Minggu, 29 Juli 2012

Lembaga Pendidikan Islam dalam Sisdiknas

Oleh: Bukhari Umar



       Semua aktivitas pendidikan berlangsung dan dilaksanakan dalam lembaga (badan) pendidikan. Lembaga pendidikan adalah organisasi atau kelompok manusia, yang karena satu dan lain hal memikul tanggung jawab atas terlaksananya pendidikan. Badan ini bertugas memberi pendidikan kepada si terdidik, sesuai dengan badan tersebut (Marimba, 1986: 57).

Sidi Gazalba (1970: 26) menulis bahwa lembaga yang berkewajiban melaksanakan pendidikan Islam itu adalah: (1) Rumah tangga yaitu pendidikan primer untuk fase bayi dan fase kanak-kanak sampai usia sekolah. Pendidiknya adalah orang tua, sanak kerabat, famili, saudara-saudara, teman sepermainan dan kenalan pergaulan; (2) Sekolah yaitu pendidikan sekunder yang mendidik anak mulai dari usia masuk sekolah sampai ia keluar dari sekolah tersebut. Pendidiknya adalah guru yang professional; (3) Kesatuan sosial yaitu pendidikan tertier yang merupakan pendidikan terakhir tetapi bersifat permanen. Pendidiknya adalah kebudayaan, adat istiadat dan suasana masyarakat setempat.

Pendapat yang senada dikemukakan oleh Zuhairini (1992: 177). Menurutnya, pada garis besarnya lembaga-lembaga pendidikan Islam itu dapat dibedakan kepada tiga macam, yaitu: keluarga, sekolah dan masyarakat.

Dalam Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat (10) ditegaskan bahwa lembaga pendidikan itu dikelompokkan ke dalam tiga jalur, yaitu: jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.

Saat ini, lembaga pendidikan Islam sudah banyak, baik yang berada di jalur formal, informal, maupun non formal. Di jalur formal, ada Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah dan Perguruan Tinggi Islam dengan berbagai stratanya. Di jalur non formal, ada Raudatul Athfal (RA), Taman Pendidikan Alquran (TPA), Taman Pendidikan Senibaca Alquran (TPSA), Didikan Subuh (DDS), Pondok Pesentren, majlis Taklim dengan berbagai variasinya, Remaja Mesjid dan sebagainya.

Dalam Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah; (2) Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. (Pasal 17 ayat (1 dan 2) Dalam pasal ini, kedudukan MI disamakan dengan SD dan MTs disamakan dengan SMP.

Dalam pasal 18 dinyatakan bahwa pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat (Pasal 18 ayat (3). Dasal pasal ini, kedudukan madrasah aliyah disamakan dengan SMA.


Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis Pasal 26 ayat (4). Dalam bagian ini, kedudukan majlis taklim juga diakui sebagai lembaga pendidikan. Pengakun ini tentu berkonsekuensi logis dengan memberikan fasilitas, bantuan dana dan perlindungan kepada lembaga pendidikan Islam yang nonformal.

Mengenai pendidikan keagamaan dikemukakan dalam pasal 30. (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan; (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama, (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal dan (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.

Dalam mengimplementasikan pasal ini, pemerintah bukan hanya melindungi pendidikan keagamaan, melainkan lebih daripada itu menyelenggarakan pendidikan keagamaan. Bagi umat Islam, pendidikan keagamaan itu adalah pendidikan yang diselenggarakan dalam institusi pendidikan Islam. Terkait dengan penyelenggaraan, pemerintah berkewajiban mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam proses pendidikan keagamaan Islam. Selain lembaga pendidikan formal, pendidikan keagamaan Islam nonformal seperti diniyah, pesantren dan majlis taklim perlu dibina dan dikembangkan oleh pemerintah.

Dari paragraph-paragraf di atas dipahami bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam, baik yang formal maupun nonformal memiliki kedudukan yang kokoh dalam Sistem Pendidikan Nasional. Dengan demikian, tidak ada pihak yang, karena alasan rasionalitas, efisiensi apalagi tidak senang, dapat menghalangi pelaksanaan pendidikan Islam. Apabila ada upaya pihak-pihak tertentu untuk mempersulit apalagi menghambat proses pendidikan Islam, itu berarti aksi yang tidak simpatik dengan undang-undang Sistem Pendidikan Nasional sekaligus termasuk tindakan melawan pemerintah.


Daftar Bacaan:
Gazalba, Sidi (1970), Pendidikan Umat Islam, Masalah terbesar Kurun Kini Menentukan Nasib Umat, Jakarta: Bhatara
Marimba, A.Daeng (1986), Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: PT Al-Maarif
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Zuhairini (1992), Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara

Rabu, 25 Juli 2012

Guru: Beberapa Istilah dan Batasannya

Oleh: Bukhari Umar

         Sehubungan dengan guru, ada beberapa istilah yang mempunyai pengertian yang sejalan. Istilah-istilah itu adalah ustaz, mudarris, mu'allim, murabbi, muaddib, dan muballigh.        

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005, pasal 1 (1).


Dalam bahasa Arab dijumpai kata ustadz yang berarti teacher (guru) atau professor (gelar akademik = guru besar), muddaris yang berarti teacher (guru) atau instructor (pelatih) dan lecturer (dosen), muallim yang juga berarti teacher (guru) atau instructor (pelatih), serta trainer (pemandu) dan juga kata mu’adib yang berarti educator (pendidik). (Wehr: 1974, 15)

Kata “murabbi” sering dijumpai dalam kalimat yang orientasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik yang bersifat jasmani atau rohani. Sedangkan untuk istilah “muallim”, pada umumnya dipakai dalam pembicaraan aktivitas yang lebih terfokus pada pemberian atau pemindahan ilmu pengetahuan dari seseorang yang tahu kepada seorang yang tidak tahu. Adapun istilah ”muadib”, menurut Al-Attas lebih luas dari istilah “muallim” dan lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam (Attas, 1984: 5)

Pengertian mu’allim mengandung arti konsekuensi bahwa pendidik harus mu’allimun yakni menguasai ilmu, memiliki kreatifitas dan komitmen yang tinggi dalam mengembangkan ilmu. Sedangkan konsep ta’dib mencakup pengertian integrasi antara ilmu dengan amal sekali gus, karena apabila dimensi amal hilang dalam kehidupan seorang pendidik, maka citra dan esensi pendidikan islam itu akan hilang. Kata-kata di atas secara keseluruhan mengacu kepada orang yang memberikan pengetahuan, ketrampilan atau pengalaman kepada orang lain.

Berdasarkan ruang gerak dan lingkungan di mana ilmu atau ketrampilan itu diberikan, sering dibedakan pengistilahannya, untuk di sekolah disebut teacher, di perguruan tinggi disebut lecturer atau professor, di rumah-rumah pribadi disebut tutor atau privat teacher, sedang di tempat pelatihan disebut instructor atau trainer dan di lembaga-lembaga pendidikan yang mengajarkan agama disebut educator.


Daftar Bacaan:
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Guru dan Dosen, Bandung: Fokusmedia, 2009
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, Bairut : Librarie du Liban, London : Mac. Donald dan Evans, Ltd., 1974 Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Bandung : Mizan, 1984

Pendidik: Beberapa Istilah dan Batasannya

          Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 1 (6).

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005, pasal 1 (1).

Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005, pasal 1 (2).

Konselor adalah seorang yang mempunyai keahlian dalam melakukan konseling. Berlatar belakang pendidikan minimal sarjana strata 1 (S1) dari jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB), Bimbingan Konseling (BK), atau Bimbingan Penyuluhan (BP). Mempunyai organisasi profesi bernama Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia (ABKIN). Melalui proses sertifikasi, asosiasi ini memberikan lisensi bagi para konselor tertentu sebagai tanda bahwa yang bersangkutan berwenang menyelenggarakan konseling dan pelatihan bagi masyarakat umum secara resmi. Konselor bergerak terutama dalam konseling di bidang pendidikan, tapi juga merambah pada bidang industri dan organisasi, penanganan korban bencana, dan konseling secara umum di masyarakat. Khusus bagi konselor pendidikan yang bertugas dan bertanggungjawab memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada peserta didik di satuan pendidikan (sering disebut Guru BP/BK atau Guru Pembimbing), ia tidak diwajibkan mempunyai sertifikat terlebih dulu.

Pamong belajar adalah pendidik dengan tugas utama melakukan kegiatan belajar mengajar, pengkajian program, dan pengembangan model pendidikan nonformal dan informal (PNFI) pada unit pelaksana teknis (UPT) /unit pelaksana teknis daerah (UPTD) dan satuan PNFI. Pamong belajar merupakan jabatan karier yang hanya dapat diduduki oleh seseorang yang telah berstatus sebagai pegawai negeri sipil. Pamong belajar pun diharapkan bisa melaksanakan kegiatan pengembangan profesi. Namun dalam pelaksanaannya, tupoksi pamong belajar itu berbeda sesuai dengan posisi dimana pamong belajar berada. Ada pamong belajar yang bergelut di instansi yang bernama P2PNFI, juga ada yang berkutat di BPPNFI atau BPKB maupun SKB. Namun, nama-nama lembaga itu bisa berbeda di masing - masing daerah, sesuai dengan selera penguasa otoda dalam menamai lembaga pemerintah yang bergerak di bidang pendidikan nonformal (PNF kini berganti nama jadi PAUDNI, pendidikan anak usia dini, nonformal dan informal). Tupoksi yang kontroversial itu adalah dalam hal melakukan kegiatan belajar mengajar (KBM) dan pengembangan model. (Permenpan dan RB nomor 15 tahun 2012)

Widyaiswara adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diangkat sebagai pejabat fungsional oleh pejabat yang berwenang dengan tugas, tanggung jawab, wewenang untuk mendidik, mengajar, dan/atau melatih Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada lembaga pendidikan dan pelatihan (diklat) pemerintah. (Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Diklat PNS Pasal 1 (9).

