena akan menimbulkan kesalahan dan kerusakan.
Rasulullah SAW juga memperingatkan sikap takild buta yang selalu menuruti dan mengikuti pendapat orang lain. Diriwayatkan dari Hudzaifah RA, bahwa Rasulullah SAW pernah berkata:
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ تَكُونُوا إِمَّعَةً تَقُولُونَ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَحْسَنَّا وَإِنْ ظَلَمُوا ظَلَمْنَا وَلَكِنْ وَطِّنُوا أَنْفُسَكُمْ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوا وَإِنْ أَسَاءُوا فَلاَ تَظْلِمُوا[2].رواه الترمذى
Dari Khuzaifah, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: Janganlah kalian semua menjadi penjilat (oportunis) yang mengatakan bahwa (sekelompok,) manusia telah berbuàt baik kepada kami karena mereka telah berbuat baik dan mengatakan bahwa mereka telah berbuat zalim kepada kami karena mereka berbuat zalim kepada kalian. Akan tetapi, persiapkanlah diri kalian semuanya, jika ada manusia telah berbuat baik, maka kalian harus berbuat baik. Dan jika mereka berbuat buruk, maka janganlah kalian berbuat zalim.
Dalam hadis ini, Rasulullah SAW menganjurkan kepada umatnya supaya menggunakan akalnya dalam membedakan antara kebenaran dan kebatilan atau antara kebaikan dan keburukan. Rasulullah SAW juga menganjurkan kepada umatnya supaya meyakini hasil berpikir yang benar dan baik serta melarang umatnya untuk mengikuti pendapat orang lain, apalagi meniru amalan mereka tanpa berusaha meneliti kebenarannya. Supaya umatnya dapat berpikir dengan benar, maka Rasulullah SAW bertindak tegas memerangi khurafat sebagaimana terlihat dalam hadis berikut ini:
 عن الْمُغِيرَةَ بْنَ شُعْبَةَ يَقُولُ انْكَسَفَتِ الشَّمْسُ يَوْمَ مَاتَ إِبْرَاهِيمُ ، فَقَالَ النَّاسُ انْكَسَفَتْ لِمَوْتِ إِبْرَاهِيمَ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِىَ ». رواه البخارى
Dari Al-Mughirah, ia berkata: terjadi gerhana matahari ketika anak Rasulullah SAW Ibrahim, meninggal dunia. Para sahabat berkata bahwa gerhana matahari itu terjadi karena kematian Ibrahim. Maka, Rasulullah SAW mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan tanda Tuhan, keduanya tidak akan tenggelam (gerhana) karena kematian atau kebidupan seseorang. Apabila kamu melihat keduanya, maka berdoalah kepada Allah dan dirikanlah salat.

Dalam hadis ini dengan tegas Rasulullah SAW. telah menolak kepercayaan yang tidak memiliki dasar (khurafat). Bahkan, Rasulullah SAW. mengancam keras orang-orang yang percaya kepada hasil ramal dukun, shir  dan tukan tenung.
Rasulullah SAW juga memerangi setiap bentuk ilusi dan khurafat. Dan karena beliau memerangi segala bentuk ilusi dan khurafat ini, maka dengan sendirinya beliau telah membebaskan akal sahabatnya dari pengaruh ilusi
dan khurafat tersebut. Beliau juga telah membangkitkan cara berpikir yang benar dan membangun budaya berpikir untuk pertumbuhan peradaban Islam. Kondisi ini memungkinkan munculnya masa kebangkitan ilmiah dalam Islam.[3]
Dalam proses pembelajaran yang mengacu kepada pencerahan akal, Rasulullah saw. sering melakukan dialog dengan para sahabat. Di antaranya dapat dilihat dalam hadis berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ.[4] رواه مسلم
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: Tahukah kamu apa yang dikatakan ghibah"? Sahabat menjawab, Allah dan Rasulnya yang lebih tahu. Beliau berkata: Kamu menyebut saudaramu tentang hal-hal yang tidak disukainya (di belakangnya). Dikatakan kepadanya, bagaimana kalau yang disebut benar terdapat pada diri orang yang diperkatakan itu. Jawab Rasulullah, jika benar terdapat pada dirinya apa yang kamu katakan itu, maka kamu telah melakakukan ghibah. Bila tidak benar, maka kamu telah mengada-ada.
Dalam hadis ini, Rasulullah SAW. telah menggunakan metode tanya jawab (dialog) untuk merangsang pikiran para sahabat. Kendatipun dalam hal ini, sahabat menyerahkan jawabannya kepada Nabi, namun paling tidak Nabi telah membuka cakrawala berpikir mereka. Itu akan berbeda bila beliau langsung menjelaskan materi yang diinginkannya tanpa diawali dengan pertanyaan.
Metode tanya jawab ini memang sangat banyak keuntungannya bagi peserta didik dalam mengembangkan pemikirannya. Armai Arif mengemukakan keuntungan metode tanya jawab ini. Di antaranya: (1) Mendorong murid lebih aktif dan bersungguh-sungguh, dalam arti murid biasanya kurang mencurahkan perhatian, maka dengan diskusi ia akan lebih berhati-hati dan aktif mengikuti pelajaran, (2). Walau agak lambat, guru dapat mengontrol pemahaman atau pengertian murid pada masalah-masalah yang dibicarakan, (3). Pertanyaan dapat memusatkan perhatian siswa sekalipun ketika itu siswa sedang ribut, Jadi metode tanya jawab bisa digunakan dalam berbagai kondisi khususnya dalam situasi di mana konsentrasi murid melemah, (4).  Merangsang siswa untuk melatih dan mengembangkan daya fikir, termasuk daya ingatan, dan (5). Mengembangkan keberanian dan keterampilan siswa dalam menjawab dan mengemukakan pendapatnya.[5] Dengan demikian,  Rasulullah SAW. telah menggunakan metode yang efektif dalam proses pembelajaran.



