Sabtu, 21 Juli 2012

Dasar Operasional Pendidikan Islam


Oleh: Bukhari Umar
Dasar pendidikan Islam merupakan landasan operasional untuk merealisasikan dasar ideal/sumber pendidikan Islam. Menurut Hasan Langgulung, dasar operasional pendidikan Islam ada enam macam, yaitu historis, sosiologis, ekonomi, politik dan administrasi, psikologis, dan filosofis. Keenam macam dasar itu berpusat pada dasar filosofis. (Hasan Langgulung, 1988:6-7,12). Penentuan dasar tersebut agaknya sekuler selain tidak memasukkan dasar religius, juga menjadikan filsafat sebagai induk dari segala dasar. Dalam Islam, dasar operasional segala sesuatu adalah agama, sebab agama menjadi frame bagi setiap aktivitas yang bernuansa keislaman. Dengan agama, semua aktivitas kependidikan menjadi bermakna, mewarnai dasar lain, dan bernilai ubudiyah, Oleh karena itu, dasar  operasional pendidikan yang enam di atas perlu ditambahkan dasar yang ketujuh, yaitu agama.
1. Dasar Historis
Dasar historis adalah dasar yang berorientasi pada pengalaman pendidikan masa lalu, baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan-peraturan, agar kebijakan yang ditempuh masa kini akan lebih baik. Dasar ini juga dapat dijadikan acuan untuk memprediksi masa depan, karena dasar ini memberi data input tentang kelebihan dan kekurangan kebijakan serta maju mundurnya prestasi pendidikan yang telah ditempuh. Firman Allah SWT. dalam QS. Al-Hasyr ayat 18: “Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.” Misalnya, bangsa Arab memiliki kegemaran untuk bersastra, maka pendidikan sastra di Arab menjadi penting dalam kurikulum masa kini. Sebab, sastra selain menjadi identitas dan potensi akademik bagi bangsa Arab juga sebagai sumber perekat bangsa.
2. Dasar Sosiologis
Dasar sosiologis adalah dasar yang memberikan kerangka sosiobudaya, yang mana dengan sosiobudaya itu pendidikan dilaksanakan. Dasar ini juga berfungsi sebagai tolok ukur dalam prestasi belajar. Artinya, tinggi rendahnya suatu pendidikan dapat diukur dari tingkat relevansi output pendidikan dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak kehilangan konteks atau tercerabut dari akar masyarakatnya. Prestasi pendidikan hampir tidak berguna jika prestasi itu merusak tatanan masyarakat. Demikian juga, masyarakat yang baik akan menyelenggarakan format pendidikan yang baik pula.
3. Dasar Ekonomi
Dasar ekonomi adalah yang memberikan perspektif tentang potensi-potensi finansial, menggali dan mengatur sumber-sumber serta bertanggung jawab terhadap rencana dan anggaran pembelanjaannya. Oleh karena pendidikan dianggap sebagai sesuatu yang luhur, maka sumber-sumber finansial dalam menghidupkan pendidikan harus bersih, suci dan tidak bercampur dengan harta benda yang syubhat. Ekonomi yang kotor akan menjadikan ketidakberkahan hasil pendidikan. Misalnya, untuk pengembangan pendidikan, baik untuk kepentingan honorarium pendidik maupun biaya operasional sekolah, suatu lembaga pendidikan mengembangkan sistem rentenir. Boleh jadi usahanya itu secara material berkembang, tetapi tidak akan berkah secara spiritual. Peningkatan ilmu pengetahuan bagi peserta didik tidak akan memiliki implikasi yang signifikan terhadap perkembangan moral dan spiritual peserta didik. Allah SWT berfirman kepada Nabi Dawud as. Dalam Hadis Qudsi: “Hai Dawud, hindari dan peringatkan pada kaummu dari makanan syubhat karena sesungguhnya hati orang yang memakan makanan syubhat itu tertutup dari-Ku.” Pada Hadis ini diisyaratkan bahwa penggunaan harta syubhat (tidak jelas halal-haramnya) tidak diperbolehkan, apalagi harta yang haram.
4. Dasar Politik dan Administratif
Dasar politik dan administrasi adalah dasar yang memberikan bingkai ideologis, yang digunakan sebagai tempat bertolak untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan dan direncanakan bersama. Dasar politik menjadi penting untuk pemerataan pendidikan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, Dasar ini juga berguna untuk menentukan kebijakan umum (ammah) dalam rangka mencapai kemaslahatan bersama, bukan kemaslahatan hanya untuk golongan atau kelompok tertentu. Sementara dasar administrasi berguna untuk memudahkan pelayanan pendidikan, agar pendidikan dapat berjalan dengan lancar tanpa ada gangguan teknis dalam pelaksanaannya.
