Rabu, 01 Desember 2010

Pendidikan dalam Perspektif Hadis: Berakhlak Mulia sebagai Tujuan Pendidikan Islam


Oleh: Bukhari Umar
Manusia yang berkhlak mulia harus menjadi sasaran proses pendidikan Islam karena itulah misi utama Rasulullah SAW. Berkenaan dengan akhlak mulia sebagai tujuan pendidikan dapat dilihat dari hadis-hadis antara lain:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ[1]. رواه البيهقى
Abu Hurairah r.a.  meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda: Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.
عن جابر بن عبد الله قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إِنَّ اللهَ بَعَثَنِيْ بِتَمَامِ مَكَارِمِ الأَخْلاَقِ وَكَمَالِ محَاَسِنِ الأَفْعَالِ[2]. رواه الطبرانى
Jabir bin Abdullah berkata, Rasulullah saw. Berkata 'Sesungguhnya Allah mengutusku dengan tugas membina kesempurnaan akhlak dan kebaikan pekerjaan.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ: قَالَ لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَاحِشًا وَلاَ مُتَفَحِّشًا ، وَإِنَّهُ كَانَ يَقُولُ: إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحَاسِنُكُمْ أَخْلاَقًا[3]  رواه البخارى
Abdullah bin Amr RA, berkata, “Nabi SAW bukan seorang yang keji dan bukan pula bersikap keji. Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik akhlaknya’.”
Ketiga hadis di atas menunjukkan dengan tegas bahwa misi utama Rasulullah saw. adalah  memperbaiki akhlak manusia. Beliau melaksanakan misi tersebut dengan cara menghiasi dirinya dengan berbagai akhlak yang mulia dan menganjurkan agar umatnya senantiasa menerapkan akhlak tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. Bahkan secara tegas, beliau menyatakan bahwa kualitas iman seseorang itu dapat diukur dengan akhlak yang ditampilkannya.[4] Itu berarti bahwa semakin bagus kualitas iman seseorang akan semakin baik pula akhlaknya. Dengan kata lain,  akhlak seseorang yang jelek merupakan pertanda bahwa imannya tidak bagus.
Rasulullah saw. telah memperlihatkan akhlak yang mulia sepanjang hidupnya. Al-Abrasyi mengemukakan bahwa Nabi saw. adalah  yang paling baik tingkah lakunya, pemuda yang paling bersih, manusia yang paling zuhud dalam hidupnya, hakim yang paling adil dalam memutuskan perkara, prajurit yang paling berani dalam membela kebenaran, ikutan yang terbaik bagi orang-orang saleh dan para pendidik.[5] Pribadi beliau merupakan presentasi akhlak yang sesuai dengan Alquran.
Bila misi utama Rasulullah saw. adalah  menyempurnakan kemuliaan akhlak, maka proses pendidikan  seyogianya diarahkan menuju terbentuknya pribadi dan umat yang berakhlak mulia. Hal ini sesuai dengan penegasan Allah bahwa Nabi saw. adalah  teladan utama bagi umat manusia (QS. Al-Ahzab: 21). Untuk mencapai hal itu, akhlak mulia harus ditegaskan dalam formulasi tujuan pendidikan.
Para ahli pendidikan Islam  telah merumuskan tujuan pendidikan yang merangkum maksud-maksud hadis di atas, antara lain:
1.     Tujuan pendidikan Islam  adalah terbentuknya insan kamil yang di dalamnya memiliki wawasan kaffah agar mampu menjalankan tugas-tugas kehambaan, kekhalifahan dan pewaris Nabi.[6]
2.     Rumusan tujuan hasil keputusan seminar pendidikan Islam  se Indonesia tanggal 7 s.d. 11 Mei 1960 di Cipayung, Bogor: Tujuan pendidikan Islam  adalah menanamkan taqwa dan akhlak serta menegakkan kebenaran dalam rangka membentuk manusia yang berpribadi dan berbudi luhur menurut ajaran Islam.[7]
3.     Rumusan tujuan pendidikan Islam yang dihasilkan dari seminar pendidikan Islam  sedunia tahun 1980 di Islamabad adalah :
Education aims at the balanced growth of total personality of man through the training of man's spirit, intellect, thr rational self, feeling and bodile sense. Education should, therefore, cater for the growth of man in all its aspects, spiritual, intellectual, imaginative, phisycal, scientific, linguistic, both individuallyand collevtively, and motivate all this aspects toward goodness and attainment f perfection. The ultimate aim of education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at large[8]
Maksudnya, pendidikan seharusnya bertujuan mencapai pertumbuhan yang seimbang dalam kepribadian manusia  secara total melalui pelatihan spiritual, kecerdasan, rasio, perasaan, dan panca indera. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya pelayanan bagi pertumbuhan bagi manusia  dalam segala aspeknya yang meliputi aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah, linguistic, baik secara individu, maupun secara kolektif dan memotivasi semua aspek tersebut kepada kebaikan dan pencapaian kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan bertumpu pada terealisasinya ketundukan kepada Allah SWT. baik dalam level individu, komunitas, dan manusia  secara luas.