[1]Al-Thabraniy, Al-Mu'jam ah-Awsath li al-Thabraniy, Juz 6, h. 250 dalam Al-Maktabah al-Syamilah.
[2]Al-Tirmiziy, Op.cit., Juz 3, h. 246
[3]Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Perspektif Hadis, Judul Asli "Al-Hadîs wa 'Ulûm al-Nafs" Terejemahan Zaenuddin Abu Bakar dan Syafruddin Azhar, (Jakarta: PT PustakaAl Husna Baru, 2004), cet. ke-1, h. 152
[4] Muslim, Op.cit., Juz 4, h. 2001
[5]Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), cet. ke-1, h. 143
Materi Pendidikan Islam:
Pendidikan Sosial dalam Perspektif Hadis

Oleh: Bukhari Umar

 

Pendidikan sosial adalah  suatu proses pembinaan kesadaran sosial, sikap sosial dan keterampilan sosial agar anak dapat hidup dengan baik dan wajar di tengah-tengah lingkungan masyarakatnya. Sehubungan dengan ini terdapat hadis-hadis, antara lain sebagai berikut:
a. Orang Beriman harus bersatu
عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ.[1] رواه البخارى
Dari Abu Musa, Nabi saw. bersabda: Sesungguhnya seorang mukmin bagi mukmin yang lain laksana satu bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain sambil memasukkan jari-jari tangannya satu sama lain.
Dalam hadis ini, Rasulullah SAW. memberikan motivasi persatuan antara sesama orang beriman dengan metode perumpamaan. Perumpamaan yang beliau gunakan sangat sederhana dan mudah dipahami oleh siapa saja yang melihatnya.
b. Orang Beriman Harus Saling Mencintai
عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلاَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ.[2] رواه البخارى
Dari Anas, Nabi saw. bersabda: Tidak beriman salah seorang kamu sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
Dalam hadis ini, Rasulullah saw. menegaskan bahwa kesempurnaan iman seseorang itu belum akan diperoleh bila ia tidak mencintai saudaranya. Itu berarti bahwa Rasulullah saw. memberikan motivasi yang sangat besar kepada umatnya agar memiliki rasa dan perilaku sosial yang baik. Motivasi seperti ini juga perlu diberikan oleh orang tua dan guru pada saat ini.
c. Orang Beriman Harus Saling Membantu
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ ....[3] رواه مسلم
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang melapangkan seorang mukmin dari satu kesulitan dunia, Allah akan melapangkannya dari satu kesulitan hari kiamat. Siapa yang memudahkan dari satu kesulitan, Allah akan memdahkannya dari kesulitan dunia dan akhirat. Siapa yang menutup aib seorang muslim, Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah selalu menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya....
Dalam hadis ini, ada empat informasi, yaitu: (1). Allah akan melapangkan hamba-Nya yang melapangkan orang lain, (2). Allah akan memudahkan urusan hamba-Nya bila ia memudahkan urusan orang lain, (3). Allah akan menutup aib seorang hamba yang menutup aib hamba saudaranya, (4). Allah akan menolong setiap hamba yang menolong saudaranya. Semua urusan ini adalah urusan sosial.
Manusia adalah makhluk sosial. Ia tidak mampu hidup sendiri-sendiri. Dalam berbagai hal, manusia membutuhkan bantuan orang lain. Oleh sebab itu, manusia harus hidup secara sosial. Ia tidak boleh mementingkan diri sendiri. Untuk itu, Rasulullah SAW. mendidik umatnya agar menjadi makhluk sosial dengan metode ganjaran atau motivasi yang besar.