5. Dasar Psikologis
Dasar psikologis adalah dasar yang memberikan informasi tentang bakat, minat, watak, karakter, motivasi dan inovasi peserta didik, pendidik, tenaga administrasi, serta sumber daya manusia yang lain. Dasar ini berguna juga untuk mengetahui tingkat kepuasan dan kesejahteraan batiniah pelaku pendidikan, agar mereka mampu meningkatkan prestasi dan kompetisi dengan cara yang baik dan sehat. Dasar ini pula yang memberikan suasana batin yang damai, tenang, dan indah di lingkungan pendidikan, meskipun dalam kedamaian dan ketenangan itu senantiasa terjadi dinamika dan gerak cepat untuk lebih maju bagi pengembangan lembaga pendidikan.
6. Dasar Filosofis
Dasar filosofis adalah dasar yang memberi kemampuan memilih yang terbaik, memberi arah suatu sistem, mengontrol dan memberi arah kepada semua dasar-dasar operasional lainnya, Bagi masyarakat sekuler dasar ini menjadi acuan terpenting dalam pendidikan. Sebab, filsafat bagi mereka merupakan induk dari segala dasar pendidikan. Sementara bagi masyarakat religius, seperti masyarakat Muslim, dasar ini sekadar menjadi bagian dan cara berpikir di bidang pendidikan secara sistemik, radikal, dan universal yang asas-asasnya diturunkan dan nilai ilahiyah.
7.      Dasar Religius
Dasar religius adalah dasar yang diturunkan dari ajaran agama. Dasar ini secara detail telah dijelaskan pada sumber pendidikan Islam. Dasar ini menjadi penting dalam pendidikan Islam. Sebab dengan dasar ini, semua kegiatan pendidikan jadi bermakna. Konstruksi agama membutuhkan aktualisasi dalam berbagai dasar pendidikan yang lain, seperti historis, sosiologis, politik dan administratif, ekonomis, psikologis, dan filosofis. Agama menjadi frame bagi semua dasar pendidikan Islam. Aplikasi dasar-dasar yang lain merupakan bentuk realisasi diri yang bersumberkan dari agama dan bukan sebaliknya. Apabila agama Islam menjadi frame bagi dasar pendidikan Islam, maka semua tindakan kependidikan dianggap sebagai suatu ibadah. Sebab, ibadah merupakan aktualisasi diri (self-actualization) yang paling ideal dalam pendidikan Islam. DaIam masalah agama, aktualisasi di sini tidak sama persis dengan apa yang dimaksud dalam teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow, Aktualisasi di sini memiliki arti realisasi perilaku keagamaan yang pernah dijanjikan di alam arwah antara ruh manusia dan Tuhan. Sedang menurut teori Maslow, puncak kebutuhan manusia adalah aktualisasi diri, yang mana agama tidak termasuk di dalamnya. Kebutuhan akan agama tidak dapat dijelaskan dalam kelima hierarki kebutuhan itu, sebab agama merupakan perilaku transendensi. Orang yang shalat misalnya, semata-mata tidak untuk mnemenuhi kebutuhan biologis, aman, cinta, harga diri dan aktualisasi diri, tetapi untuk memenuhi kebutuhan transendensi, seperti ikhlas karena-Nya.




Daftar Bacaan:
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987
Muhaimin, Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan  Islam, Jakarta: Kencana, 2008, Ed.1, Cet. ke-2


Dasar Ideal/Sumber Pendidikan Islam


Oleh: Bukhari Umar
Dasar pendidikan adalah pondasi atau landasan yang kokoh bagi setiap masyarakat untuk dapat melakukan perubahan sikap dan tata laku dengan cara berlatih dan belajar dan tidak terbatas pada lingkungan sekolah, sehingga meskipun sudah selesai sekolah akan tetap belajar apa-apa yang tidak ditemui di sekolah. Hal ini lebih penting dikedepankan supaya tidak menjadi masyarakat berpendidikan yang tidak punya dasar pendidikan sehingga tidak mencapai kesempurnaan hidup.
Menurut Undang-undang No. 20 Tahun  2003 tentang Sistem Pendidikan  Nasional, pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Himpunan, 2009: 5).
Sumber pendidikan Islam yang dimaksudkan di sini adalah semua acuan atau rujukan yang darinya memancar ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang akan ditransinternalisasikan dalam pendidikan Islam. Sumber ini tentunya telah diyakini kebenaran dan kekuatannya dalam menghantar aktivitas pendidikan, dan telah teruji dari waktu ke waktu. Sumber pendidikan Islam terkadang disebut dengan dasar ideal pendidikan Islam. Urgensi penentuan sumber di sini adalah untuk:
1.  Mengarahkan tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai.
2. Membingkai seluruh kurikulum yang dilakukan dalam proses belajar mengajar, yang di dalamnya termasuk materi, metode, media, sarana dan evaluasi.