[1]Abu Bakar Ahmad Ibn al-Husayn Ibn 'Ali al-Bayhaqiy (Selanjutnya disebut al-Bayhaqiy,Sunan), Sunan al-Bayhaqiy. Juz 2, h. 472, dalam al-Maktabah al-Syâmilah
[2]Al-Thabrani, Al-Mu'jam al-Awsath, Juz 7, h. 74, dalam al-Maktabah al-Syâmilah  
[3]Al-Bukhâriy, Op.cit., Juz 4, h. 2444; Muslim, Op.cit., Juz 4, h. 1810
[4]Sesuai dengan maksud hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmizi dan Ahmad (lihat Abu Daud, 13: 412; Trmizi, 5: 5; dan Ahmad, 16: 138).
[5]Lihat, Muhammad Athiyah al-Abrasyi, 'Azhamat al-Rasul Shalla Allah 'alayh wa Sallam, (Kairo: Dar al-Qalam, 1966), h. 169
[6]Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakrta: Kencana, 2006), Cet. 1, h. 85-86
[7]M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991),   h. 41
[8]M Arifin, Kapita Sekta Pendidikan Islam  dan Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 4

Pendidikan dalam Perspektif Hadis: Manusia Beriman sebagai Tujuan Pendidikan


Oleh: Bukhari Umar
Kualifikasi beriman merupakan sasaran yang ingin dicapai dalam pendidikan seorang muslim. Pengakuan keimanan dan sikap konsisten dapat membuat seorang muslim mencapai tingkat kesempurnaan. Sekaitan dengan iman terdapat hadis antara lain:
عن سفيان بن عبد الله الثقفي قال قُلْتُ ياَ رَسُوْلَ اللهِ قُلْ لِيْ فِي الإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ (وَفِي حَدِيْثِ أَبِي أُسَامَةَ غَيْرَكَ)  : قَالَ قُلْ آمَنْتُ باِللهِ فَاسْتَقِمْ.[1] رواه مسلم وأحمد
Sufyan bin Abdullah al-Saqafiy meriwayatkan bahwa ia berkata kepada Rasulullah: Ya Rasulullah ! Katakanlah kepada saya sesuatu tentang Islam yang tidak akan saya tanyakan lagi sesudah Engkau! Nabi berkata: Katakanlah! Saya beriman kepada Allah lalu tetapkanlah pendirianmu.
Hadis ini menunjukkan bahwa iman kepada Allah dan istiqamah dengan pengakuan keimanan itu merupakan suatu hal yang sudah cukup dan memadai bagi seorang muslim. Oleh karena itu, para pendidik harus berusaha agar peserta didik  memiliki iman yang kuat dan teguh pendirian dalam melaksanakan tuntutan iman tersebut. Segala aktivitas kependidikan agar diarahkan menuju terbentuknya pribadi-pribadi yang beriman.
Sehubungan dengan ketinggian derajat orang yang beriman dapat dibaca dalam hadis berikut ini:
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « إِنَّ أَهْلَ الْجَنَّةِ يَتَرَاءَيُونَ أَهْلَ الْغُرَفِ مِنْ فَوْقِهِمْ كَمَا يَتَرَاءَيُونَ الْكَوْكَبَ الدُّرِّىَّ الْغَابِرَ فِى الأُفُقِ مِنَ الْمَشْرِقِ أَوِ الْمَغْرِبِ ، لِتَفَاضُلِ مَا بَيْنَهُمْ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، تِلْكَ مَنَازِلُ الأَنْبِيَاءِ لاَ يَبْلُغُهَا غَيْرُهُمْ قَالَ « بَلَى وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ ، رِجَالٌ آمَنُوا بِاللَّهِ وَصَدَّقُوا الْمُرْسَلِينَ.[2] رواه البخارى ومسلم والترمذى وأحمد
Abu Sa'id al-Khudhri r.a. meriwayatkan Nabi saw bersabda: Sesungguhnya penduduk sorga melihat penghuni tempat yang tinggi di atas mereka seperti mereka melihat bintang yang berada di penjuru Timur dan Barat karena keutamaan mereka. Sahabat bertanya: Ya Rasulullah ? Apakah itu tempat para Nabi yang tidak bisa dicapai oleh orang lain? Beliau menjawab: Bisa, demi Zat Yang Menggenggam diriku, mereka itu adalah  orang-orang yang beriman kepada Allah dan membenarkan para Rasul.
Hadis ini menunjukkan ketinggian orang yang kuat keimanannya  kepada Allah dan Rasul di antara makhluk Allah secara keseluruhan. Posisi tersebut dimungkinkan bagi orang-orang yang sungguh-sungguh dan berusaha meningkatkan keimanannya.
Dalam Alquran dipaparkan oleh Allah kriteria orang-orang yang beriman dalam beberapa surat, di antaranya: surat Al-Anfal: 2, 3, 74, An-Nur: 62; Al-Mukmin: 2-8, dan Al-Hujurat: 49. Kriteria itu adalah: hatinya bergetar bila mendengar nama Allah, imannya bertambah bila mendengar ayat Allah, bertawakal hanya kepada Allah, mendirikan shalat dengan khusyuk, menunaikan zakat, sopan dan patuh kepada Rasulullah, menjaga kehormatan dari yang haram, memelihara amanah, menepati janji, menjauhkan diri dari perkataan dan perbuatan sia-sia, membantu orang-orang yang beriman, dan suka berinfak.
Bila orang yang beriman diyakini sebagai orang yang dimuliakan dan diistimewakan oleh Allah di dunia dan akhirat, maka seyogianya segala proses pendidikan Islam itu diarahkan untuk mencapai derajat itu. Hal itu dimungkinkan bila setiap pendidik berupaya melakukan berbagai aktivitas kependidikan yang berpotensi membawa peserta didik kepada kualitas iman yang baik. Lebih tegasnya, pendidik perlu memasukkan kualifikasi mukmin dalam rumusan tujuan pendidikan yang dilakukannya. 