[1] Al-Bukhariy, Juz 1, h. 199-200
[2] Ibid., h. 16
[3] Muslim, Juz 4, h. 2074

Materi Pendidikan Islam: Pendidikan Jasmani dalam Perspektif Hadis


Oleh: Bukhari Umar
Pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari pendidikan total yang mencoba mencapai tujuan untuk mengembangkan kebugaran jasmani, mental, sosial, serta emosional bagi masyarakat, dengan wahana aktivitas jasmani.[1] Dalam pengertian ini terlihat bahwa pendidikan jasmani menekankan pada proses pendidikan yang menggunakan aktivitas jasmani untuk mendapatkan kebugaran dalam berbagai hal.
Di antara tujuan pendidikan jasmani adalah menjaga dan memelihara kesehatan badan, seperti: alat-alat pernafasan, peredaran darah, pencernaan makanan, melatih otot-otot dan urat saraf, melatih kecekatan, ketangkasan dan sebagainya.[2] Sehubungan dengan ini, ditemukan beberapa hadis sebagai berikut:
a. Memanah:
عَنْ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولُ وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ.[3] رواه مسلم
Uqbah ibn Amir berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda ketika beliau sedang berada di atas minabar: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi. Ketahuilah bahwa sesungguhnya kekuatan itu adalah  memanah! Ketahuilah bahwa sesungguhnya kekuatan itu adalah  memanah! Ketahuilah bahwa sesungguhnya kekuatan itu adalah  memanah!
Rasulullah SAW. mempunyai perhatian yang serius terhadap olahraga memanah ini. Hal itu dapat dipahami dari satu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari ‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhani.
عن عقبة بن عمير الجهانى مَنْ تَعَلَّمَ الرَّمْيَ ثُمَّ تَرَكَهُ فَقَدْ عَصَانِي.[4] رواه ابن ماجه
Siapa yang telah mempelajari memanah lalu ia tinggalkan berarti ia sudah mendurhakaiku”.
Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa orang yang sudah trampil memanah harus memelihara ketrampilan itu. Meninggalkannya dipandang sebagai salah satu bentuk pelanggaran terhadap anjuran Rasulullah SAW. Itu berarti bahwa beliau sangat mementingkan olahraga ini.
Al-Bazzar dan Thabrani meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Hendaklah kamu memanah karena ia adalah permainanmu yang terbaik.”[5] Senada dengan itu, al-Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. pernah memberikan motivasi kepada sahabat agar mereka bergairah memanah.[6]
Memanah pada dasarnya adalah menggunakan senjata. Senjata dapat berkembang sesuai dengan perubahan zaman. Karena pada saat ini senjata sudah beraneka ragam, maka anjuran memanah itu dapat pula berarti anjuran menggunakan senjata yang modern.

b. Berkuda:
Sehubungan dengan olahraga berkuda ditemukan pula riwayat dari Rasulullah SAW.  Di antaranya hadis riwayat Ibnu Majah dari ‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhani:
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ... ارْمُوا وَارْكَبُوا وَأَنْ تَرْمُوا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ تَرْكَبُوا وَإِنَّ كُلَّ شَيْءٍ يَلْهُو بِهِ الرَّجُلُ بَاطِلٌ إِلَّا رَمْيَةَ الرَّجُلِ بِقَوْسِهِ وَتَأْدِيبَهُ فَرَسَهُ وَمُلَاعَبَتَهُ امْرَأَتَهُ... .[7]   رواه ابن ماجه
Memanahlah dan kenderailah olehmu (kuda). Namun, memanah lebih saya sukaidaripada berkuda. Sesungguhnya setiap hal yang menjadi permainan seseorang adalah batil kecuali yang memanah dengan busurnya, mendidik/melatih kudanya dan bersenang-senang dengan istrinya.
Dari hadis di atas dipahami bahwa berkuda dan memanah termasuk olahraga yang disukai oleh Rasulullah SAW. Kemampuan berkuda dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan tugas-tugas kehidupan termasuk berdagang dan berperang. Dalam konteks zaman sekarang, anjuran mengenderai kuda dapat pula diterjemahkan sebagai anjuran menguasai penggunaan teknologi transportasi. Hal ini sangat dibutuhkan oleh umat Islam.
c. Menjaga Pola Makan
Pola makan seseorang akan berpengaruh kepada kesehatan jasmaninya. Oleh sebab itu, selain bahan makanan yang memenuhi persyaratan, polanya harus baik, yaitu tidak berlebihan. Hal ini sesuai dengan firman Allah Surat al-A'raf/7: 31. Hal itu didukung oleh hadis Rasulullah SAW.  Di antaranya hadis riwayat al-Bukhari, al-Tirmizi, dan Ahmad dari Ibnu ‘Umar:
عن ابن عمر قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المْؤُمِنُ يَأْكُلُ فِى مِعًى وَاحِدٍ. وَالْكَافِرُ يَأْكُلُ فِى سَبْعَةِ أَمْعَاء. رواه البخارى.[8]ُ
Ibnu ‘Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Orang yang beriman itu makan dengan satu usus (perut), sedang orang kafir makan dengan tujuh usus.
Menurut M. Syuhudi Ismail, secara tekstual hadis tersebut menjelaskan bahwa usus orang yang beriman berbeda dari usus orang kafir. Pada hal dalam kenyataan yang lazim, perbedaan anatomi tubuh manusia tidak disebabkan oleh perbedaan iman. Dengan demikian, pernyataan hadis itu merupakan ungkapan simbolik. Itu berarti harus dipahami secara kontekstual.
Perbedaan usus dalam matan hadis tersebut menunjukkan perbedaan sikap atau pandangan dalam menghadapi nikmat Allah, termasuk tatkala makan. Orang yang beriman memandang makan bukan sebagai tujuan hidup, sedangkan orang kafir menempatkan makan sebagai bagian dari tujuan hidupnya. Karenanya, orang yang beriman mestinya tidak banyak menuntut dalam kelezatan makan.[9] Itu berarti juga bahwa orang yang beriman itu harus membatasi makanannya. Makan harus didasarkan pada kebutuhan tubuh bukan pada selera nafsu belaka.
d. Menjaga Kesersihan
Kebersihan sangat berpengaruh kepada kesehatan dan keadaan jasmani seseorang. Oleh sebab itu,  Rasulullah SAW. sangat memperhatikan masalah kebersihan ini. Wujud perhatian beliau dapat dilihat dalam hadis berikut ini:
عن أبي مالك الأشعري قال  : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم الطُّهُوْرُ شَطْرُ الإِيْمَانِ ... [10]
Abi Malik bercerita bahwa Rasulullah SAW. bersabda, kebersihan itu sebagian dari iman …(HR Muslim dari Abi malik al-Asy’ariy)