3. Menjadi standar dan tolok ukur dalam evaluasi, apakah kegiatan pendidikan telah mencapai dan sesuai dengan apa yang diharapkan atau belum.
Menurut Sa’id Ismail Ali, sebagaimana yang dikutip oleh Hasan Langgulung(1980: 35) sumber pendidikan Islam terdiri atas enam macam, yaitu Alquran, As-Sunnah, kata-kata sahabat (madzhab shahabi), kemaslahatan umat/sosial (mashalil al-mursalah), tradisi atau adat kebiasaan masyarakat ('uruf), dan hasil pemikiran para ahli dalam Islam (ijtihad). Keenam sumber pendidikan Islam tersebut didudukkan secara hierarkis. Artinya, rujukan penyelidikan Islam diawali dari sumber pertama (Alquran) untuk kemudian dilanjutkan pada sumber-sumber berikutnya secara berurutan.
1. AIquran
Secara etimologi Alquran berasal dari kata qara'a, yaqra’u, qira’atan atau qur'anan, yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dhammu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian yang lain secara teratur. Muhammad Salim Muhsin (tt: 5) mendefinisikan Alquran dengan: “Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang tertulis dalam mushaf-mushaf dan dinukil/diriwayatkan kepada kita dengan jalan yang mutawatir dan membacanya dipandang ibadah serta sebagai penentang (bagi yang tidak percaya) walaupun surat terpendek.” Sedang Muhammad Abduh (1373 H: 17) mendefinisikannya dengan: “Kalam mulia yang diturunkan oleh Allah kepada nabi yang paling sempurna (Muhammd SAW), ajarannya mencakup keseluruhan ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber yang mulia yang esensinya tidak dimengerti kecuali bagi orang yang berjiwa suci dan berakal cerdas.” (Muhammad Rasyid Ridha, 1373 H: 17)
Definisi pertama lebih melihat keadaan Alquran sebagai Firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW diriwayatkan kepada umat Islam secara mutawatir, membacanya sebagai ibadah, dan salah satu fungsinya sebagai mukjizat atau melemahkan para lawan yang menentangnya. Definisi kedua melengkapi isi Alquran yang mencakup keseluruhan ilmu pengetahuan, fungsinya sebagai sumber yang mulia, dan penggalian esensinya hanya bisa dicapai oleh orang yang berjiwa suci dan cerdas (Ridha, 1373 H: 17).
Alquran dijadikan sebagai sumber pendidikan Islam yang pertama dan utama karena ia memiliki nilai absolut yang diturunkan dari Tuhan. Allah SWT menciptakan manusia dan Dia pula yang mendidik manusia, yang mana isi pendidikan itu telah termaktub dalam wahyu-Nya. Tidak satu pun persoalan, termasuk persoalan pendidikan, yang luput dari jangkauan AIquran. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-An’am ayat 38: “Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” dan QS. An-Nahl ayat 89: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitah (Alquran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri". Ayat di atas memberikan isyarat bahwa pendidikan Islam cukup digali dari sumber autentik Islam, yaitu A1quran.
Nilai esensi dalam Alquran selamanya abadi dan selalu relevan pada setiap waktu dari zaman, tanpa ada perubahan sama sekali. Perubahan dimungkinkan hanya menyangkut masalah interpretasi mengenai nilai-nilai instrumental dan menyangkut masalah teknik operasional. Pendidikan Islam yang ideal harus sepenuhnya mengacu pada nilai dasar Alquran, tanpa sedikit pun menghindarinya. Mengapa hal itu diperlukan? Karena Alquran memuat tentang:
a. Sejarah Pendidikan Islam
Dalam Alquran disebutkan beberapa kisah nabi yang berkaitan dengan pendidikan. Kisah ini menjadi suri teladan bagi peserta didik dalam mengarungi kehidupan ini. Kisah itu misalnya:
(1)  Kisah Nabi Adam as., sebagai manusia pertama, yang merintis proses pengajaran (ta'lim) pada anak cucunya, seperti pengajaran tentang asma’ (nama-nama) benda (QS. Al-Baqarah: 30-31). Penyebutan nama-nama sama artinya dengan penelusuran terminologi, dan terminologi ekuivalen dengan konsep, sedangkan konsep merupakan produk penting dan akal budi manusia. Melalui sebuah asma’ sering kali seseorang menemukan gambaran mengenai karakteristik sesuatu, minimal mengetahui apa dan siapa yang diberi asma’ itu. Asma’ menunjukkan identitas dan eksisnya sesuatu. (Bastaman, 1995: 3).