[1]Muslim, Op.cit., Juz 1, h. 65
[2]Al-Bukhâriy, Op.cit., Juz 2, h. 1279

Pendidikan dalam Perspek Hadis: Takwa sebagai Tujuan Pendidikan



Oleh: Bukhari Umar

Konsep tujuan pendidikan, menurut Omar Muhammad at-Taumy al-Syaibani, adalah  perubahan yang diinginkan melalui proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu pada kehidupan pribadinya, pada kehidupan masyarakat dan alam sekitar maupun pada proses pendidikan  dan pengajaran itu sendiri sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai proporsi sebagai profesi asasi dalam masyarakat.[1] Berdasarkan konsep ini, pendidikan  dipandang tidak berhasil atau tidak mencapai tujuan bila tidak ada perubahan pada diri peserta didik  setelah menyelesaikan suatu program pendidikan.
Agar dapat terukur, sebelum melakukan proses pendidikan  perlu dibuat rumusan-rumusan tujuan yang jelas. Rumusan tersebut dapat digali dari sumber pendidikan Islam itu, yaitu Alquran dan hadis sebagai sumber utama. Berikut ini akan dikemukakan hadis-hadis yang berkenaan dengan tujuan pendidikan. Di antaranya bertakwa kepada Allah, beriman, dan berakhlak mulia.
A.         Bertakwa kepada Allah
Sehubungan dengan takwa sebagai tujuan pendidikan terdapat hadis-hadis antara lain :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: مَنْ أَكْرَمُ النَّاسِ قَالَ: أَتْقَاهُمْ لِلَّهِ ....[2] رواه البخارى
Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. ditanya tentang siapa orang yang paling mulia? Beliau menjawab: Orang yang paling bertakwa kepada Allah.
عن أبي هريرة قال: قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ أَكْرَمُ النَّاسِ ؟ قاَلَ أَتْقَاهُمْ ....[3]. رواه مسلم
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah ditanya: Ya Rasulullah! Siapa manusia yang paling mulia? Beliau menjawab, 'orang yang paling bertakwa'
Hadis ini menunjukan bahwa manusia yang paling mulia adalah yang paling tinggi tingkat ketakwaannya. Sikap takwa mengalahkan semua indikasi kemuliaan martabat yang lain. Simbol-simbol kemoderenan dan kesejahteraan yang dimiliki oleh seseorang tidak dapat mengalahkan sikap takwa. Itu berarti bahwa kendatipun seseorang memiliki keterampilan menggunakan teknologi mutakhir dan memiliki kekayaan yang melimpah, tetapi bila ia tidak bertakwa kepada Allah, maka ia sesungguhnya belum dapat dimasukkan ke dalam kategori orang yang paling mulia.
At-Tabari mengatakan, Rasulullah saw. berkhutbah di Mina di tengah hari-hari Tasyriq, sedang beliau berada di atas untanya. Katanya, ‘Hai manusia, ketahuilah sesungguhnya Tuhanmu adalah Esa dan ayahmu satu. Ketahuilah! Tidak ada kelebihan bagi seorang Arab atas seseorang ‘Ajam (bukan Arab) maupun bagi seorang ‘Ajam atas seorang Arab, atau bagi orang hitam atas orang merah, atau bagi orang merah atas orang hitam, kecuali dengan takwa. Ketahuilah, apakah telah aku sampaikan? “Mereka menjawab, “Ya.” Rasul berkata, “Maka hendaklah yang menyaksikan hari ini menyampaikan kepada yang tidak hadir.’