Rasulullah SAW. senang kepada keteraturan, kebersihan, pemandangan yang indah dan yang baik-baik. Beliau benci kepada ketidak-teraturan, kekotoran, pemandangan yang jelek dan bau busuk. Wuduk sebelum salat itu adalah kebersihan dan ibadah. Mandi adalah kebersihan. Islam mengajak kepada kebersihan tubuh, hati, pakaian, rumah dan jalan.[11]
Bukti perhatian Rasulullah SAW. terhadap kebersihan dapat dilihat dalam hadis-hadis baik fi’liyah maupun qauliyah. Di antaranya, beliau telah memberikan keteladanan dalam hal menjaga kebersihan. Beliau senatiasa menggosok gigi, mandi dan beristinjak sehabis buang hajat. Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi SAW. menggosok gigi ketika masuk (datang) ke rumahnya.[12] Huzaifah berkata, Nabi SAW. ketika bangun pada malam hari untuk salat, beliau membersihkan mulutnya dengan siwak (menggosok gigi).[13]
Menjaga kebersihan mulut dan gigi sangat besar manfaatnya bagi kesehatan. Membiarkannya dalam keadaan kotor dapat mengundang berbagai penyakit, bahkan bila berlangsung lama, kotoran mulut dan gigi dapat membawa malapetaka bagi kesehatan seseorang. Perhatian dan kesungguhan Nabi menjaga kebersihan tersebut perlu dicontoh walaupun teknik dan alat yang dipergunakan dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Perhatian Rasulullah SAW. yang lebih serius lagi terhadap masalah kebersihan gigi dan mulut ini dapat dilihat dalam hadis riwayat Muslim dari Abi Hurairah:
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى المُؤْمِنِيْنَ (وَفِى حَدِيْثِ زُهَيْرٍ، عَلَى أُمَّتِى) لأََمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عَنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ.[14] رواه مسلم
Sekiranya tidak akan memberatkan bagi orang-orang yang beriman (dalam riwayat Zuhayr, bagi umatku) tentu aku menyuruh mereka menggosok gigi ketika mendirikan setiap salat.
Dari beberapa hadis di atas terlihat bahwa Rasulullah saw. sangat memperhatikan kebersihan dan kesehatan jasmani. Itu berarti bahwa beliau mendidik umatnya agar memperhatikan jasmani dengan mtode keteladanan dan motivasi.


[1]Sukintaka, Filosofi Pembelajaran & Masa Depan Teori Pendidikan Jasmani , (Bandung: nuansa, 2004), h. 16 
[2] M.Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, cet. ke-6, Bandung: Remaja Rosda Karya 2009, cet.ke-19, 188
[3]Al-Hafizh Abi Abdillah Muhammad ibn Yazid Al-Qazwiniy (Al-Qazwiniy), Sunan Ibn Mājah, Juz II, (t.t.: Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th), h. 940
[4]Ibid.
[5]Lihat, Abdullah ‘Ulwan, Tarbiyat al-Awlād fi al-Islām, I, (Beirut; Dar al-Salam, 1401 H  = 1981 M), h. 215
[6]Al-Bukhariy, Op.cit., Juz 2, h. 1134
[7]Al-Hafizh Abi Abdillah Muhammad ibn Yazid Al-Qazwiniy, loc.cit
[8]Al-Bukhariy., Op.cit., Juz 3, h. 2231
[9]M.Syuhudi Ismail, op. cit., h. 21
[10]Muslim, Op.cit., Juz I, h. 203
[11]Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi, ‘Azhamat al-Rasûl Shallâ Allâh ‘Alayh wa Sallam, (t.tp. Dar al-Qalam, 1966), h. 317
[12] Muslim, op.cit., Juz I,  h. 220
[13]Lihat, Al-Bukhari, op. cit., Juz 1, h. 109
[14]Muslim, op. cit., h. 220