(2)  Kisah Nabi Nuh as. yang mampu mendidik dan mengentaskan masyarakat dari banjir kemaksiatan melalui perahu keimanan; tidak membela dengan membabi buta kepada keluarga yang salah; menjadi pemula dalam mengembangkan teknologi perkapalan. Perhatikan QS. Hud: 42-43,25-32,40-48, Al-Ankabut:14.
(3)  Kisah Nabi Shalih as. yang saleh, cerdas, dan tubuhnya kuat; mampu memfungsikan batu seperi fungsi hewan unta mendayagunakan teknologi listrik (petir) untuk menghancurkan orang-orang yang durhaka. Perhatikan QS. Hud: 61-63, Asy- Syu'ara: 41-159, Al-A'raf 73-79.
(4)  Kisah Nabi Ibrahim as. yang memiliki kepribadian ketuhanan yang tangguh meskipun hidup pada keluarga dan lingkungan yang korup; mampu bertahan hidup meskipun dibuang ke hutan belantara; perintis metode induktif dalam mencari kebenaran, sebagaimana ketika ia mencari Tuhan; mempunyai kekuatan diplomatik yang baik ketika menghadapi penguasa yang zalim (Namrudz); menghancurkan sistem pemberhalaan kehidupan dalam segala hal; mampu mendinginkan kobaran api yang panas; melerai panasnya amarah; menjadi pemula dalam mengembangkan teknologi AC (air conditioning); mau menyembelih jiwa kebinatangan anaknya; mampu menyembuhkan (menghidupkan) yang sakit (mati); dan menjadi bapak agama millah Ibrahim) yang hanif bagi seluruh umat manusia, sehingga dibangunkan tempat kiblat yang disebut dengan Ka’bah. Perhatikan QS. Al-An’am: 76-79, Al-Anbiya’: 51-69, Maryam: 4149, As-Shaffat 100-111, Al-Baqarah: 260,126,128, Ali Imran: 96-97.
(5)  Kisah Nabi Ismail as. yang mampu bertahan hidup pada situasi dan kondisi yang serba sulit gersang dan tanpa tergantung pada orang lain meskipun ayah sendiri; berkepribadian sebagai anak saleh yang siap menjadi korban penyembelihan jiwa kebinatangan dalam rangka mencapai keridaan Allah SWT; dengan kepakan kakinya maka muncullah air zamzam, sehingga menjadi bapak pemula bagi penggalian tambang air mineral, minyak, emas, dan lain-lain. Perhatikan QS. Ibrahim: 37, Al- Baqarah 125-129, As-Shaffat: 102.
(6)  Kisah Nabi Yusuf as. yang tetap eksis meskipun dikucilkan atau dibuang oleh yang lain; kuat menghadapi fitnah cinta, yang dengan kegantengan tidak untuk berbuat mesum, meskipun dengan para selebriti; mampu memprediksi masa depan melalui interpretasi mimpi; dan tidak membalas pada siapa pun yang pernah menyakitinya. Perhatikan QS. Yusuf: 1-111.
(7)  Kisah Nabi Musa as. yang berani menentang penguasa yang zalim; bapak kedokteran yang karena ilmunya bisa menghidupkan (menyembuhkan) orang yang mati (sakit); memerangi Qarun yang tamak; memberantas penyembahan terhadap hal-hal yang ganjil seperti patung sapi; berguru pada orang yang mengetahui masa depan seperti Nabi Khidhir; bapak pemula dalam pengembangan teknologi jembatan, melalui tongkat (beton) yang kokoh, Perhatikan QS. Al-Baqarah: 49-82, Al-Qashash: 7-35, Thaha: 57-97, Al-Maidah: 21-26, Al-Kahfi: 60-82.
(8)  Kisah Nabi Isa as. yang kehidupannya bersejarah, sehingga tercipta tahun masehi; mengembangkan teknologi kedokteran sehingga mampu mengobati yang sakit, seperti buta, kusta, bahkan menghidupkan (memotivasi) orang yang mati (pesimis); bapak pemula dalam ilmu kedokteran. Perhatikan QS. Maryam: 17-34, Al-Maidah:110-114, An-Nisa’: 157.
(9)  Kisah Nabi Muhammadi SAW yang kehadirannya membawa berkah dan rahmah bagi semua alam; kehidupannya sederhana, jujur dalam berdagang dan bisa dipercaya; perilakunya qur’ani; sikapnya yang tabah dalam menghadapi berbagai ejekan, cemooh, dan siksaan; tidak memiliki dendam kesumat pada orang yang menyakitinya; mampu mengendalikan diri dalam berperang seperti tidak membunuh orang tua, wanita, anak-anak yang telah menyerah; mampu memperbanyak makanan atau minuman melalui ujung jarinya, keluar mata air kasih sayang; bapak pemula bagi penjelajahan ruang angkasa dalam peristiwa isra’ dan mikraj; menjangkau masa lalu dan masa depan; melakukan imigrasi untuk menyebarkan agama; tidak pernah memiliki imaginasi yang buruk, sehingga tidak pernah mimpi mengeluarkan mani (ihtilam); biarpun matanya terpejam tetapi hatinya tetap terjaga untuk berzikir kepada Allah.