Tutor berarti tenaga yang berasal dari masyarakat yang bertugas dalam merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi proses pembelajaran pada pendidikan non formal, memiliki kompetensi dan menjadi pendidik pada kelompok-kelompok belajar atau tenaga honor yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang untuk membimbing kegiatan pendidikan non formal dengan berbagai spesialisasi (Pedoman tutor inti, Kemdiknas.2010).

Fasilitator adalah mereka yang ditugasi untuk melakukan fasilitasi dalam proses pembelajaran. Sebutan fasilitator biasanya digunakan dalam proses pembelajaran orang dewasa, dan metoda yang dipakai dalam proses ini adalah metoda andragogi. Metoda ini dirancang mengacu pada pendidikan orang dewasa, suatu model pendidikan yang mengutamakan penggalian, pendalaman, pengembangan, pegejawantahan pengalaman dan potensi individu secara optimal. http://siswoyo22.wordpress.com/2008/09/14/bagaimana-menjadi-fasilitator-yang-baik/

Fasilitator adalah orang yang memberikan bantuan dalam memperlancar proses komunikasi sekelompok orang, sehingga mereka dapat memahami atau memecahkan masalah bersama-sama. Fasilitator bukanlah seseorang yang bertugas hanya memberikan pelatihan, bimbingan nasihat atau pendapat. Fasilitator harus menjadi nara sumber yang baik untuk berbagai permasalahan. http://indosdm.com/fasilitator-peranan-fungsi-dan-teknik-komunikasi Selain untuk mendapatkan informasi, kita juga dapat memperoleh peluang usaha yang menguntungkan di internet. Peluang ini tidak boleh kita abaikan karena sambil browsing dan facebookan, kita bisa mendapatkan uang. Penjelasannya dapat dilihat di SINI.

Daftar Bacaan:
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional, Bandung: Fokusmedia, 2009
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Guru dan Dosen, Bandung: Fokusmedia, 2009
Permenpan dan RB nomor 15 tahun 2012
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Diklat PNS Pedoman tutor inti, Kemdiknas.2010 http://siswoyo22.wordpress.com/2008/09/14/bagaimana-menjadi-fasilitator-yang-baik/
http://indosdm.com/fasilitator-peranan-fungsi-dan-teknik-komunikasi

Selasa, 24 Juli 2012

Kompetensi Guru

Oleh: Bukhari Umar
             Untuk menjadi pendidik yang professional tidaklah mudah karena ia harus memiliki berbagai kompetensi-kompetensi keguruan. Kompetensi dasar (basic competency) bagi pendidik ditentukan oleh tingkat kepekaannya dari bobot potensi dasar dan kecenderungan yang dimilikinya. Hal tersebut karena potensi itu merupakan tempat dan bahan untuk memproses semua pandangan sebagai bahan untuk menjawab semua rangsangan yang datang darinya. Potensi dasar ini adalah milik individu sebagai hasil dari proses yang tumbuh karena adanya anugerah dan inayah dari Allah SWT, personafikasi ibu waktu mengandung dan situasi yang mempengaruhinya dan faktor keturunannya. Hal inilah yang digunakan sebagai pijakan bagi individu dalam menjalankan fungsinya sebagai hamba dan khalifah Allah.

W. Robert Houston mendefinisikan kompetensi dengan "competence ordinarily is defined as adequacy for a task or as possessi on of require knowledge, skill, an abilities" (suatu tugas yang memadai atau pemilikan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan seseorang). Definisi ini mengandung arti bahwa calon pendidik perlu mempersiapkan diri untuk menguasai sejumlah pengetahuan, keterampilan dan kemampuan khusus yang terkait dengan profesi keguruannya, agar ia dapat menjalankan tugasnya dengan baik, serta dapat memenuhi keinginan dan harapan peserta didiknya (Rostiyah NK, 1982: 12). 


Dalam melaksanakan pendidikan Islam, kita dapat berasumsi setiap umat Islam wajib mendakwakan ajaran agamanya. Hal itu dapat kita pahami dari firman Allah SWT dalam QS. An-Nahl: 125, As-Syura': 15, Ali Imran: 104, As-Syar: 1-3, dan Hadis Nabi SAW, "Sampaikan ajaran dariku walaupun hanya sepatah kata (seayat)" (HR. Bukhari).


Berdasarkan ayat-ayat dan Hadis tersebut dapat dipahami bahwa siapapun dapat menjadi pendidik dalam pendidikan Islam, dengan catatan ia memiliki pengetahuan dan kemampuan lebih. Di samping itu, ia mampu mengimplementasikan nilai-nilai yang diajarkan, sebagai penganut Islam yang patut dicontoh dalam ajaran Islam dan bersedia menularkan pengetahuan dan nilai Islam pada pihak yang lain. Namun demikian, untuk menjadi pendidik Islam yang profesional masih diperlukan persyaratan yang lebih dari itu.


Untuk mengenal posisi profesional pendidik, ada baiknya kita lihat stratifikasi tenaga kerja. Secara sederhana, tenaga kerja dapat distratifikasikan ke dalam empat macam, yaitu pekerja terampil, teknisi terampil, teknisi ahli/profesional, dan elit profesional. Pekerja terampil disiapkan untuk terampil melaksanakan tugas yang sifatnya operasional dan tidak banyak membutuhkan pemikiran, karena sifatnya teknis mekanistik. Teknisi terampil memiliki pengetahuan dasar teori, sehingga sedikit banyak memiliki wawasan dasar dari pelaksanaan tugasnya. Teknisi ahli/profesional mampu menjelaskan dan mempertanggungjawabkan alternatif atau putusan yang dipilih, sedangkan elit profesional memiliki kemampuan lebih dari teknisi ahli.


Dari uraian tersebut di atas, dipahami bahwa pendidik Islam yang profesional harus memiliki kompetensi-kompentensi yang lengkap, meliputi: (1). Penguasaan materi al-Islam yang komprehensif serta wawasan dan bahan pengayaan, terutama pada bidang-bidang yang menjadi tugasnya; (2). Penguasaan strategi (mencakup pendekatan, metode, dan teknik) pendidikan Islam, termasuk kemampuan evaluasinya; (3). Penguasaan ilmu dan wawasan kependidikan; (4). Memahami prinsip-prinsip dalam menafsirkan hasil penelitian pendidikan, guna keperluan pengembangan pendidikan Islam masa depan; (5). Memiliki kepekaan terhadap informasi secara langsung atau tidak langsung yang mendukung kepentingan tugasnya.


Untuk mewujudkan pendidik yang professional, kita dapat mengacu pada tuntunan Nabi SAW karena beliau satu-satunya pendidik yang paling berhasil dalam rentang waktu yang begitu singkat, sehingga diharapkan dapat mendekatkan realitas (pendidik) dengan ideal (Nabi SAW). Keberhasilan Nabi SAW sebagai pendidik didahului oleh bekal kepribadian (personality) yang berkualitas unggul, kepeduliannya terhadap masalah-masalah sosial religius serta semangat dan ketajamannya dalam iqra' bi ismi rabbik (membaca, menganalisis, meneliti, dan mengeksperimentasi terhadap berbagai fenomena kehidupan dengan menyebut nama Tuhan). Kemudian beliau mampu mempertahankan dan mengembangkan kualitas iman, amal saleh, berjuang, dan bekerja sama menegakkan kebenaran (QS Al-Ashr, Al-Kahf: 20), mampu bekerja sama dalam kesabaran (QS Al-Asher: 3, Al-Ahqaf: 35, Ali Imran: 200).

Berdasarkan paparan di atas, dapat diformulasikan asumsi yang melandasi keberhasilan pendidik adalah pendidik akan berhasil menjalankan tugasnya apabila mempunya kompentensi-kompetensi sebagai berikut:
1. kompentensi Personal-Religius
Kemampuan menyangkut kepribadian agamis, artinya pada dirinya melekat nilai-nilai lebih yang hendak ditransinternalisasikan kepada peserta didiknya. Misalnya nilai kejujuran, amanah, keadilan, kecerdasan, tanggung jawab, musyawarah, kebersihan, keindahan, kedisiplinan, ketertiban dan sebagainya. Nilai tersebut perlu dimiliki pendidik sehingga akan terjadi transinternalisasi (pemindahan penghayatan nilai-nilai) antara pendidik dan peserta didik, baik langsung maupun tidak langsung, atau setidak-tidaknya terjadi transaksi (alih tindakan) antara keduanya.

2. kompentensi Sosial-Religius
Kemampuan menyangkut kepeduliannya terhadap masalah-masalah sosial selaras dengan ajaran dakwah Islam. Sikap gotong royong, tolong menolong, egalitarian (persamaan derajat antara manusia), sikap toleransi, dan sebagainya juga perlu dimiliki oleh pendidik muslim dalam rangka transinternalisasi sosial atau transaksi sosial antara pendidik dan peserta-peserta didik.