Diriwayatkan pula dari Abu Malik Al-Asy’ari, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda ,“Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada pangkat-pangkat kalian dan tidak pula kepada nasab-nasabmu dan tidak pula kepada tubuhmu, dan tidak pula kepada hartamu, akan tetapi memandang kepada hatimu. Maka barang siapa mempunyai hati yang saleh, maka Allah belas kasih kepadanya. Kalian tak lain adalah anak cucu Adam. Dan yang paling dicintai Allah di antara kalian ialah yang paling bertakwa di antara kalian.[4]
 Lebih lanjut Al-Maraghi menjelaskan ayat  إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ  (QS Al-Hujurat/49:13) Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah dan yang paling tinggi kedudukannya di sisi-Nya ‘Azza wa Jalla di akhirat maupun di dunia adalah yang paling bertakwa. Jadi jika kamu hendak berbangga maka banggakanlah takwamu. Artinya siapa yang ingin memperoleh derajat-derajat yang tinggi maka hendaklah ia bertakwa.[5]
Bila proses pendidikan  dimaksudkan untuk meningkatkan martabat dan harkat hidup manusia, maka suatu hal yang harus dilakukan adalah upaya meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Semua aktivitas kependidikan harus mengacu kepada pembentukan sikap dan perilaku yang bertakwa.
Seperti apa orang yang bertakwa itu? Yang paling berkompeten menjawab pertanyaan ini adalah Alquran karena Allah yang memerintahkan agar manusia ini bertakwa kepada-Nya. Paling tidak ada tiga tempat dalam Alquran yang mengemukakan secara jelas criteria orang yang bertakwa, yaitu: surat Al-Baqarah: 3-4, Al-Baqarah: 177, dan Ali Imran: 134, 135. Berdasarkan ayat ini, kriteria orang-orang yang bertakwa dapat diklasifikasikan kepada tiga aspek, yaitu: memiliki akidah yang kuat, mengerjakan ibadah dengan baik, dan memiliki akhlak yang mulia.
 Ketiga aspek tersebut memiliki kriteria yang jelas. Aspek akidah memiliki kriteria : beriman kepada Allah, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, hari kemudian, dan sesuatu yang gaib. Aspek ibadah mencakup kriteria mendirikan shalat,  menunaikan zakat, selalu memohon ampun kepada Allah ketika terlanjur berbuat dosa. Aspek akhlak memiliki kriteria suka memberikan harta yang dicintainya baik pada waktu sempit maupun waktu lapang kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, memerdekakan hamba sahaya, menepati janji apabila ia berjanji, mampu mengendalikan diri sewaktu marah, dapat memaafkan kesalahan orang lain, suka berbuat kebaikan, tidak mau mengulangi perbuatan salah, sabar dalam menghadapi kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
Itulah sikap dan perilaku yang terkandung dalam istilah takwa. Bila disepakati bahwa tujuan pendidikan  adalah membentuk insan yang bertakwa, maka semua aktivitas kependidikan harus diarahkan untuk mencapai sikap dan perilaku tersebut. Paling tidak, jangan terjadi proses pendidikan  yang bertentangan atau dapat menghambat terwujudnya sikap dan perilaku dimaksud.
Dalam hadis di atas Rasulullah saw. memotivasi para sahabat agar menjadi orang yang bertakwa dengan menempatkan  muttaqin  pada posisi paling terhormat. Ini merupakan motivasi yang sangat kuat karena orang-orang yang normal selalu mencari posisi terbaik dalam kehidupan ini. Motivasi seperti ini didukung oleh Sistem Pendidikan Nasional Indonesia, di mana semua warga negara digiring untuk meraih kualifikasi taqwa dalam segala jenjang, jalur, jenis dan proses pendidikan yang dilaluinya.