(10)         Demikian juga kisah-kisah orang yang saleh seperti Luqman al-Hakim yang selalu menganjurkan dasar-dasar filosofi pendidikan kepada anak-anaknya tidak menyekutukan Allah SWT namun tetap bersyukur kepada-Nya, diserukan mengerjakan shalat, berbuat sopan santun pada ibu bapak, mengajarkan yang baik dan meninggalkan yang mungkar, selalu bersabar, hidup bersahaja, dan tidak menyombongkan diri. Perhatikan QS. Luqman ayat 12-19.
b. Nilai-Nilai Normatif Pendidikan Islam
Alquran memuat nilai normatif yang menjadi acuan dalam pendidikan Islam. Nilai yang dimaksud terdiri atas tiga pilar utama (Al-Zuhaili, 1986: 438-439), yaitu:
1.  I’tiqadiyyah, yang berkaitan dengan pendidikan keimanan, seperti percaya kepada Allah, malaikat, rasul, kitab, hari akhir dan takdir, yang bertujuan untuk menata kepercayaan individu.
2. Khuluqiyyah, yang berkaitan dengan pendidikan etika, yang bertujuan untuk membersihkan diri dari perilaku rendah dan menghiasi diri dengan perilaku terpuji.
3. Amallyyah, yang berkaitan dengan pendidikan tingkah laku sehari-hari, baik yang berhubungan dengan:
(a).  Pendidikan lbadah, yang memuat hubungan antara manusia dengan Tuhannya,  seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan yang bertujuan untuk aktualisasi nilai-nilai ubudiyah.
(b). Pendidikan muamalah, yang memuat hubungan antara manusia, baik secara individual maupun institusional. Bagian ini terdiri atas:
1)     pendidikan syakhshiyah, seperti perilaku individu, masalah perkawinan, hubungan suami istri dan keluarga serta kerabat dekat, yang bertujuan untuk membentuk keluarga sakinah dan sejahtera;
2)     pendidikan madaniyah, yang berhubungan dengan perdagangan seperti upah, gadai, kongsi, dan sebagainya, yang bertujuan untuk mengelola harta benda atau hak-hak individu.
3)     Pendidikan jana’iyah, yang berhubungan dengan pidana atas pelanggaran yang dilakukan, yang bertujuan untuk memelihara kelangsungan kehidupan manusia, baik berkaitan dengan harta, kehormatan, maupun hak-hak individu lainnya.
4)     Pendidikan murafa’at, yang berhubungan dengan acara, seperti peradilan, saksi maupun sumpah, yang bertujuan untuk menegakkan keadilan di antara anggota masyarakat.
5)     Pendidikan dusturiyah, yang berhubungan dengan undang-undang negara yang mengatur hubungan antara rakyat dengan pemerintah atau negara, yang bertujuan untuk stabilitas bangsa dan negara.
6)     Pendidikan duwaliyah, yang berhubungan dengan tata negara, seperti tata negara Islam, tata negara tidak Islam, wilayah perdamaian dan wilayah perang, dan hubungan muslim satu negara dengan muslim di negara lain, yang bertujuan untuk perdamaian dunia.
7)     Pendidikan iqtishadiyah, yang berhubungan dengan perekonomian individu dan negara, hubungan yang miskin dan yang kaya, yang bertujuan untuk keseimbangan atan pemerataan pendapatan.
Alquran secara normatif juga mengungkap lima aspek pendidikan dalam dimensi-dimensi kehidupan manusia, yang meliputi:
1.      Pendidikan menjaga agama (hifdz al-din), yang mampu menjaga eksistensi agamanya; memahami dan melaksanakan ajaran agama secara konsekuen dan konsisten; mengembangkan, meramaikan, mendakwahkan, dan mensyiarkan agama. Perhatikan QS. Al-Mumtahanah: 12, Al-Baqarah: 191, Al-Maidah: 54, At-Taubah: 73, Al-Furqan: 52.
2.      Pendidikan menjaga jiwa (hifdz al-nafs), yang memenuhi hak dan kelangsungan hidup diri sendiri dan masing-masing anggota masyarakat, karenanya perlu diterapkan hukum qishash (pidana Islam) bagi yang melanggarnya, seperti hukuman mati. Perhatikan QS. Al-Maidah: 32, An-Nisa’: 93, Al-Isra’: 31, Al-An’am: 151, Al-Baqarah: 178-179.