3. kompentensi Profesional-Religius
Kemampuan ini menyangkut kemampuan untuk menjalankan tugas keguruannya secara professional, dalam arti mampu membuat keputusan keahlian atas beragamnya kasus serta mampu membuat keputusan keahlian atas beragamnya kasus serta mampu mempertanggungjawabkan berdasarkan teori dan wawasan keahliannya dalam perspektif Islam. Selain itu dalam versi lain, kompetensi pendidik dapat dijabarkan dalam beberapa kompetensi sebagai berikut:
(1). Menguasai keseluruhan materi yang disampaikan pada peserta didiknya sehingga ia harus belajar dan mencari informasi tentang materi yang diajarkan.
(2). Mempunyai kemampuan menganalisis materi yang diajarkan dan menghubungkannya dengan konteks komponen-komponen lain secara keseluruhan melalui pola yang diberikan Islam tentang bagaimana cara berpikir dan cara hidup yang perlu dikembangkan melalui proses edukasi.
(3). Mengamalkan terlebih dahulu informasi yang telah didapat sebelum disajikan pada peserta didiknya (QS. As-Shaf: 2-3).
(4). Mengevaluasi proses dan hasil pendidikan yang sedang dan sudah dilaksanakan (QS. Al-Baqarah: 31).
(5). Memberi hadiah dan hukuman sesuai dengan usaha dan upaya yang dicapai peserta didik dalam rangka memberikan persuasi dan motivasi dalam proses belajar (QS. Al-Baqarah: 119).

Kompetensi guru adalah kebulatan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang berwujud tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran. Sebagai agen pembelajaran maka guru dituntut untuk kreatif dalam mnenyiapkan metode dan strategi yang cocok untuk kondisi anak didiknya, memilih dan menetukan sebuah metode pembelajaran yang sesuai dengan indikator pembahasan. Dengan sertifikasi dan predikat guru profesional yang disandangnya, maka guru harus introspeksi diri apakah saya sudah mengajar sesuai dengan cara-cara seorang guru profesional. Sebab disadarai atau tidak banyak diantara kita para pendidik belum bisa menjadi guru yang profesional sebagai mana yang diharapkan dengan adanya sertifikasi guru sampai saat ini.

Di Indonesia hari ini, masalah kompetensi pendidik terutama guru selalu dikembangkan. Dalam kebijakan terakhir yaitu Peraturan Pemerintah No 74/2008 Tentang Guru, bab II, pasal 2 ditegaskan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Uraian tentang kompetensi dimaksud adalah : Kompetensi Guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesi yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi guru itu bersifat holistik.

Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi: a. pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; b. pemahaman terhadap peserta didik; c. pengembangan kurikulum atau silabus; d. perancangan pembelajaran; e. pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; f. pemanfaatan teknologi pembelajaran; g. evaluasi hasil belajar; dan h.pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

Kompetensi kepribadian sekurang-kurangnya mencakup kepribadian yang: (a). beriman dan bertakwa; (b). berakhlak mulia; (c). arif dan bijaksana; (d). demokratis; (e). mantap; (f). berwibawa; (g). stabil; (h). dewasa; (i). jujur; (j). sportif; (k). menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; )l). secara obyektif mengevaluasi kinerja sendiri; dan (m). mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.

Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat yang sekurang-kurangnya meliputi kompetensi untuk: a. berkomunikasi lisan, tulis, dan/atau isyarat secara santun; b. menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; c. bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependi-dikan, pimpinan satuan pendidikan, orang tua atau wali peserta didik; d.bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan sistem nilai yang berlaku; dan e. menerapkan prinsip persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan.

Kompetensi profesional merupakan kemampuan guru dalam menguasai pengetahuan bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan budaya yang diampu yang sekurang-kurangnya meliputi penguasaan: a. materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu; dan b. konsep serta metode disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang relevan, yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan pendidikan pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu.

Kompetensi pendidik yang tidak kalah pentingnya adalah memberikan uswah hasanah dan meningkatkan kualitas dan profesionalitasnya yang mengacu pada masa depan tanpa melupakan peningkatan kesejahteraan, misalnya gaji, pangkat, kesehatan, perumahan, sehingga pendidik benar-benar berkemampuan tinggi dalam transfer of heart, transfer of head dan transfer of hand kepada peserta didik dan lingkungannya.

Selain untuk mendapatkan informasi, kita juga dapat memperoleh peluang usaha yang menguntungkan di internet. Peluang ini tidak boleh kita abaikan karena sambil browsing dan facebookan, kita bisa mendapatkan uang. Penjelasannya dapat dilihat di SINI dan untuk mahasiswa/orang yang tidak memiliki modal uang klik di SINI.

Daftar Bacaan:

Rostiyah, N.K, (1982). Masalah-masalah Ilmu Keguruan, Jakarta : Bina Aksara. Soelaiman Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru Al-Bukhariy, Abi ‘Abdillah Muhammad ibn Ismā’īl, Shahīh al-Bukhāriy, Juz IV, Indonesia: Dahlan, t.th.
bukhari Umar

Senin, 23 Juli 2012

Menuju Kehidupan Yang Lebih Baik


Oleh: Bukhari Umar
Sahabat yang budiman ! 
         Uang memang bukan segalanya. Kita tidak boleh menuhankan uang. Kita jangan mengukur kualitas sesuatu itu hanya dengan uang. Kita jangan sampai stres karena uang. Akan tetapi, tidak dapat disangkal bahwa segala sesuatu dalam hidup ini membutuhkan uang
Berbagai aspek kehidupan kita membutuhkan uang. Mulai dari kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat sampai dan apalagi negara membutuhkan uang. Dari kehidupan pribadi dapat kita rasakan bahwa untuk mempertahankan eksistensi kehidupan ini kita sangat membutuhkan uang Untuk pergi ke mana saja, kita perlu uang. Bahkan di tempat-tempat tertentu, untuk buang air kecil saja, kita memerlukan uang. Apalagi untuk memenuhi kebutuhan makan, minum, pakaian dan lain sebagainya. Semuanya minta uang. 

Dapatkah sahabat bayangkan kalau kita tidak punya uang sedikit pun? Bagaimana kehidupan kita? Tidak terhormat, bukan? Bila menanjak sedikit lagi, kita ingin membangun kehidupan keluarga. Mulai dari persiapan sampai hari H pernikahan dan walimatul'ursy-nya kita membutuhkan banyak uang. Sulit dibayangkan seseorang dapat melakukan akad pernikahan apalagi walimahnya tanpa uang.

Masalah itu terus belanjut ketika dikaruniai seorang anak. Kebutuhan akan meningkat lagi. Kebutuhan sang bayi yang diidam-idamkan itu tidak dapat ditunda. Orang tua kasak-kusuk dalam menyediakan uang untuk keperluan bayinya. Begitu seterusnya bila anak masuk sekolah. Sesuatu yang bernama uang sangat kita butuhkan. Kehidupan beragama pun membutuhkan uang. Untuk shalat, kita perlu pakaian yang suci. Agar kesucian pakaian dapat terjaga kita perlu beberapa lembar pakaian agar dapat diganti-ganti. Tempat shalat perlu bersih, indah dan nyaman. Untuk itu, kita membangun masjid. Pembangunan masjid membutuhkan uang yang tidak sedikit. Bagaimana membangun masjid bila kita tidak mempunyai uang? 

Masih ada lagi rukun Islam yang harus kita upayakan melaksanakannya, yaitu berzakat dan menunaikan ibadah haji. Keduanya tidak bisa kita laksanakan tanpa uang. Kendatipun saat ini belum, tetapi pasti kita sangat merindukan pergi ke tanah haram untuk menunaikan ibadah haji dan atau umrah kendatipun biayanya sangat besar. Selain itu semua, para sahabat yang budiman, banyak perintah Allah dalam Alquran dan anjuran Rasul dalam hadis yang untuk melaksanakannya kita membutuhkan uang. Allah dalam banyak ayat memerintahkan agar kita berjihad di jalan Allah dengan harta (al-amwal) dan diri (al-anfus). Harta disebut lebih dulu dari diri. Ini sebagai petanda bahwa berjihad dengan harta itu lebih efektif daripada diri (terutama tenaga fisik). Allah menyuruh kita menyantuni anak yatim, membantu fakir miskin, membangun lembaga pendidikan, dan sarana-sarana sosial lainnya. 

Kesimpulannya kita harus mempunyai uang. Untuk dapat memiliki uang, kita tentu harus berusaha sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Ada orang yang mencari uang dengan cara berdagang, bertani, bekerja sebagai pegawai negeri, menjadi buruh dan sebagainya. Sialahkan pilih! Pekerjaan berdagang membutuhkan uang sebagai modal. Namun bila seseorang mau, ia dapat berdagang dengan modal orang lain (kerja sama, jual tenaga). Itu tidak masalah yang penting halal.
Perlu diingat bahwa uang bukan tujuan hidup melainkan sarana. Bila dapat uang, jangan lupa bersyukur kepada Allah dan melaksanakan kewajiban kita tentang uang seperti yang dikemukakan di atas.

Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Oleh: Bukhari Umar
 Sehubungan dengan pelak-sanaan pendidikan terdapat istilah pendidik dan tenaga kependidikan. Kedua istilah ini menunjuk kepada dua bidang tugas yang berbeda tetapi memiliki keterkaitan yang sangat erat dalam melaksanakan proses pendidikan.  Berikut ini dikemukakan pengertian kedua istilah tersebut.

1.      Pendidik
Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru,dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur,fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, sertaberpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.  (UU No. 20 tahun 2003 pasal 1 (BAB 1  Ketentuan umum).
Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. (UU No.20 Tahun 2003, Ps. 39 (2).
Pendidik adalah orang yang memikul pertanggungjawaban untuk mendidik. (Hasbullah, 2005: 17). Dwi Nugroho Hidayanto, menginventarisasi bahwa pengertian pendidik meliputi: orang dewasa, orang tua, guru, pemimpin masyarakat, dan pemimpin agama, (Hidayanto, 1988: 43).
 