Materi Pendidikan Islam: Pendidikan Hati dalam Perspektif Hadis

Oleh: Bukhari Umar

Pendidikan  hati merupakan bagian dari pembinaan ruhani yang ditekankan pada upaya pengembangan potensi jiwa manusia agar ia senantiasa dekat dengan Allah cenderung kepada kebaikan dan menghindar dari kejahatan. Sehubungan dengan ini terdapat hadis-hadis, antara lain sebagai berikut:
عن أبي هريرة ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ.[1] رواه ابن حبان
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah tidak memandang bentuk dan hartamu, tetapi Dia melihat hati dan pekerjaanmu.
Dalam hadis ini, Rasulullah saw. menegaskan bahwa Allah SWT lebih menghargai hati yang  bersih dan amal saleh daripada bentuk tubuh yang cantik, gagah dan harta yang banyak. Itu berarti bahwa sebagai hamba Allah, setiap muslim harus berupaya mendapatkan yang lebih baik menurut Rab-nya. Dalam hadis lain, Rasulullah saw. menegaskan betapa pentingnya fungsi hati dalam kehidupan seseorang. Hadis itu adalah:
عَنْ النُّعْمَان بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « الْحَلاَلُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ ، وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، فَمَنِ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِيِنِهِ وَعِرْضِهِ ، وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى ، يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ . أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى ، أَلاَ إِنَّ حِمَى اللَّهِ فِى أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ ، أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ.[2] رواه البخارى
Nu‘man bin Basyir bercerita bahwa dia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Perkara yang halal telah jelas dan yang haram telah jelas pula. Antara keduanya ada beberapa perkara yang diragukan yang tidak diketahui hukumnya oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menjauhi perkara-perkara yang diragukan itu berarti dia memelihara agama dan kesopanannya. Barangsiapa mengerjakan perkara yang diragukan, sama saja dengan penggembala yang menggembalakan ternaknya di pinggir jurang, dikhawatirkan dia terjatuh ke dalamnya. Ketahuilah, semua raja mempunyai larangan dan ketahuilah pula larangan Allah adalah segala yang diharamkan-Nya. Ketahuilah dalam tubuh ada segumpal daging. Apabila daging itu baik maka baik pula tubuh itu semuanya. Apabila daging itu rusak, maka binasalah tubuh itu seluruhnya. Ketahuilah, daging tersebut ialah hati.
Di antara informasi yang terdapat dalam hadis di atas adalah  keadaan hati seseorang sangat menentukan semua kondisinya, yang meliputi perkataan, sikap dan perbuatannya. Artinya bila hati seseorang dalam keadaan bersih dan sehat, maka semua perkataannya, sikap dan perbuatannya akan baik. Sebaliknya, bila hatinya kotor, maka semua produk dirinya akan jelek pula. Di sini, Rasulullah SAW. sesungguhnya memberikan motivasi yang sangat besar kepada umatnya untuk berusaha membersihkan hati dari segala sifat yang tidak baik sekaligus menghiasinya dengan semua sifat yang baik.
Apa yang merusak dan mengotori hati seseorang dan bagaimana membersihkannya? Pertanyaan itu akan dijawab oleh hadis berikut ini:
عن أبي هريرة : عن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيْئَةً نُكِتَتْ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سَقَلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيْدَ فِيْهَا حَتَّى تَعْلُو قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللهُ { كَلاَّ بَلْ رَّانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ }[3]. رواه الترمذى
Abi Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya hamba apabila berbuat satu kesalahan (dosa), maka hatinya dihinggapi oleh satu noda hitam. Apabila ia berhenti (berbuat salah), memohon ampun kepada Allah dan bertaubat, maka hatinya dibersihkan dari noda tersebut. Akan tetapi jika ia mengulangi (kesalahannya), maka noda hitam itu akan bertambah sampai menutupi hatinya. Itulah "al-rân" yang disebut dalam Alquran (كلا بل ران على قلوبهم ما كانوا يكسبون).
Hadis di atas menunjukkan bahwa hati seorang mukmin dikotori oleh dosa yang dilakukannya. Semakin banyak dosanya, semakin kotor hatinya. Bila terus menerus berbuat dosa, maka hatinya akan gelap diliputi oleh noda hitam, sehingga tidak dapat menerima nasihat, saran dan pelajaran dari siapa pun. Solusi yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW. adalah bertaubat, dengan cara berhenti berbuat dosa dan mohon ampun kepada Allah, lalu kerjakan kebaikan.
Sehubungan dengan penyucian hati, selain hadis di atas adapula petunjuk Rasulullah SAW. seperti dalam hadis berikut:

عن ابن عمر ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « إِنَّ هَذِهِ الْقُلُوْبَ تَصْدَأُ ، كَمَا يَصْدَأُ الْحَدِيْدُ إِذَا أَصَاَبهُ المْاَءُ » قِيْلَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، وَمَا جَلاَؤُهَا ؟ قاَلَ : « كَثْرَةُ ذِكْرِ الْمَوْتِ وَتِلاَوَةُ الْقُرْآنِ.[4] رواه البيهقى
Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya hati ini bisa berkarat bagaikan besi berkarat bila dikenai air. Ditanyakan orang, bagaimana membersihkannya ya Rasulullah SAW.?Beliau menjawab: Perbanyak mengingat mati dan perbanyak membaca Alquran.
Hadis di atas memberikan petunjuk bagaimana membersihkan hati, yaitu dengan dua hal besar, banyak mengingat mati dan banyak membaca Alquran. Bila seseorang banyak mengingat mati, maka ia akan termotivasi untuk beribadah, mengerjakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Dengan banyak beribadah, hati seseorang akan menjadi tenang dan tenteram. Demikian juga dengan membaca Alquran. Membaca Alquran di sini tentu bukan sekedar membaca (mengeja huruf demi huruf serta lagu belaka) tetapi diikuti dengan memahami dan mengikuti tuntutan ayat tersebut.


[1]Ibn Hibban, Shahih Ibn Hibban, Juz 2, h. 278 dalam al-Maktabah al-Syamilah
[2] Al-Bukhariy, Op.cit., 1, h. 32
[3] Al-Tirmiziy, Op.cit., Juz 5, h. 105
[4]Al-Baihaqiy, Sya'b, Op.cit.,, Juz 5, h. 26 dalam al-Maktabah al-Syamilah.

Materi Pendidikan Islam: Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Hadis


Oleh: Bukhari Umar


Kata akhlak (akhlaq) adalah bentuk jamak dari kata khuluq. Kata khuluq berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.[1] Abdul Hamid Yunus berpendapat bahwa akhlak ialah sifat-sifat manusia yang terdidik.[2] Al-Ghazali mengemukakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan bermacam-macam perbuatan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[3] (Al-Ghazali, t.th.: 56).
Pendidikan akhlak adalah proses pembinaan budi pekerti anak sehingga menjadi budi pekerti yang mulia (akhlaq karimah). Proses tersebut tidak terlepas dari pembinaan kehidupan beragama peserta didik secara totalitas.
Sehubungan dengan pendidikan akhlak ini, Rasulullah SAW. telah mengemukakan banyak hadis, di antaranya:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو - رضى الله عنهما - قَالَ لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - فَاحِشًا وَلاَ مُتَفَحِّشًا وَكَانَ يَقُولُ « إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحْسَنَكُمْ أَخْلاَقًا.[4]
Abdullah bin Amr RA, berkata, “Nabi SAW bukan seorang yang keji dan bukan pula bersikap keji. Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik akhlaknya’.”
Hadis ini memuat informasi bahwa Rasulullah SAW. memiliki sifat yang baik dan memberikan penghargaan yang tinggi kepada orang yang berakhlak mulia. Itu berarti bahwa akhlak mulia adalah suatu hal yang perlu dimiliki oleh umatnya. Agar setiap muslim dapat memiliki akhlak mulia, ia harus diajarkan dan dididikkan kepada setiap anak muslim.
Agar para sahabat dan umatnya memiliki akhlak yang mulia, beliau memberikan motivasi yang sangat menarik. Di antaranya seperti yang disebutkan dalam hadis berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ « تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ ». وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ « الْفَمُ وَالْفَرْجُ »[5] رواه الترمذى
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw.ditanya tentang faktor yang paling banyak memasukkan (orang) ke dalam sorga. Beliau menjawab: bertakwa kepada Allah dan berakhlak mulia. Beliau ditanya pula tentang faktor yang paling banyak membawa orang ke neraka. Beliau menjawab: Mulut dan kemaluan.
Dalam kedua hadis di atas terlihat bahwa Rasulullah saw. sangat menginginkan umatnya berakhlak mulia. Untuk mencapai keinginan tersebut, beliau menggunakan motivasi, targhîb dan tarhîb. Untuk bertakwa kepada Allah dan berakhlak mulia itu diperlukan perjuangan yang berat karena manusia menemui banyak rintangan dalam kehidupannya. Oleh sebab itu diperlukan motivasi yang tinggi. Karenanya Rasulullah SAW. menggunakan motivasi, targhîb dan tarhîb.
Allah mengutus Rasulullah SAW untuk menyempurnakan akhlak manusia. Pendidikan akhlak mengutamakan nilai-niilai universal dan fitrah yang dapat diterima oleh semua pihak. Beberapa akhlak yang dicontohkan Nabi SAW di antaranya adalah menyenangi kelembutan, kasih sayang, tidak kikir dan keluh kesah, tidak hasud, menahan diri dan marah, mengendalikan emosi dan mencintai saudaranya. Akhlak yang demikian perlu diajarkan dan dicontohkan orang tua kepada anak-anaknya dalam kehidupan sehari-hari. [6] Orang tua mempunyai kewajiban untuk menanamkan akhlakul karimah pada anak-anaknya yang dapat membahagiakan di alam kehidupan dunia dan akhirat.9 Pendidikan akhlakul karimah sangat penting untuk diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya dalam keluarga.[7]
Al-Gazaly, Ibnu Sina dan John Dewey sama pandangannya bahwa pembiasaan, berbuat (praktek), menekuni perbuatan, mempunyai pengaruh besar bagi pembentukan kebaikan akhlak.  Dalam pemikiran mereka itu, terdapat teori “perkembangan moralitas” (akhlak).[8] Dengan demikian,  adalah pasti jika dikatakan bahwa akhlak baik tidak dapat terbentuk kecuali dengan membiasakan seseorang berbuat sesuatu pekerjaan yang sesuai dengan sifat akhlak itu. Jika seseorang mengulang-ulangi berbuat sesuatu tertentu maka berkesanlah pengaruhnya terhadap perilakunya dan menjadi kebiasaan moral dan wataknya.