3.      Pendidikan menjaga akal pikiran (hifdz al-’aqal), yang menggunakan akal pikirannya untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah dan hukum-hukum-Nya; menghindari perbuatan yang merusak akalnya dengan minum khamar atau zat adiktif, yang karenanya diberlakukan had (sanksi), seperti cambuk. Perhatikan QS. Al-Maidah: 90, Yasin: 60-62, Al-Qashash: 60, Yusuf: 109, Yunus: 16, Al-A’raf: 169, al-Anbiya’: 66-67, Hud: 51, Al-Mu'minun: 80, Ar-Rum: 24, 28, Al-Ankabut: 34-35, Ali Imran: 65, Al-An’am: 32, An-Nahl: 2-10, 66-69, Ar-Ra’d: 3-4, Al Baqarah 44,164,219.
4.      Pendidikan menjaga keturunan (hifdz al-nasb), yang mampu menjaga dan melestarikan generasi muslim yang tangguh dan berkualitas; menghindari perilaku seks menyimpang, seperti free sex, kumpul kebo, homoseksual, lesbian, sodomi, yang karenanya diundang-undangkan hukum rajam (lempar batu) atau cambuk. Perhatikan QS. An-Nisa’:3-4,9,25, An-Nur:2-9, Al-Isra’:32, Al-Ahzab:49, Ath-Thalaq: 1-7, Al-Baqarah:221-237.
5.      Pendidikan menjaga harta benda dan kehormatan (hifdz almal wa al- ‘irdh), yang mampu mempertahankan hidup melalui pencarian rezeki yang halal; menjaga kehormatan diri dan pencurian, penipuan, perampokan, pencekalan, riba, dan kezaliman. Perhatikan QS. An-Nur: 19-21, 27-29, Al-Hujurat: 11- 12, Al-Maidah: 38-39, An-Nisa’: 29-32, Ali Imran: 130, Al-Baqarah: 188, 275-284.
2.      As-Sunnah
As-Sunnah menurut pengertian bahasa berarti tradisi yang bisa dilakukan, atau jalan yang dilalui (al-thariqah al-maslukah) baik yang terpuji maupun yang tercela. As-Sunnah adalah: “segala sesuatu yang dinukilkan kepada Nabi SAW. berikut berupa perkataan, perbuatan, taqrir-nya, ataupun selain dari itu.( Zuhdi, 1978: 13-14) Termasuk ‘selain itu’ (perkataan, perbuatan, dan ketetapannya) adalah sifat-sifat, keadaan, dan cita-cita (himmah) Nabi SAW yang belum kesampaian. Misalnya, sifat-sifat baik beliau, silsilah (nasab), nama-nama dan tahun kelahirannya yang ditetapkan oleh para ahli sejarah, dan cita-cita beliau.
Robert L. Gullick dalam Muhammad the Educator menyatakan: "Muhammad betul-betul seorang pendidik yang membimbing manusia menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar serta melahirkan ketertiban dan stabilitas yang mendorong perkembangan budaya Islam, serta revolusi sesuatu yang mempunyai tempo yang tak tertandingi dan gairah yang menantang". Dari sudut pragmatis, seseorang yang mengangkat perilaku manusia adalah seorang pangeran di antara para pendidik, (Rahmat, 1991: 113). Kutipan itu diambil dari ensiklopedia yang melukiskan Nabi Muhammad SAW. sebagai seorang nabi, pemimpin, militer, negarawan, dan pendidik umat manusia.
Corak pendidikan Islam yang diturunkan dari Sunnah Nabi Muhammad SAW adalah sebagai berikut:
(1)  Disampaikan sebagai rahmat li al-‘alamin (rahmat bagi semua alam), yang ruang lingkupnya tidak sebatas spesies manusia, tetapi juga pada makhluk biotik dan abiotik lainnya. (QS. Al-Anbiya: 107-108)
(2)  Disampaikan secara utuh dan lengkap, yang memuat berita gembira dan peringatan pada umatnya. (QS. Saba’: 28)
(3)  Apa yang disampaikan merupakan kebenaran mutlak (QS. Al-Baqarah: 119) dan terpelihara autentitasnya. (QS. AI-Hijr: 9)
(4)  Kehadirannya sebagai evaluator yang mampu mengawasi dan senantiasa bertanggung jawab atas aktivitas pendidikan (QS. Asy-Syura: 48, Al-Ahzab: 45, Al-Fath: 8).
(5)  Perilaku Nabi SAW tercermin sebagai uswah hasanah yang dapat dijadikan figur atau suri teladan (QS. Al-Ahzab: 21), karena perilakunya dijaga oleh Allah SWT. (QS. An-Najm: 3-4), sehingga beliau tidak pernah berbuat maksiat.