Beberapa karakteristik pendidik, antara lain :
1. Kematangan diri yang stabil; memahami diri sendiri, mencintai diri secara wajar dan memiliki nilai-nilai kemanusiaan serta bertindak sesuai dengan nilai-nilai itu, sehingga ia bertanggung jawab sendiri atas hidupnya, tidak menggantungkan diri atau menjadi beban orang lain.
2. Kematangan sosial yang stabil; dalam hal ini seorang pendidik dituntut mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masyarakatnya, dan mempunyai kecakapan membina kerja sama dengan orang lain.
3. Kematangan profesional (kemampuan mendidik); yakni menaruh perhatian dan sikap cinta terhadap anak didik serta mempunyai pengetahuan yang cukup tentang latar belakang anak didik dan perkembangannya, memiliki kecakapan dalam menggunakan cara-cara mendidik ((Tanlain,dkk., 1989: 30)
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Ps. 1 (1), disebutkan bahwa  guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. (Ps. 1 (4).
Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik. Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana, atau program diploma empat. Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah.
Menurut Ali Nugroho (2008), kriteria kualitas guru yang dibutuhkan dalam pendidikan adalah: (a). Guru sebagai perencana, (b). Guru sebagai inisiator, (c). Guru sebagai motivator, (d). Guru sebagai observer, (e). Guru sebagai motivator, (f). Guru sebagai antisifator, (g). Guru sebagai model, (h). Guru sebagai evaluator, (i). Guru sebagai teman bereksplorasi bersama anak didik, (j). Promotor agar anak menjadi pembelajar sejati.

2. Tenaga Kependidikan
Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. (UU No. 20  Ketentuan umum) tahun 2003 psl 1, BAB 1.  Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan. (UU No.20 Tahun 2003, Ps. 39 (1)).



Daftar Bacaan:
Hasbullah. Dasar Ilmu Pendidikan. 2005. Jakarta. Penerbit: PT RajaGrasindo Persada
Nugroho, Ali, (2008). Pengembangan Pembelajaran Sains Pada Anak Usia Dini. Penerbit: Jilsi Foundation.
Wens Tanlain, dkk. (1989), Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: Gramedia
Barnadib,Sutari Imam (1987), Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, Yogyakarta: FIP IKIP
Suwarno (1992), Pengantar Umum Pendidikan, Jakarta: Pt Rineka Cipta, Cet.Ke4


Peran Guru dalam Proses Pendidikan


Oleh: Bukhari Umar

Sebagai tenaga pendidik, guru memiliki peran yang sangat strategis dalam dunia pendidikan. Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan bahwa  seorang guru yang ideal seyogyanya dapat berperan sebagai :
  1. Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan;
  2. Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan;
  3. Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik;
  4. Transformator (penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik;
  5. Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang menciptakannya).
Dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin dengan mengutip pemikiran Gage dan Berliner, mengemukakan peran guru dalam proses pembelajaran peserta didik, yang mencakup :
  1. Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems).;
  2. Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai orang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems).
  3. Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya.
Selain itu, dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Abin Syamsuddin menambahkan satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing (teacher counsel), di mana guru dituntut untuk mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya (remedial teaching).
Di lain pihak, Moh. Surya (1997) mengemukakan tentang peranan guru di sekolah, keluarga dan masyarakat. Di sekolah, guru berperan sebagai perancang pembelajaran, pengelola pembelajaran, penilai hasil pembelajaran peserta didik, pengarah pembelajaran dan pembimbing peserta didik. Sedangkan dalam keluarga, guru berperan sebagai pendidik dalam keluarga (family educator). Sementara itu di masyarakat, guru berperan sebagai pembina masyarakat (social developer), penemu masyarakat (social inovator), dan agen masyarakat (social agent).
Lebih jauh, dikemukakan pula tentang peranan guru yang berhubungan dengan aktivitas pengajaran dan administrasi pendidikan, diri pribadi (self oriented), dan dari sudut pandang psikologis.
Dalam hubungannya dengan aktivitas pembelajaran dan administrasi pendidikan, guru berperan sebagai :
  1. Pengambil inisiatif, pengarah, dan penilai pendidikan;
  2. Wakil masyarakat di sekolah, artinya guru berperan sebagai pembawa suara dan kepentingan masyarakat dalam pendidikan;
  3. Seorang pakar dalam bidangnya, yaitu menguasai bahan yang harus diajarkannya;
  4. Penegak disiplin, yaitu guru harus menjaga agar para peserta didik melaksanakan disiplin;
  5. Pelaksana administrasi pendidikan, yaitu guru bertanggung jawab agar pendidikan dapat berlangsung dengan baik;
  6. Pemimpin generasi muda, artinya guru bertanggung jawab untuk mengarahkan perkembangan peserta didik sebagai generasi muda yang akan menjadi pewaris masa depan; dan
  7. Penterjemah kepada masyarakat, yaitu guru berperan untuk menyampaikan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat.
Di pandang dari segi diri-pribadinya (self oriented), seorang guru berperan sebagai :
  1. Pekerja sosial (social worker), yaitu seorang yang harus memberikan pelayanan kepada masyarakat;
  2. Pelajar dan ilmuwan, yaitu seorang yang harus senantiasa belajar secara terus menerus untuk mengembangkan penguasaan keilmuannya;
  3. Orang tua, artinya guru adalah wakil orang tua peserta didik bagi setiap peserta didik di sekolah;
  4. model keteladanan, artinya guru adalah model perilaku yang harus dicontoh oleh mpara peserta didik; dan
  5. Pemberi keselamatan bagi setiap peserta didik. Peserta didik diharapkan akan merasa aman berada dalam didikan gurunya.
Dari sudut pandang secara psikologis, guru berperan sebagai :
  1. Pakar psikologi pendidikan, artinya guru merupakan seorang yang memahami psikologi pendidikan dan mampu mengamalkannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik;
  2. seniman dalam hubungan antar manusia (artist in human relations), artinya guru adalah orang yang memiliki kemampuan menciptakan suasana hubungan antar manusia, khususnya dengan para peserta didik sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan;
  3. Pembentuk kelompok (group builder), yaitu mampu mambentuk menciptakan kelompok dan aktivitasnya sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan;
  4. Catalyc agent atau inovator, yaitu guru merupakan orang yang yang mampu menciptakan suatu pembaharuan bagi membuat suatu hal yang baik; dan
  5. Petugas kesehatan mental (mental hygiene worker), artinya guru bertanggung jawab bagi terciptanya kesehatan mental para peserta didik.
Pendapat lain dikemukakan oleh Doyle sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002). Menurutnya ada dua peran utama guru dalam pembelajaran yaitu menciptakan keteraturan (establishing order) dan memfasilitasi proses belajar (facilitating learning). Yang dimaksud keteraturan di sini mencakup hal-hal yang terkait langsung atau tidak langsung dengan proses pembelajaran, seperti : tata letak tempat duduk, disiplin peserta didik di kelas, interaksi peserta didik dengan sesamanya, interaksi peserta didik dengan guru, jam masuk dan keluar untuk setiap sesi mata pelajaran, pengelolaan sumber belajar, pengelolaan bahan belajar, prosedur dan sistem yang mendukung proses pembelajaran, lingkungan belajar, dan lain-lain.
Peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sejalan dengan tantangan kehidupan global. Akibatnya, menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran peserta didik. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh, berkembang, berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya.
Bila guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari peserta didik, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus. Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pengajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitiaan guru tidak terjebak pada praktek pengajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para peserta didiknya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pengajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung.




Daftar Bacaan:
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Rosda Karya Remaja,.
Moh. Surya. 1997. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung PPB - IKIP Bandung
Danim, Sudarwan 2002, Inovasi Pendidikan dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan, Bandung : Pustaka Setia

Minggu, 22 Juli 2012

Mahasiswa Kreatif

          Mahasiswa adalah julukan bagi orang yang menduduki bangku perkuliahan. Sesuai dengan sebutan "Maha" itu tidak sepantasnya seorang mahasiswa menunggu dan menunggu. Ia tidak menunggu informasi dari dosennya saja, tetapi aktif mencari berbagai sumber belajar yang akurat. Anak muda kelompok ini tidak hanya menunggu uang dari orang tua belaka, tetapi mencari peluang untuk mendapatkannya dengan cara yang halal. Mahasiswa tidak boleh lengah dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi alias bukan jadi penonton melainkan ikut bermain.

Perlu diingat oleh mahasiswa bahwa memiliki penghasilan dari usaha sendiri merupakan prestasi, harga diri dan membanggakan setiap orang tua. Dapat Anda bayangkan betapa girangnya hati orang tua Anda ketika Anda pulang kampung membawa oleh-oleh tanpa minta uang pengganti kepeda mereka. Betapa mereka merasa terbantu ketika Anda mampu membayar uang SPP dengan penghasilan sendiri. Dalam hati Anda sendiri akan berkecamuk rasa bahagia melihat orang tua Anda tersenyum menerima pemberian Anda.


Bagaimana mahasiswa? Anda mau kan?

Memang banyak orang yang mau berusaha tetapi terkendala oleh ketiadaan modal. Atau tidak tahu bagaimana caranya. Apakah Anda termasuk kelompok seperti itu? Kalau ya, tidak masalah selama Anda punya kemauan yang serius.