[1]Louis Ma’luf, Qâmûs al Munjid, (Beirut: al-Maktabah al-Katulikiyah, [t.th.]), h. 194
[2]Abd al-Hamid Yunus,, Dairat al-Ma’arif, (al-Qahirah: al-Sya’b, [t.th.]), juz 2, h. 436
[3]Al-Ghazali, Op.cit., h. 56
[4]Al-Bukhari, Op.cit., Juz 2, h. 1398
[5] Al-Tirmiziy, Op.cit., Juz 3, h.  245
[6] Irwan Prayitno, Anakku Penyejuk Hatiku, (Bekasi: Tarbiyatuna, 2004), cet.ke-2, h. 493  
[7]Khalil Al-Musawi, Bagaimana Membangun Kepribadian Anda. (Jakarta: Lentera, 1999), h. 21.
[8]Ali Al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, Judul Asli, "Dirâsah Muqâranah fi al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah, Terjemahan M. Arifin, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), cet. ke-1, h. 158

Materi Pendidikan Islam: Pendidikan Akidah dan Ibadah dalam Perspektif Hadis

Oleh: Bukhari Umar

Pendidikan akidah adalah proses pembinaan dan pemantapan kepercayaan dalam diri seseorang sehingga menjadi akidah yang kuat dan benar. Proses tersebut dapat dilakukan dalam bentuk pengajaran, bimbingan, dan latihan. Dalam penerapannya, pendidik dapat menggunakan berbagai metode yang relevan dengan tujuan yang ingin dicapai. Sehubungan dengan ini terdapat hadis-hadis antara lain:
عن عمر بن الخطاب قال: بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم ذاَتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدٌ بَيَاضُ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النبي صلى الله عليه و سلم فَاَسْنَدَ  رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفََّيْهِ عَلَى فَخْذَيْهِ وَقَالَ يَا مُحَمَّدٌ أَخْبِرْنِي عَنِ الإِسْلاَمِ فَقَالَ رسول الله صلى الله عليه و سلم الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَتَصُوْمُ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ صَدَّقْتَ قَالَ فَعَجَبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ قاَلَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِيْمَانَ قاَلَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَملاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ قَالَ صَدَّقْتَ قاَلَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِحْسَانِ قاَلَ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لمَ ْتَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ  ....[1] رواه البخارى ومسلم.
Umar ibn al-Khatthâb meriwayatkan: pada suatu hari ketika kami berada di dekat Rasulullah saw., tiba-tiba datang kepada kami seorang laki-laki yang sangat putih pakaiannya, sangat hitam rambutnya, tidak terlihat padanya tanda-tanda dalam perjalanan dan tidak seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Sampai ia duduk di dekat Nabi SAW. lalu ia menyandarkan kedua lututnya pada kedua lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas paha Nabi, lantas berkata, "Hai Muhammad! Beritahukan kepada saya tentang Islam! Rasulullah saw. bersabda: Islam itu adalah  pengakuan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah  utusan Allah, mendirikan salat, membayarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadan, dan menunaikan haji bagi orang yang sanggup. Lelaki itu berkata: Engkau benar. Umar berkata, 'kami tercengang melihatnya, ia bertanya dan ia pula yang membenarkannya'. Selanjutnya laki-laki itu berkata lagi: Beritahukan kepada saya tentang iman!  Rasulullah saw. menjawab: Iman itu adalah  keyakinan kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhirat dan qadar baik dan buruk. Laki-laki itu berkata: Engkau benar. Selanjutnya, ia berkata lagi: Beritahukan kepada saya tentang ihsan! Rasulullah saw. menjawab: ihsan itu adalah  Engkau menyembah Allah seakan-akan Engkau melihatnya. Jika kamu tidak bisa melihat-Nya, maka rasakanlah bahwa Dia melihatmu….
  