[1]Omar Mohammad al-Taumy Al-Saibani, Falsafah Pendidikan Islam, Terjemahan Hasan langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 399
[2]Al-Bukhâriy, Op.cit., Juz 2, h. 1330
[3]Muslim, Op.cit., 4: 1846
[4]Al-Marâghi, Op.cit., Jilid 9, Juz 26, h. 144
[5]Ibid.

Pendidik dalam Perspektif Hadis: Ancaman untuk Yang Menyembunyikan Ilmu


Oleh: Bukhari Umar

Sehubungan dengan kewajiban mengajar, Rasulullah saw. memperingatkan agar orang yang sudah memiliki ilmu pengetahuan ('âlim, ustaz, guru) agar tidak kikir dalam memberikan ilmunya, apalagi sampai menyembunikannya. Sehubungan dengan ini terdapat hadis antara lain:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ».[1] رواه أبو داود وأحمد
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang ditanya tentang suatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya (tidak menjawabnya), Allah akan mengekangnya dengan kekangan api neraka pada hari kiamat nanti.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ عَلِمَهُ ثُمَّ كَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ ».[2] رواه الترمذى
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang ditanya tentang suatu ilmu yang ia ketahui, lalu ia menyembunyikannya (tidak menjawabnya), ia akan dikekang pada hari kiamat dengan kekangan api neraka.
Menurut pengarang 'Aun al-Ma'bud dan Tuhfat al-Ahwazi, Siapa yang ditanya tentang suatu ilmu yang dibutuhkan oleh penanya dalam masalah agamanya, lalu ia sembunyikan dengan cara tidak menjawab atau tidak menulis, maka Allah akan memasukkan kekangan api neraka ke dalam mulutnya karena ia telah menahan dirinya untuk berbicara. Menurut Al-Khaththabiy, orang yang menahan diri dari berbicara disamakan dengan mengekang dirinya. Apabila ia mengekang lidahnya dari berbicara tentang kebenaran, menginformasikan ilmu dan menjelaskannya diazab di akhirat dengan kekangan api neraka. Hal ini berlaku pada ilmu yang jelas baginya kefarduannya. Misalnya: seseorang yang melihat/mengetahui seorang kafir yang mau masuk Islam dan berkata: ajarilah aku tentang Islam, apakah agama Islam itu? Bagaimana aku mengerjakan salat? Begitu juga masalah halal dan haram. Tidak termasuk ke dalam hal itu urusan yang tidak dharuriy (sangat dibutuhkan oleh manusia).[3]
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa dari segi urgensinya, ilmu itu terbagi kepada yang dharuri dan tidak dharuri. Ilmu yang termasuk kategori dharuri ini sama sekali tidak boleh disembunyikan. Artinya bila orang yang memiliki ilmu tersebut ditanya oelh orang yang membutuhkannya, ia wajib menjawab baik lisan atau tulisan. Akan tetapi bila ilmu kategori kedua (tidak dharuri), seperti ilmu tentang teknologi, ekonomi dan sebagainya, maka orang yang ditanya itu tidak wajib menjawabnya.
Orang yang menyembunyikan ilmu terutama ilmu syari'at seperti yang dikemukakan di atas diancam oleh Allah dengan laknat-Nya dan laknat mahluk-Nya sebagaimana ditegaskan dalam ayat berikut:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاَّعِنُونَ (البقرة\2: 159)
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati.
Menurut Fakhr al-Dîn al-Râziy, ketentuan ayat ini berlaku bagi semua yang menyembunyikan agama kendatipun ia turun dalam kasus orang Yahudi dan Nasrani yang menyembunyikan isi Taurat ketika ditanya oleh orang-orang Anshar tentang sifat-sifat Nabi.[4] Mereka tidak mau menjawab dan menjelaskan sifat Nabi yang sudah dijelaskan oleh Allah dalam kitab Taurat.
M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa ayat ini, walaupun turun dalam konteks kecaman terhadap orang-orang Yahudi, namun redaksinya yang bersifat umum menjadikannya kecaman terhadap setiap orang yang menyembunyikan apapun yang diperintahkan agama untuk disampaikan, baik ajaran agama maupun ilmu pengetahuan atau hak manusia.[5] Memang tidak semua yang kita ketahui harus disampaikan kepada orang lain karena tergantung kepada keadaan dan tidak juga semua pertanyaan harus dijawab.
Dari analisis di atas perlu diingatkan bahwa orang yang memiliki ilmu tentang syari'at (guru agama Islam, guru Alquran) jangan bersifat bakhil dengan ilmu. Jangan ikut-ikutan seperti pakar teknologi dan ilmu duniawi lainnya yang meminta bayaran yang mahal baru mau memberikan ilmunya. Pandanglah honor yang diterima itu sebagai panjar mardhatillah. Yakinlah bahwa pahala dari Allah jauh lebih besar dari gaji dan honor yang diberikan oleh manusia di dunia.
 Di samping mempelajari tafsir dan hadis, kita juga dapat belajar berbisnis praktis untuk memperoleh penghasilan tambahan. Ingin tahu? Klik di SINI.