Apakah Anda mampu mengakses internet? Bila ya, inilah peluang Anda. Percayalah! Ini adalah peluang. Ada perusahaan IKLAN yang mendapatkan penghasilan dari jasa pemasangan iklan dan ia mengajak siapa saja yang berminat untuk bergabung dan membimbingnya dalam melaksanakan pekerjaan. Anda bergabung GRATIS, jadi tidak ada resiko kerugian. Setelah melaksanakan tugas, Anda dibayar. Enak dan mudah bukan? Lagi pula, pekerjaan ini dapat Anda lakukan sambil main facebook atau sehabis mencari tugas yang diberikan oleh dosen Anda. Berapa penghasilan Anda? Cukup menarik. Untuk lebih jelasnya klik di SINI.

Sabtu, 21 Juli 2012

Dasar Operasional Pendidikan Islam


Oleh: Bukhari Umar
Dasar pendidikan Islam merupakan landasan operasional untuk merealisasikan dasar ideal/sumber pendidikan Islam. Menurut Hasan Langgulung, dasar operasional pendidikan Islam ada enam macam, yaitu historis, sosiologis, ekonomi, politik dan administrasi, psikologis, dan filosofis. Keenam macam dasar itu berpusat pada dasar filosofis. (Hasan Langgulung, 1988:6-7,12). Penentuan dasar tersebut agaknya sekuler selain tidak memasukkan dasar religius, juga menjadikan filsafat sebagai induk dari segala dasar. Dalam Islam, dasar operasional segala sesuatu adalah agama, sebab agama menjadi frame bagi setiap aktivitas yang bernuansa keislaman. Dengan agama, semua aktivitas kependidikan menjadi bermakna, mewarnai dasar lain, dan bernilai ubudiyah, Oleh karena itu, dasar  operasional pendidikan yang enam di atas perlu ditambahkan dasar yang ketujuh, yaitu agama.
1. Dasar Historis
Dasar historis adalah dasar yang berorientasi pada pengalaman pendidikan masa lalu, baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan-peraturan, agar kebijakan yang ditempuh masa kini akan lebih baik. Dasar ini juga dapat dijadikan acuan untuk memprediksi masa depan, karena dasar ini memberi data input tentang kelebihan dan kekurangan kebijakan serta maju mundurnya prestasi pendidikan yang telah ditempuh. Firman Allah SWT. dalam QS. Al-Hasyr ayat 18: “Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.” Misalnya, bangsa Arab memiliki kegemaran untuk bersastra, maka pendidikan sastra di Arab menjadi penting dalam kurikulum masa kini. Sebab, sastra selain menjadi identitas dan potensi akademik bagi bangsa Arab juga sebagai sumber perekat bangsa.
2. Dasar Sosiologis
Dasar sosiologis adalah dasar yang memberikan kerangka sosiobudaya, yang mana dengan sosiobudaya itu pendidikan dilaksanakan. Dasar ini juga berfungsi sebagai tolok ukur dalam prestasi belajar. Artinya, tinggi rendahnya suatu pendidikan dapat diukur dari tingkat relevansi output pendidikan dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak kehilangan konteks atau tercerabut dari akar masyarakatnya. Prestasi pendidikan hampir tidak berguna jika prestasi itu merusak tatanan masyarakat. Demikian juga, masyarakat yang baik akan menyelenggarakan format pendidikan yang baik pula.
3. Dasar Ekonomi
Dasar ekonomi adalah yang memberikan perspektif tentang potensi-potensi finansial, menggali dan mengatur sumber-sumber serta bertanggung jawab terhadap rencana dan anggaran pembelanjaannya. Oleh karena pendidikan dianggap sebagai sesuatu yang luhur, maka sumber-sumber finansial dalam menghidupkan pendidikan harus bersih, suci dan tidak bercampur dengan harta benda yang syubhat. Ekonomi yang kotor akan menjadikan ketidakberkahan hasil pendidikan. Misalnya, untuk pengembangan pendidikan, baik untuk kepentingan honorarium pendidik maupun biaya operasional sekolah, suatu lembaga pendidikan mengembangkan sistem rentenir. Boleh jadi usahanya itu secara material berkembang, tetapi tidak akan berkah secara spiritual. Peningkatan ilmu pengetahuan bagi peserta didik tidak akan memiliki implikasi yang signifikan terhadap perkembangan moral dan spiritual peserta didik. Allah SWT berfirman kepada Nabi Dawud as. Dalam Hadis Qudsi: “Hai Dawud, hindari dan peringatkan pada kaummu dari makanan syubhat karena sesungguhnya hati orang yang memakan makanan syubhat itu tertutup dari-Ku.” Pada Hadis ini diisyaratkan bahwa penggunaan harta syubhat (tidak jelas halal-haramnya) tidak diperbolehkan, apalagi harta yang haram.
4. Dasar Politik dan Administratif
Dasar politik dan administrasi adalah dasar yang memberikan bingkai ideologis, yang digunakan sebagai tempat bertolak untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan dan direncanakan bersama. Dasar politik menjadi penting untuk pemerataan pendidikan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, Dasar ini juga berguna untuk menentukan kebijakan umum (ammah) dalam rangka mencapai kemaslahatan bersama, bukan kemaslahatan hanya untuk golongan atau kelompok tertentu. Sementara dasar administrasi berguna untuk memudahkan pelayanan pendidikan, agar pendidikan dapat berjalan dengan lancar tanpa ada gangguan teknis dalam pelaksanaannya.
5. Dasar Psikologis
Dasar psikologis adalah dasar yang memberikan informasi tentang bakat, minat, watak, karakter, motivasi dan inovasi peserta didik, pendidik, tenaga administrasi, serta sumber daya manusia yang lain. Dasar ini berguna juga untuk mengetahui tingkat kepuasan dan kesejahteraan batiniah pelaku pendidikan, agar mereka mampu meningkatkan prestasi dan kompetisi dengan cara yang baik dan sehat. Dasar ini pula yang memberikan suasana batin yang damai, tenang, dan indah di lingkungan pendidikan, meskipun dalam kedamaian dan ketenangan itu senantiasa terjadi dinamika dan gerak cepat untuk lebih maju bagi pengembangan lembaga pendidikan.
6. Dasar Filosofis
Dasar filosofis adalah dasar yang memberi kemampuan memilih yang terbaik, memberi arah suatu sistem, mengontrol dan memberi arah kepada semua dasar-dasar operasional lainnya, Bagi masyarakat sekuler dasar ini menjadi acuan terpenting dalam pendidikan. Sebab, filsafat bagi mereka merupakan induk dari segala dasar pendidikan. Sementara bagi masyarakat religius, seperti masyarakat Muslim, dasar ini sekadar menjadi bagian dan cara berpikir di bidang pendidikan secara sistemik, radikal, dan universal yang asas-asasnya diturunkan dan nilai ilahiyah.
7.      Dasar Religius
Dasar religius adalah dasar yang diturunkan dari ajaran agama. Dasar ini secara detail telah dijelaskan pada sumber pendidikan Islam. Dasar ini menjadi penting dalam pendidikan Islam. Sebab dengan dasar ini, semua kegiatan pendidikan jadi bermakna. Konstruksi agama membutuhkan aktualisasi dalam berbagai dasar pendidikan yang lain, seperti historis, sosiologis, politik dan administratif, ekonomis, psikologis, dan filosofis. Agama menjadi frame bagi semua dasar pendidikan Islam. Aplikasi dasar-dasar yang lain merupakan bentuk realisasi diri yang bersumberkan dari agama dan bukan sebaliknya. Apabila agama Islam menjadi frame bagi dasar pendidikan Islam, maka semua tindakan kependidikan dianggap sebagai suatu ibadah. Sebab, ibadah merupakan aktualisasi diri (self-actualization) yang paling ideal dalam pendidikan Islam. DaIam masalah agama, aktualisasi di sini tidak sama persis dengan apa yang dimaksud dalam teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow, Aktualisasi di sini memiliki arti realisasi perilaku keagamaan yang pernah dijanjikan di alam arwah antara ruh manusia dan Tuhan. Sedang menurut teori Maslow, puncak kebutuhan manusia adalah aktualisasi diri, yang mana agama tidak termasuk di dalamnya. Kebutuhan akan agama tidak dapat dijelaskan dalam kelima hierarki kebutuhan itu, sebab agama merupakan perilaku transendensi. Orang yang shalat misalnya, semata-mata tidak untuk mnemenuhi kebutuhan biologis, aman, cinta, harga diri dan aktualisasi diri, tetapi untuk memenuhi kebutuhan transendensi, seperti ikhlas karena-Nya.