(6)  Dalam masalah teknik operasional dalam pelaksanaan pendidikan Islam diserahkan penuh pada umatnya. Strategi, pendekatan, metode dan teknik pembelajaran diserahkan penuh pada ijtihad umatnya, selama hal itu tidak menyalahi aturan pokok dalam Islam. Sabda beliau yang diriwavatkan oleh Imam Muslim dari Anas dan Aisyah: "antum a’lmu bi umur dunyakum" (engkau lebih tahu terhadap urusan duniamu).
3.      Kata-kata Sahabat (Madzhab Shahabi)
Sahabat adalah orang yang pernah berjumpa dengan Nabi SAW dalam keadaan beriman dan mati dalam keadaan beriman juga. (Al-Husaiy,1405: 57). Para sahabat Nabi SAW memiliki karakteristik yang unik dibanding kebanyakan orang. Fazlur Rahman berpendapat bahwa  karakteristik sahabat Nabi SAW antara lain: (1) Tradisi yang dilakukan para sahabat secara konsepsional tidak terpisah dengan Sunnah Nabi SAW; (2) Kandungan yang khusus dan aktual tradisi sahabat sebagian besar produk sendiri; (3) Unsur kreatif dan kandungan merupakan ijtihad personal yang telah mengalami kristalisasi dalam ijma’, yang disebut dengan madzhab shahabi (pendapat sahabat). Ijtihad ini tidak terpisah dari petunjuk Nabi SAW terhadap sesuatu yang bersifat spesifik; dan (4) Praktik amaliah sahabat identik dengan ijima’ (konsensus umum).
Upaya sahabat Nabi SAW dalam pendidikan Islam sangat menentukan bagi perkembangan pemikiran pendidikan dewasa ini. Upaya yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Shiddiq, misalnya, mengumpulkan Alquran dalam satu mushhaf yang dijadikan sebagai sumber utama pendidikan Islam; meluruskan keimanan masyarakat dari pemurtadan dan memerangi membangkang dari pembayaran zakat. Sedangkan upaya yang dilakukan Umar bin al-Khattab adalah bahwa ia sebagai bapak revolusioner terhadap ajaran Islam. Tindakannya dalam memperluas wilayah Islam dan memerangi kezaliman menjadi salah satu model dalam membangun strategi dan perluasan pendidikan Islam dewasa ini. Sedang Utsman bin Affan berusaha untuk menyatukan sistematika berpikir ilmiah dalam menyatukan susunan Alquran dalam satu mushhaf, yang semua berbeda antara mushhaf satu dengan mushhaf lainnya. Sementara Ali bin Abi Thalib banyak merumuskan konsep-konsep kependidikan seperti hagaimana seyogianya etika peserta didik pada pendidiknya, bagaimana ghirah pemuda dalam belajar, dan demikian sebaliknya. (Al-Zarnuzi, tt: 15)
4.      Kemaslahatan Umat/Sosial (Mashâlih Al-Mursalah)
Mashâlih al-mursalah adalah menetapkan undang-undang, peraturan dan hukum tentang pendidikan dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan di dalam nash, dengan pertimbangan kemaslahatan hidup bersama, dengan bersendikan asas menarik kemaslahatan dan menolak kemudaratan (Khallaf, tt: 85-86). Mashalih al-mursalah dapat diterapkan jika ia benar-benar dapat menarik maslahat dan menolak mudarat melalui penyelidikan terlebih dahulu. Ketetapannya bersifat umum bukan untuk kepentingan perseorangan serta tidak bertentangan dengan nash.
Para ahli pendidikan berhak menentukan undang-undang atau peraturan pendidikan Islam sesuai dengan kondisi lingkungan di mana ia berada. Ketentuan yang dicetuskan berdasarkan mashalih al-mursalah paling tidak memiliki tiga kriteria: (1) apa yang dicetuskan benar-benar membawa kemaslahatan dan menolak kerusakan setelah melalui tahapan observasi dan analisis, misalnya pembuatan tanda tamat (ijazah) dengan foto pemiliknya; (2) kemaslahatan yang diambil merupakan kemaslahatan yang bersifat universal, yang mencakup seluruh lapisan masyarakat, taupa adanya diskriminasi, misalnya perumusan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional di negara Islam atau di negara yang penduduknya mayoritas Muslim; (3) keputusan yang diambil tidak bertentangan dengan nilai dasar Alquran dan As-Sunnah. Misalnya perumusan tujuan pendidikan tidak menyalahi fungsi kehambaan dan kekhalifahan manusia di bumi.