[1]Abu Daud, Op.cit., Juz  3, h. 321
[2] Al-Tirmiziy, Op.cit., Juz 4, h. 138
[3]Abi ath-Thayyib Muhammad Syams al-Haqq al-‘Azhîm Âbâdiy, ‘Awn al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî  Dâwûd, Juz 8, h. 156; (Beirut: Dar al-Fikr, 1399 H = 1979 M), cet. ke-3, h. 487
Juz 6, h. 449 dalam Al-Maktabah al-Syamilah.
[4]Abu 'Abdillah Muhammad ibn 'Umar ibn al-Hasan ibn al-Husayn al-Tamimiy al-Razi alias Fakhr al-Dîn al-Râziy, Mafâtîh al-Ghayb, dalam al-Maktabah al-Syâmilah. (cari asli surat Al-Baqarah/2: 159, juz 2, h. 461).
[5]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume 1, Cet. ke-1, (Jakarta: Lentara Hati, 1421/2000), h. 346

Pendidikan dalam Perspektif Hadis: Urgensi Ilmu


Oleh: Bukhari Umar
        Ilmu berfungsi sebagai cahaya yang menerangi bagi setiap orang. Dengan ilmu, jalan hidup ini akan menjadi terang. Sebaliknya tanpa ilmu, orang akan merasa hidup ini dalam keadaan gelap gulita. Karenanya orang bisa saja tersesat bila tidak memiliki ilmu pengetahuan yang memadai. Hal itu telah diisyaratkan oleh Rasulullah SAW. antara lain dalam hadisnya:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا.[1] رواه البخاري  ومسلم وأحمد والترمذى والنسائى والدارمى والبيهقى والطبرانى
Abdullah bin Amru bin al-Ash meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu secara langsung dari semua hamba. Ia mengambil ilmu dengan cara mewafatkan para ulama, sehingga apabila ulama habis, manusia akan mengangkat orang bodoh menjadi pemimpin. Mereka ditanya (oleh umat) lalu berfatwa tanpa ilmu. Akibatnya, mereka sesat dan menyesatkan (umat).
Hadis di atas memberikan paling tidak empat Informasi: (1) Allah akan mencabut ilmu dari hamba-Nya dengan cara mewafatkan ulama, (2) Setelah ulama tidak ada lagi, orang akan mengangkat si bodoh menjadi pemimpin, (3) Pemimpin yang bodoh akan berfatwa tanpa ilmu, dan (4) Fatwa pemimpin yang bodoh akan membawa kepada kesesatan.
Ahmad dan Thabrani meriwayatkan dari Abu Umamah bahwa saat haji Wada’ Nabi SAW bersabda, “Pelajarilah ilmu sebelum datang masa punahnya ilmu tersebut.” Arabi berkata, “Bagaimanakah cara ilmu diangkat atau dipunahkan? Beliau bersabda, “Punahnya ilmu itu dengan punahnya para ulama (orang yang menguasai ilmu tersebut.”[2]
Menurut Ibnu Hajar, hadis ini berisi anjuran menjaga ilmu, peringatan bagi pemimpin yang bodoh, peringatan bahwa yang berhak mengeluarkan fatwa adalah pemimpin yang benar-benar mengetahui, dan larangan bagi orang yang berani mengeluarkan fatwa tanpa berdasarkan ilmu pengetahuan.[3] Dengan demikian,  ilmu pengetahuan merupakan syarat mutlak bagi seorang pemimpin dan ulama. Tanpa ilmu pengetahuan, seseorang tidak berhak menjadi pemimpin dan tidak boleh memberikan fatwa tentang apa pun. Bila hal itu terjadi juga, maka pemimpin dan rakyat banyak akan mengalami kesesatan.