Daftar Bacaan:
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987
Muhaimin, Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan  Islam, Jakarta: Kencana, 2008, Ed.1, Cet. ke-2


Dasar Ideal/Sumber Pendidikan Islam


Oleh: Bukhari Umar
Dasar pendidikan adalah pondasi atau landasan yang kokoh bagi setiap masyarakat untuk dapat melakukan perubahan sikap dan tata laku dengan cara berlatih dan belajar dan tidak terbatas pada lingkungan sekolah, sehingga meskipun sudah selesai sekolah akan tetap belajar apa-apa yang tidak ditemui di sekolah. Hal ini lebih penting dikedepankan supaya tidak menjadi masyarakat berpendidikan yang tidak punya dasar pendidikan sehingga tidak mencapai kesempurnaan hidup.
Menurut Undang-undang No. 20 Tahun  2003 tentang Sistem Pendidikan  Nasional, pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Himpunan, 2009: 5).
Sumber pendidikan Islam yang dimaksudkan di sini adalah semua acuan atau rujukan yang darinya memancar ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang akan ditransinternalisasikan dalam pendidikan Islam. Sumber ini tentunya telah diyakini kebenaran dan kekuatannya dalam menghantar aktivitas pendidikan, dan telah teruji dari waktu ke waktu. Sumber pendidikan Islam terkadang disebut dengan dasar ideal pendidikan Islam. Urgensi penentuan sumber di sini adalah untuk:
1.  Mengarahkan tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai.
2. Membingkai seluruh kurikulum yang dilakukan dalam proses belajar mengajar, yang di dalamnya termasuk materi, metode, media, sarana dan evaluasi.
3. Menjadi standar dan tolok ukur dalam evaluasi, apakah kegiatan pendidikan telah mencapai dan sesuai dengan apa yang diharapkan atau belum.
Menurut Sa’id Ismail Ali, sebagaimana yang dikutip oleh Hasan Langgulung(1980: 35) sumber pendidikan Islam terdiri atas enam macam, yaitu Alquran, As-Sunnah, kata-kata sahabat (madzhab shahabi), kemaslahatan umat/sosial (mashalil al-mursalah), tradisi atau adat kebiasaan masyarakat ('uruf), dan hasil pemikiran para ahli dalam Islam (ijtihad). Keenam sumber pendidikan Islam tersebut didudukkan secara hierarkis. Artinya, rujukan penyelidikan Islam diawali dari sumber pertama (Alquran) untuk kemudian dilanjutkan pada sumber-sumber berikutnya secara berurutan.
1. AIquran
Secara etimologi Alquran berasal dari kata qara'a, yaqra’u, qira’atan atau qur'anan, yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dhammu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian yang lain secara teratur. Muhammad Salim Muhsin (tt: 5) mendefinisikan Alquran dengan: “Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang tertulis dalam mushaf-mushaf dan dinukil/diriwayatkan kepada kita dengan jalan yang mutawatir dan membacanya dipandang ibadah serta sebagai penentang (bagi yang tidak percaya) walaupun surat terpendek.” Sedang Muhammad Abduh (1373 H: 17) mendefinisikannya dengan: “Kalam mulia yang diturunkan oleh Allah kepada nabi yang paling sempurna (Muhammd SAW), ajarannya mencakup keseluruhan ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber yang mulia yang esensinya tidak dimengerti kecuali bagi orang yang berjiwa suci dan berakal cerdas.” (Muhammad Rasyid Ridha, 1373 H: 17)
Definisi pertama lebih melihat keadaan Alquran sebagai Firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW diriwayatkan kepada umat Islam secara mutawatir, membacanya sebagai ibadah, dan salah satu fungsinya sebagai mukjizat atau melemahkan para lawan yang menentangnya. Definisi kedua melengkapi isi Alquran yang mencakup keseluruhan ilmu pengetahuan, fungsinya sebagai sumber yang mulia, dan penggalian esensinya hanya bisa dicapai oleh orang yang berjiwa suci dan cerdas (Ridha, 1373 H: 17).
Alquran dijadikan sebagai sumber pendidikan Islam yang pertama dan utama karena ia memiliki nilai absolut yang diturunkan dari Tuhan. Allah SWT menciptakan manusia dan Dia pula yang mendidik manusia, yang mana isi pendidikan itu telah termaktub dalam wahyu-Nya. Tidak satu pun persoalan, termasuk persoalan pendidikan, yang luput dari jangkauan AIquran. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-An’am ayat 38: “Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” dan QS. An-Nahl ayat 89: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitah (Alquran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri". Ayat di atas memberikan isyarat bahwa pendidikan Islam cukup digali dari sumber autentik Islam, yaitu A1quran.
Nilai esensi dalam Alquran selamanya abadi dan selalu relevan pada setiap waktu dari zaman, tanpa ada perubahan sama sekali. Perubahan dimungkinkan hanya menyangkut masalah interpretasi mengenai nilai-nilai instrumental dan menyangkut masalah teknik operasional. Pendidikan Islam yang ideal harus sepenuhnya mengacu pada nilai dasar Alquran, tanpa sedikit pun menghindarinya. Mengapa hal itu diperlukan? Karena Alquran memuat tentang:
a. Sejarah Pendidikan Islam
Dalam Alquran disebutkan beberapa kisah nabi yang berkaitan dengan pendidikan. Kisah ini menjadi suri teladan bagi peserta didik dalam mengarungi kehidupan ini. Kisah itu misalnya:
(1)  Kisah Nabi Adam as., sebagai manusia pertama, yang merintis proses pengajaran (ta'lim) pada anak cucunya, seperti pengajaran tentang asma’ (nama-nama) benda (QS. Al-Baqarah: 30-31). Penyebutan nama-nama sama artinya dengan penelusuran terminologi, dan terminologi ekuivalen dengan konsep, sedangkan konsep merupakan produk penting dan akal budi manusia. Melalui sebuah asma’ sering kali seseorang menemukan gambaran mengenai karakteristik sesuatu, minimal mengetahui apa dan siapa yang diberi asma’ itu. Asma’ menunjukkan identitas dan eksisnya sesuatu. (Bastaman, 1995: 3).
(2)  Kisah Nabi Nuh as. yang mampu mendidik dan mengentaskan masyarakat dari banjir kemaksiatan melalui perahu keimanan; tidak membela dengan membabi buta kepada keluarga yang salah; menjadi pemula dalam mengembangkan teknologi perkapalan. Perhatikan QS. Hud: 42-43,25-32,40-48, Al-Ankabut:14.
(3)  Kisah Nabi Shalih as. yang saleh, cerdas, dan tubuhnya kuat; mampu memfungsikan batu seperi fungsi hewan unta mendayagunakan teknologi listrik (petir) untuk menghancurkan orang-orang yang durhaka. Perhatikan QS. Hud: 61-63, Asy- Syu'ara: 41-159, Al-A'raf 73-79.
(4)  Kisah Nabi Ibrahim as. yang memiliki kepribadian ketuhanan yang tangguh meskipun hidup pada keluarga dan lingkungan yang korup; mampu bertahan hidup meskipun dibuang ke hutan belantara; perintis metode induktif dalam mencari kebenaran, sebagaimana ketika ia mencari Tuhan; mempunyai kekuatan diplomatik yang baik ketika menghadapi penguasa yang zalim (Namrudz); menghancurkan sistem pemberhalaan kehidupan dalam segala hal; mampu mendinginkan kobaran api yang panas; melerai panasnya amarah; menjadi pemula dalam mengembangkan teknologi AC (air conditioning); mau menyembelih jiwa kebinatangan anaknya; mampu menyembuhkan (menghidupkan) yang sakit (mati); dan menjadi bapak agama millah Ibrahim) yang hanif bagi seluruh umat manusia, sehingga dibangunkan tempat kiblat yang disebut dengan Ka’bah. Perhatikan QS. Al-An’am: 76-79, Al-Anbiya’: 51-69, Maryam: 4149, As-Shaffat 100-111, Al-Baqarah: 260,126,128, Ali Imran: 96-97.
(5)  Kisah Nabi Ismail as. yang mampu bertahan hidup pada situasi dan kondisi yang serba sulit gersang dan tanpa tergantung pada orang lain meskipun ayah sendiri; berkepribadian sebagai anak saleh yang siap menjadi korban penyembelihan jiwa kebinatangan dalam rangka mencapai keridaan Allah SWT; dengan kepakan kakinya maka muncullah air zamzam, sehingga menjadi bapak pemula bagi penggalian tambang air mineral, minyak, emas, dan lain-lain. Perhatikan QS. Ibrahim: 37, Al- Baqarah 125-129, As-Shaffat: 102.
(6)  Kisah Nabi Yusuf as. yang tetap eksis meskipun dikucilkan atau dibuang oleh yang lain; kuat menghadapi fitnah cinta, yang dengan kegantengan tidak untuk berbuat mesum, meskipun dengan para selebriti; mampu memprediksi masa depan melalui interpretasi mimpi; dan tidak membalas pada siapa pun yang pernah menyakitinya. Perhatikan QS. Yusuf: 1-111.
(7)  Kisah Nabi Musa as. yang berani menentang penguasa yang zalim; bapak kedokteran yang karena ilmunya bisa menghidupkan (menyembuhkan) orang yang mati (sakit); memerangi Qarun yang tamak; memberantas penyembahan terhadap hal-hal yang ganjil seperti patung sapi; berguru pada orang yang mengetahui masa depan seperti Nabi Khidhir; bapak pemula dalam pengembangan teknologi jembatan, melalui tongkat (beton) yang kokoh, Perhatikan QS. Al-Baqarah: 49-82, Al-Qashash: 7-35, Thaha: 57-97, Al-Maidah: 21-26, Al-Kahfi: 60-82.