Hadis ini diriwayatkan oleh beberapa orang mukharrij, antara lain: Bukhari, Muslim, dan Tirmizi dalam kitabnya masing-masing. Walaupun secara redaksional terdapat perbedaan antara riwayat-riwayat tersebut, namun kasus yang disampaikannya sama. Hadis ini muncul setelah Malaikat Jibril bertanya kepada Nabi saw. tentang  iman, Islam, ihsan, dan hari kiamat. Ketika itu, beliau sedang berada di tengah-tengah sahabat. Untuk menjawabnya, nabi mengucapkan  hadis di atas.
Analisis Kependidikan:
Dari hadis di atas dapat diambil beberapa pelajaran penting tentang masalah pendidikan, yaitu:
   1.   Dalam hadis di atas dinyatakan bahwa Jibril datang mengajarkan agama kepada sahabat Nabi. Dalam proses ini, Jibril berfungsi sebagai guru, Nabi sebagai nara sumber, dan para sahabat sebagai peserta didik.
   2.   Dalam proses pembelajaran, jibril sebagai guru menggunakan metode tanya jawab. Metode ini efektif untuk menarik minat dan memusatkan perhatian para peserta didik.
   3.    Materi pengajaran agama Islam dalam hadis tersebut meliputi aspek-aspek pokok dalam ajaran Islam, yaitu: akidah dan syari’ah serta akhlak. Ajaran Islam diajarkan secara integral, tidak secara parsial.
Sehubungan dengan materi pendidikan, yang pertama dalam hadis di atas adalah persoalan akidah.
Islam menempatkan pendidikan akidah pada posisi yang paling mendasar, yakni terposisikan sebagai rukun yang pertama dalam rukun Islam yang lima, sekaligus sebagai kunci yang membedakan antara orang Islam dengan non Islam. Lamanya waktu dakwah Rasul dalam rangka mengajak ummat agar bersedia mentauhidkan Allah menunjukkan betapa penting dan mendasarnya pendidikan akidah Islamiah bagi setiap ummat muslim pada umumnya. Terlebih pada kehidupan anak, maka dasar-dasar akidah harus terus-menerus ditanamkan pada diri anak agar setiap perkembangan dan pertumbuhannya senantiasa dilandasi oleh akidah yang benar.[2]
Pendidikan Islam dalam keluarga harus memperhatikan pendidikan akidah Islamiyah, di mana akidah itu merupakan inti dan dasar keimanan seseorang yang harus ditanamkan kepada anak sejak dini.
Pendidikan Ibadah
Pendidikan ibadah yang dimaksud di sini adalah proses pengajaran, pelatihan dan bimbingan dalam pengamalan ibadah khusus. Dalam hadis di atas terdapat pelajaran bahwa materi pendidikan ibadah itu meliputi salat, puasa, zakat dan haji..
Para guru dan orang tua hendaknya menjelaskan kepada anak-anak dengan penjelasan yang sangat sederhana tentang pentingnya berbagai bentuk ibadah, lengkap dengan rukun-rukunnya, seperti: salat, zakat, dan haji. Selain itu, emosional anak harus disiapkan saat membicarakan berbagai bentuk ibadah sehingga mereka merindukan ikatan dengan Allah SWT dan beribadah kepada-Nya dengan cara yang benar.[3]
Dalam menjelaskan atau membicarakan berbagai bentuk ibadah, para guru dan orang tua hendaknya menggunakan tema pembahasan secara berurutan,  seperti: dalam satu kesempatan membicarakan tentang satu tema yang berkaitan dengan salat saja atau tema yang berkaitan dengan puasa saja, dan seterusnya. Berusaha sedapat mungkin agar anak-anak dapat menyadari pentingnya melaksanakan berbagai bentuk ibadah dalam kehidupan mereka. Para guru dan orang tua hendaknya mengetahui bahwa pentingnya berbagai bentuk ibadah dalam kehidupan seorang muslim.



[1]Al-Bukhari, Op.cit., juz 1, h. 31-32; Muslim, Op.cit., Juz 1, h. 36; Abu Dawud, Op.cit., Juz 4, h. 223-224; An-Nasâ'iy, Op.cit.,Juz 15, h. 281 (dalam al-Maktabah al-Syâmilah).
[2]M. Nipan Abdul Halim, Anak Saleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta, Mitra Pustaka, 2001), h. 92
[3]Fuhaim Musthafa, Rahasia Rasul Mendidik Anak, Editor Muhammad Fahmi, Judul Asli "Manhaj ath-Thifl al-Muslim; Dalîl al-Mu'allimîn wa al-Abâ' ilâ Tabiyat al-Abnâ' fî Riyâdh al-Athfal wa al-Madrasah al-Ibtidâiyah", (Yogyakarta: Qudsi Media, 2008), Cet. ke-1, h. 77