5.      Tradisi atau Adat Kebiasaan Masyarakat (‘Uruf)
Yang dimaksud dengan tradisi ('uruf/’adat) adalah kebiasaan masyarakat, baik berupa perkataan maupun perbuatan yang dilakukan secara kontinu dan seakan-akan merupakan hukum tersendiri, sehingga jiwa merasa tenang dalam melakukanya karena sejalan dengan akal dan diterima oleh tabiat yang sejahtera (Muhaimin, 2005: 201-202). Nilai tradisi setiap masyarakat merupakan realitas yang multikompleks dan dialektis. Nilai-nilai itu mencerminkan kekhasan masyarakat sekaligus sebagai pengejawantahan nilai-nilai universal manusia. Nilai-nilai tradisi dapat mempertahankan diri sejauh di dalam diri mereka terdapat nilai-nilai kemanusiaan. Bila nilai-nilai tradisi tidak lagi mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan, maka manusia akan kehilangan martabatnya (Suseno, 1991: 86-87).
Dalam konteks tradisi ini, masing-masing masyarakat Muslim memiliki corak tradisi yang unik, yang berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Sekalipun memiliki kesamaan agama, tetapi dalam hidup berbangsa dan bernegara mereka akan membentuk ciri unik. Karena alasan seperti ini, maka ada sebutan Islam universal dan Islam lokal. Islam universal adalah Islam yang diajarkan oleh Allah dan rasul-Nya sebagaimana adanya, yang memiliki nilai esensial dan diberlakukan untuk semua lapisan, misalnya menutup aurat bagi muslim dan muslaimah. Sedangkan Islam lokal adalah Islam adaptif terhadap tradisi dan budaya masyarakat setempat, sebagai hasil interpretasi terhadap Islam universal, seperti bagaimana bentuk menutup aurat itu, apa memakai celana, kebaya, jubah, atau lain sebagainya.
Kesepakatan bersama dalam tradisi dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Penerimaan tradisi ini tentunya memiliki syarat: (1) tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik Alquran maupun As-Sunnah; (2) tradisi yang berlaku tidak bertentangan dengan akal sehat dan tabiat yang sejahtera, serta tidak mengakibatkan kedurhakaan, kerusakan dan kemudaratan (Zuhdi, 1990: 124).
6.      Hasil Pemikiran Para Ahli dalam Islam (Ijtihad)
Ijtihad berakar dan kata jahda yang berarti al-masyaqqah (yang sulit) dan badzl al-wus’i wa al-thaqah (pengerahan kesanggupan dan kekuatan). Sa’id al-Taftani memberikan arti ijtihad dengan tahmil al-juhdi (ke arah yang membutuhkan kesungguhan), yaitu pengerahan segala kesanggupan dan kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai pada batas puncaknya (al-Umari, 1981: 18-19). Hasil ijtihad berupa rumusan operasional tentang pendidikan Islam yang dilakukan dengan menggunakan metode deduktif atau induktif dalam melihat masalah-masalah kependidikan.
Tujuan ijtihad dalam pendidikan adalah untuk dinamisasi, inovasi dan modernisasi pendidikan agar diperoleh masa depan pendidikan yang lebih berkualitas. Ijtihad tidak berarti merombak tatanan yang lama secara besar-besaran dan membuang begitu saja apa yang selama ini dirintis, tetapi memelihara tatanan lama yang baik dan mengambil tatanan baru yang lebih baik. Begitu penting upaya ijtihad ini sehingga Rasulullah memberikan apresiasi yang baik terhadap pelakunya, bila mereka benar melakukannya, baik pada tataran isi maupun prosedurnya, maka mereka mendapatkan dua pahala, tetapi apabila mengalami kesalahan, maka Ia dapat satu pahala, yaitu pahala karena kesungguhannya (HR. AI-Bukhari dan Muslim dari Amr ibn Ash).


Daftar Bacaan:
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional, Bandung: Fokusmedia, 2009
Langgulung, Hasan, Pendidikan dan Peradaban Islam Suatu Analisa Sosio-Psikologi, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1985
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Mesir: Dar al-Manar, 1373 H), Juz I
Bastaman, Hanna Djumhana, Integrasi Fsikologi dengan Islam, Mennju Fsikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Wahbah Al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al-Fikr, 1986, juz 1, h. 438-439
Zuhdi, Masyfuk, Pengantar Hukum  Islam, Jakarta: Haji Masagung, 1990
Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1991
Al-Husaiy,Muhammad Ibn 'Alawi al-Maliki, Qawa'id Asasiyyah fi 'Ilm al-Mushthalah al-Hadis, Macca: Dar Sahr, 1402
Al-Zarnuzi, Burhan al-Islam, Ta’lim al-Muta’alim fi Thariq al-Ta’allum, Surabaya: Salim Nabhan, tt.
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Jakarta, Al-Majlis al-A'la al-Indonesi li al-Da'wah al-Islamiyah, 1972
Muhaimin, Abdul Mujib, Yusuf Mudzakkir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005
Suseno, Franz Magnis, Berfilsafat dan Konteks, Jakarta: Gramedja, 1991