(8)  Kisah Nabi Isa as. yang kehidupannya bersejarah, sehingga tercipta tahun masehi; mengembangkan teknologi kedokteran sehingga mampu mengobati yang sakit, seperti buta, kusta, bahkan menghidupkan (memotivasi) orang yang mati (pesimis); bapak pemula dalam ilmu kedokteran. Perhatikan QS. Maryam: 17-34, Al-Maidah:110-114, An-Nisa’: 157.
(9)  Kisah Nabi Muhammadi SAW yang kehadirannya membawa berkah dan rahmah bagi semua alam; kehidupannya sederhana, jujur dalam berdagang dan bisa dipercaya; perilakunya qur’ani; sikapnya yang tabah dalam menghadapi berbagai ejekan, cemooh, dan siksaan; tidak memiliki dendam kesumat pada orang yang menyakitinya; mampu mengendalikan diri dalam berperang seperti tidak membunuh orang tua, wanita, anak-anak yang telah menyerah; mampu memperbanyak makanan atau minuman melalui ujung jarinya, keluar mata air kasih sayang; bapak pemula bagi penjelajahan ruang angkasa dalam peristiwa isra’ dan mikraj; menjangkau masa lalu dan masa depan; melakukan imigrasi untuk menyebarkan agama; tidak pernah memiliki imaginasi yang buruk, sehingga tidak pernah mimpi mengeluarkan mani (ihtilam); biarpun matanya terpejam tetapi hatinya tetap terjaga untuk berzikir kepada Allah.
(10)         Demikian juga kisah-kisah orang yang saleh seperti Luqman al-Hakim yang selalu menganjurkan dasar-dasar filosofi pendidikan kepada anak-anaknya tidak menyekutukan Allah SWT namun tetap bersyukur kepada-Nya, diserukan mengerjakan shalat, berbuat sopan santun pada ibu bapak, mengajarkan yang baik dan meninggalkan yang mungkar, selalu bersabar, hidup bersahaja, dan tidak menyombongkan diri. Perhatikan QS. Luqman ayat 12-19.
b. Nilai-Nilai Normatif Pendidikan Islam
Alquran memuat nilai normatif yang menjadi acuan dalam pendidikan Islam. Nilai yang dimaksud terdiri atas tiga pilar utama (Al-Zuhaili, 1986: 438-439), yaitu:
1.  I’tiqadiyyah, yang berkaitan dengan pendidikan keimanan, seperti percaya kepada Allah, malaikat, rasul, kitab, hari akhir dan takdir, yang bertujuan untuk menata kepercayaan individu.
2. Khuluqiyyah, yang berkaitan dengan pendidikan etika, yang bertujuan untuk membersihkan diri dari perilaku rendah dan menghiasi diri dengan perilaku terpuji.
3. Amallyyah, yang berkaitan dengan pendidikan tingkah laku sehari-hari, baik yang berhubungan dengan:
(a).  Pendidikan lbadah, yang memuat hubungan antara manusia dengan Tuhannya,  seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan yang bertujuan untuk aktualisasi nilai-nilai ubudiyah.
(b). Pendidikan muamalah, yang memuat hubungan antara manusia, baik secara individual maupun institusional. Bagian ini terdiri atas:
1)     pendidikan syakhshiyah, seperti perilaku individu, masalah perkawinan, hubungan suami istri dan keluarga serta kerabat dekat, yang bertujuan untuk membentuk keluarga sakinah dan sejahtera;
2)     pendidikan madaniyah, yang berhubungan dengan perdagangan seperti upah, gadai, kongsi, dan sebagainya, yang bertujuan untuk mengelola harta benda atau hak-hak individu.
3)     Pendidikan jana’iyah, yang berhubungan dengan pidana atas pelanggaran yang dilakukan, yang bertujuan untuk memelihara kelangsungan kehidupan manusia, baik berkaitan dengan harta, kehormatan, maupun hak-hak individu lainnya.
4)     Pendidikan murafa’at, yang berhubungan dengan acara, seperti peradilan, saksi maupun sumpah, yang bertujuan untuk menegakkan keadilan di antara anggota masyarakat.
5)     Pendidikan dusturiyah, yang berhubungan dengan undang-undang negara yang mengatur hubungan antara rakyat dengan pemerintah atau negara, yang bertujuan untuk stabilitas bangsa dan negara.
6)     Pendidikan duwaliyah, yang berhubungan dengan tata negara, seperti tata negara Islam, tata negara tidak Islam, wilayah perdamaian dan wilayah perang, dan hubungan muslim satu negara dengan muslim di negara lain, yang bertujuan untuk perdamaian dunia.
7)     Pendidikan iqtishadiyah, yang berhubungan dengan perekonomian individu dan negara, hubungan yang miskin dan yang kaya, yang bertujuan untuk keseimbangan atan pemerataan pendapatan.
Alquran secara normatif juga mengungkap lima aspek pendidikan dalam dimensi-dimensi kehidupan manusia, yang meliputi:
1.      Pendidikan menjaga agama (hifdz al-din), yang mampu menjaga eksistensi agamanya; memahami dan melaksanakan ajaran agama secara konsekuen dan konsisten; mengembangkan, meramaikan, mendakwahkan, dan mensyiarkan agama. Perhatikan QS. Al-Mumtahanah: 12, Al-Baqarah: 191, Al-Maidah: 54, At-Taubah: 73, Al-Furqan: 52.
2.      Pendidikan menjaga jiwa (hifdz al-nafs), yang memenuhi hak dan kelangsungan hidup diri sendiri dan masing-masing anggota masyarakat, karenanya perlu diterapkan hukum qishash (pidana Islam) bagi yang melanggarnya, seperti hukuman mati. Perhatikan QS. Al-Maidah: 32, An-Nisa’: 93, Al-Isra’: 31, Al-An’am: 151, Al-Baqarah: 178-179.
3.      Pendidikan menjaga akal pikiran (hifdz al-’aqal), yang menggunakan akal pikirannya untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah dan hukum-hukum-Nya; menghindari perbuatan yang merusak akalnya dengan minum khamar atau zat adiktif, yang karenanya diberlakukan had (sanksi), seperti cambuk. Perhatikan QS. Al-Maidah: 90, Yasin: 60-62, Al-Qashash: 60, Yusuf: 109, Yunus: 16, Al-A’raf: 169, al-Anbiya’: 66-67, Hud: 51, Al-Mu'minun: 80, Ar-Rum: 24, 28, Al-Ankabut: 34-35, Ali Imran: 65, Al-An’am: 32, An-Nahl: 2-10, 66-69, Ar-Ra’d: 3-4, Al Baqarah 44,164,219.
4.      Pendidikan menjaga keturunan (hifdz al-nasb), yang mampu menjaga dan melestarikan generasi muslim yang tangguh dan berkualitas; menghindari perilaku seks menyimpang, seperti free sex, kumpul kebo, homoseksual, lesbian, sodomi, yang karenanya diundang-undangkan hukum rajam (lempar batu) atau cambuk. Perhatikan QS. An-Nisa’:3-4,9,25, An-Nur:2-9, Al-Isra’:32, Al-Ahzab:49, Ath-Thalaq: 1-7, Al-Baqarah:221-237.
5.      Pendidikan menjaga harta benda dan kehormatan (hifdz almal wa al- ‘irdh), yang mampu mempertahankan hidup melalui pencarian rezeki yang halal; menjaga kehormatan diri dan pencurian, penipuan, perampokan, pencekalan, riba, dan kezaliman. Perhatikan QS. An-Nur: 19-21, 27-29, Al-Hujurat: 11- 12, Al-Maidah: 38-39, An-Nisa’: 29-32, Ali Imran: 130, Al-Baqarah: 188, 275-284.
2.      As-Sunnah
As-Sunnah menurut pengertian bahasa berarti tradisi yang bisa dilakukan, atau jalan yang dilalui (al-thariqah al-maslukah) baik yang terpuji maupun yang tercela. As-Sunnah adalah: “segala sesuatu yang dinukilkan kepada Nabi SAW. berikut berupa perkataan, perbuatan, taqrir-nya, ataupun selain dari itu.( Zuhdi, 1978: 13-14) Termasuk ‘selain itu’ (perkataan, perbuatan, dan ketetapannya) adalah sifat-sifat, keadaan, dan cita-cita (himmah) Nabi SAW yang belum kesampaian. Misalnya, sifat-sifat baik beliau, silsilah (nasab), nama-nama dan tahun kelahirannya yang ditetapkan oleh para ahli sejarah, dan cita-cita beliau.
Robert L. Gullick dalam Muhammad the Educator menyatakan: "Muhammad betul-betul seorang pendidik yang membimbing manusia menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar serta melahirkan ketertiban dan stabilitas yang mendorong perkembangan budaya Islam, serta revolusi sesuatu yang mempunyai tempo yang tak tertandingi dan gairah yang menantang". Dari sudut pragmatis, seseorang yang mengangkat perilaku manusia adalah seorang pangeran di antara para pendidik, (Rahmat, 1991: 113). Kutipan itu diambil dari ensiklopedia yang melukiskan Nabi Muhammad SAW. sebagai seorang nabi, pemimpin, militer, negarawan, dan pendidik umat manusia.
Corak pendidikan Islam yang diturunkan dari Sunnah Nabi Muhammad SAW adalah sebagai berikut:
(1)  Disampaikan sebagai rahmat li al-‘alamin (rahmat bagi semua alam), yang ruang lingkupnya tidak sebatas spesies manusia, tetapi juga pada makhluk biotik dan abiotik lainnya. (QS. Al-Anbiya: 107-108)
(2)  Disampaikan secara utuh dan lengkap, yang memuat berita gembira dan peringatan pada umatnya. (QS. Saba’: 28)
(3)  Apa yang disampaikan merupakan kebenaran mutlak (QS. Al-Baqarah: 119) dan terpelihara autentitasnya. (QS. AI-Hijr: 9)
(4)  Kehadirannya sebagai evaluator yang mampu mengawasi dan senantiasa bertanggung jawab atas aktivitas pendidikan (QS. Asy-Syura: 48, Al-Ahzab: 45, Al-Fath: 8).
(5)  Perilaku Nabi SAW tercermin sebagai uswah hasanah yang dapat dijadikan figur atau suri teladan (QS. Al-Ahzab: 21), karena perilakunya dijaga oleh Allah SWT. (QS. An-Najm: 3-4), sehingga beliau tidak pernah berbuat maksiat.