Dalam hadis di atas, Rasulullah SAW. tidak menggunakan kata perintah untuk mencari ilmu tetapi menjelaskan urgensi ilmu itu sendiri. Ungkapan ini berisi motivasi yang sangat keras agar umatnya menuntut ilmu sebanyak-banyaknya. Memang kadang-kadang, motivasi seperti itu lebih efektif dari penggunaan kata perintah. Dengan demikian,  Rasulullah SAW. menggunakan motivasi untuk menimbulkan semangat para sahabat dalam belajar.
Sehubungan dengan urgensi ilmu dalam kehidupan manusia, Al-Gazali mengemukakan ucapan Umar ibn Khattab "Wafatnya 1000 abid yang beribadat malam dan berpuasa siang, lebih enteng dari meningalnya seorang berilmu yang tahu halal haram".[4] Tahu halal haram yang dimaksudkan di sini bukanlah sekedar tahu tanpa amal, melainkan mengamalkannya, dengan cara mencari yang halal dan menjauhi yang haram. Sebab pada hakikatnya, orang yang tahu itu adalah orang yang mengamalkan ilmunya.
Al-Ghazali menulis bahwa Ibnu Abbas mengatakan bahwa Nabi Sulaiman bin Nabi Daud as. telah disuruh memilih antara ilmu, harta dan kerajaan. Ia memilih ilmu. Lalu, ia dianugerahi harta dan kerajaan bersama dengan ilmu.[5] Dengan ilmu, seseorang dapat memiliki harta yang banyak dan dapat pula melaksanakan tugas-tugas pemerintahan sehingga mendapat kepercayaan untuk menjadi pemimpin. Jadi, ilmulah sebenarnya yang paling penting.
Sehubungan dengan perbandingan ilmu dengan harta, Ali bin Abi Thalib berkata:
Ilmu lebih baik daripada harta. Ilmu dapat menjagamu, sedangkan harta, engkaulah yang menjaganya. Ilmu berkuasa sedangkan harta dikuasai. Harta itu berkurang bila dibelanjakan, sedangkan ilmu itu bertambah bila disiarkan. Orang berilmu lebih utama dari orang yang hanya berpuasa, bersembahyang dan berjihad. Bila seorang berilmu meninggal, terdapatlah suatu lowongan dalam Islam yang hanya dapat diisi oleh penggantinya.[6]
Ungkapan Ali di atas menunjukkan ketinggian dan urgensi ilmu dalam kehidupan manusia. Betapa urgensi ilmu pengetahuan tidak perlu diragukan lagi. Baik ayat dan hadis maupun fenomena alam telah menjelaskan hal itu. Oleh sebab itu,  seharusnya umat Islam berusaha keras untuk mencari ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya, baik untuk kepentingan pribadi maupun sosial, baik untuk dunia maupun akhirat.

Selain untuk mendapatkan informasi, kita juga dapat memperoleh peluang usaha yang menguntungkan di internet. Peluang ini tidak boleh kita abaikan karena sambil browsing dan facebookan, kita bisa mendapatkan uang. Penjelasannya dapat dilihat di SINI.


[1]Al-Bukhari, Op.cit.,  juz 6, h. 2665
[2]Lihat, al-Asqalâniy, Op.cit., Juz 1, h. 264
[3]Lihat, Ibid.
[4]Imam Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazaly, Ihya' 'Ulumiddin, Jilid 1, Terjemahan Maisir Thaib, dkk., (Bukittinggi: Syamza Offset, 1980), cet. ke-3, h. 33
[5]Ibid., h. 27
[6]Ibid., h. 26