(6)  Dalam masalah teknik operasional dalam pelaksanaan pendidikan Islam diserahkan penuh pada umatnya. Strategi, pendekatan, metode dan teknik pembelajaran diserahkan penuh pada ijtihad umatnya, selama hal itu tidak menyalahi aturan pokok dalam Islam. Sabda beliau yang diriwavatkan oleh Imam Muslim dari Anas dan Aisyah: "antum a’lmu bi umur dunyakum" (engkau lebih tahu terhadap urusan duniamu).
3.      Kata-kata Sahabat (Madzhab Shahabi)
Sahabat adalah orang yang pernah berjumpa dengan Nabi SAW dalam keadaan beriman dan mati dalam keadaan beriman juga. (Al-Husaiy,1405: 57). Para sahabat Nabi SAW memiliki karakteristik yang unik dibanding kebanyakan orang. Fazlur Rahman berpendapat bahwa  karakteristik sahabat Nabi SAW antara lain: (1) Tradisi yang dilakukan para sahabat secara konsepsional tidak terpisah dengan Sunnah Nabi SAW; (2) Kandungan yang khusus dan aktual tradisi sahabat sebagian besar produk sendiri; (3) Unsur kreatif dan kandungan merupakan ijtihad personal yang telah mengalami kristalisasi dalam ijma’, yang disebut dengan madzhab shahabi (pendapat sahabat). Ijtihad ini tidak terpisah dari petunjuk Nabi SAW terhadap sesuatu yang bersifat spesifik; dan (4) Praktik amaliah sahabat identik dengan ijima’ (konsensus umum).
Upaya sahabat Nabi SAW dalam pendidikan Islam sangat menentukan bagi perkembangan pemikiran pendidikan dewasa ini. Upaya yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Shiddiq, misalnya, mengumpulkan Alquran dalam satu mushhaf yang dijadikan sebagai sumber utama pendidikan Islam; meluruskan keimanan masyarakat dari pemurtadan dan memerangi membangkang dari pembayaran zakat. Sedangkan upaya yang dilakukan Umar bin al-Khattab adalah bahwa ia sebagai bapak revolusioner terhadap ajaran Islam. Tindakannya dalam memperluas wilayah Islam dan memerangi kezaliman menjadi salah satu model dalam membangun strategi dan perluasan pendidikan Islam dewasa ini. Sedang Utsman bin Affan berusaha untuk menyatukan sistematika berpikir ilmiah dalam menyatukan susunan Alquran dalam satu mushhaf, yang semua berbeda antara mushhaf satu dengan mushhaf lainnya. Sementara Ali bin Abi Thalib banyak merumuskan konsep-konsep kependidikan seperti hagaimana seyogianya etika peserta didik pada pendidiknya, bagaimana ghirah pemuda dalam belajar, dan demikian sebaliknya. (Al-Zarnuzi, tt: 15)
4.      Kemaslahatan Umat/Sosial (Mashâlih Al-Mursalah)
Mashâlih al-mursalah adalah menetapkan undang-undang, peraturan dan hukum tentang pendidikan dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan di dalam nash, dengan pertimbangan kemaslahatan hidup bersama, dengan bersendikan asas menarik kemaslahatan dan menolak kemudaratan (Khallaf, tt: 85-86). Mashalih al-mursalah dapat diterapkan jika ia benar-benar dapat menarik maslahat dan menolak mudarat melalui penyelidikan terlebih dahulu. Ketetapannya bersifat umum bukan untuk kepentingan perseorangan serta tidak bertentangan dengan nash.
Para ahli pendidikan berhak menentukan undang-undang atau peraturan pendidikan Islam sesuai dengan kondisi lingkungan di mana ia berada. Ketentuan yang dicetuskan berdasarkan mashalih al-mursalah paling tidak memiliki tiga kriteria: (1) apa yang dicetuskan benar-benar membawa kemaslahatan dan menolak kerusakan setelah melalui tahapan observasi dan analisis, misalnya pembuatan tanda tamat (ijazah) dengan foto pemiliknya; (2) kemaslahatan yang diambil merupakan kemaslahatan yang bersifat universal, yang mencakup seluruh lapisan masyarakat, taupa adanya diskriminasi, misalnya perumusan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional di negara Islam atau di negara yang penduduknya mayoritas Muslim; (3) keputusan yang diambil tidak bertentangan dengan nilai dasar Alquran dan As-Sunnah. Misalnya perumusan tujuan pendidikan tidak menyalahi fungsi kehambaan dan kekhalifahan manusia di bumi.
5.      Tradisi atau Adat Kebiasaan Masyarakat (‘Uruf)
Yang dimaksud dengan tradisi ('uruf/’adat) adalah kebiasaan masyarakat, baik berupa perkataan maupun perbuatan yang dilakukan secara kontinu dan seakan-akan merupakan hukum tersendiri, sehingga jiwa merasa tenang dalam melakukanya karena sejalan dengan akal dan diterima oleh tabiat yang sejahtera (Muhaimin, 2005: 201-202). Nilai tradisi setiap masyarakat merupakan realitas yang multikompleks dan dialektis. Nilai-nilai itu mencerminkan kekhasan masyarakat sekaligus sebagai pengejawantahan nilai-nilai universal manusia. Nilai-nilai tradisi dapat mempertahankan diri sejauh di dalam diri mereka terdapat nilai-nilai kemanusiaan. Bila nilai-nilai tradisi tidak lagi mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan, maka manusia akan kehilangan martabatnya (Suseno, 1991: 86-87).
Dalam konteks tradisi ini, masing-masing masyarakat Muslim memiliki corak tradisi yang unik, yang berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Sekalipun memiliki kesamaan agama, tetapi dalam hidup berbangsa dan bernegara mereka akan membentuk ciri unik. Karena alasan seperti ini, maka ada sebutan Islam universal dan Islam lokal. Islam universal adalah Islam yang diajarkan oleh Allah dan rasul-Nya sebagaimana adanya, yang memiliki nilai esensial dan diberlakukan untuk semua lapisan, misalnya menutup aurat bagi muslim dan muslaimah. Sedangkan Islam lokal adalah Islam adaptif terhadap tradisi dan budaya masyarakat setempat, sebagai hasil interpretasi terhadap Islam universal, seperti bagaimana bentuk menutup aurat itu, apa memakai celana, kebaya, jubah, atau lain sebagainya.
Kesepakatan bersama dalam tradisi dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Penerimaan tradisi ini tentunya memiliki syarat: (1) tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik Alquran maupun As-Sunnah; (2) tradisi yang berlaku tidak bertentangan dengan akal sehat dan tabiat yang sejahtera, serta tidak mengakibatkan kedurhakaan, kerusakan dan kemudaratan (Zuhdi, 1990: 124).
6.      Hasil Pemikiran Para Ahli dalam Islam (Ijtihad)
Ijtihad berakar dan kata jahda yang berarti al-masyaqqah (yang sulit) dan badzl al-wus’i wa al-thaqah (pengerahan kesanggupan dan kekuatan). Sa’id al-Taftani memberikan arti ijtihad dengan tahmil al-juhdi (ke arah yang membutuhkan kesungguhan), yaitu pengerahan segala kesanggupan dan kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai pada batas puncaknya (al-Umari, 1981: 18-19). Hasil ijtihad berupa rumusan operasional tentang pendidikan Islam yang dilakukan dengan menggunakan metode deduktif atau induktif dalam melihat masalah-masalah kependidikan.
Tujuan ijtihad dalam pendidikan adalah untuk dinamisasi, inovasi dan modernisasi pendidikan agar diperoleh masa depan pendidikan yang lebih berkualitas. Ijtihad tidak berarti merombak tatanan yang lama secara besar-besaran dan membuang begitu saja apa yang selama ini dirintis, tetapi memelihara tatanan lama yang baik dan mengambil tatanan baru yang lebih baik. Begitu penting upaya ijtihad ini sehingga Rasulullah memberikan apresiasi yang baik terhadap pelakunya, bila mereka benar melakukannya, baik pada tataran isi maupun prosedurnya, maka mereka mendapatkan dua pahala, tetapi apabila mengalami kesalahan, maka Ia dapat satu pahala, yaitu pahala karena kesungguhannya (HR. AI-Bukhari dan Muslim dari Amr ibn Ash).


Daftar Bacaan:
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional, Bandung: Fokusmedia, 2009
Langgulung, Hasan, Pendidikan dan Peradaban Islam Suatu Analisa Sosio-Psikologi, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1985
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Mesir: Dar al-Manar, 1373 H), Juz I
Bastaman, Hanna Djumhana, Integrasi Fsikologi dengan Islam, Mennju Fsikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Wahbah Al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al-Fikr, 1986, juz 1, h. 438-439
Zuhdi, Masyfuk, Pengantar Hukum  Islam, Jakarta: Haji Masagung, 1990
Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1991
Al-Husaiy,Muhammad Ibn 'Alawi al-Maliki, Qawa'id Asasiyyah fi 'Ilm al-Mushthalah al-Hadis, Macca: Dar Sahr, 1402
Al-Zarnuzi, Burhan al-Islam, Ta’lim al-Muta’alim fi Thariq al-Ta’allum, Surabaya: Salim Nabhan, tt.
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Jakarta, Al-Majlis al-A'la al-Indonesi li al-Da'wah al-Islamiyah, 1972
Muhaimin, Abdul Mujib, Yusuf Mudzakkir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005
Suseno, Franz Magnis, Berfilsafat dan Konteks, Jakarta: Gramedja, 1991