Kamis, 02 Desember 2010

Pendidik dalam Perspektif Hadis: Syarat-syarat Pendidik

Oleh: Bukhari Umar
 
Pendidik adalah orang yang paling berpengaruh terhadap perkembangan peserta didik. Oleh sebab itu, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan menjadi pendidik. Menurut hadis, syarat-syarat tersebut adalah:
1.      Pendidik harus beriman
Pendidik adalah  orang yang bertanggung jawab membimbing anak untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Agar tujuan tersebut dapat tercapai, pendidik terlebih dahulu harus beriman. Sehubungan dengan ini, terdapat hadis sebagai berikut:
عن سفيان بن عبد الله الثقفي قال قُلْتُ ياَ رَسُوْلُ اللهِ قُلْ لِيْ فِي الإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ (وَفِي حَدِيْثِ أَبِي أُسَامَةَ غَيْرَكَ)  : قَالَ قُلْ آمَنْتُ باِللهِ فَاسْتَقِمْ.[1] رواه مسلم وأحمد
Sufyan bin Abdullah al-Saqafiy meriwayatkan bahwa ia berkata kepada Rasulullah: Ya Rasulullah ! Katakanlah kepada saya sesuatu tentang Islam yang tidak akan saya tanyakan lagi sesudah Engkau! Nabi berkata: Katakanlah! Saya beriman kepada Allah lalu tetapkanlah pendirianmu.
Hadis ini menunjukkan bahwa iman kepada Allah dan istiqamah dengan pengakuan keimanan itu merupakan suatu hal yang sudah cukup dan memadai bagi seseorang muslim. Oleh karena itu, para pendidik harus berusaha agar peserta didik  memiliki iman yang kuat dan teguh pendirian dalam melaksanakan tuntutan iman tersebut. Segala aktivitas kependidikan agar diarahkan menuju terbentuknya pribadi-pribadi yang beriman. Bila yang diinginkan adalah peserta didik  yang beriman kepada Allah, maka terlebih dahulu pendidik harus beriman. Tidak mungkin orang yang tidak beriman mampu membina orang menjadi orang beriman. Orang yang tidak memiliki tidak akan mampu memberi.
2.      Pendidik harus berilmu
Sehubungan dengan ini ditemukan hadis sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا ، يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا ، اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا ، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا.[2] رواه البخارى
Abdullah ibn 'Amru ibn al-'Ash meriwayatkan bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah tidak menarik ilmu penetahuan kembali dengan mencabutnya hati sanubar manusia, akan tetapi dengan mewafatkan orang-orang berpengetahuan (ulama).Apabila tidak ada lagi orang alim yang tersisa, manusia akan mengangkat orang bodoh menjadi pemimpin yang dijadikan tempat bertanya. Lalu orang-orang bodoh itu ditanya dan mereka berfatwa tanpa ilmu mengakibatkan mereka sesat dan menyesatkan.
Ibnu Hajar menjelaskan bahwa hadis ini berisi anjuran menjaga ilmu, peringatan bagi pemimpin yang bodoh, peringatan bahwa yang berhak mengeluarkan fatwa adalah pemimpin yang benar-benar mengetahui, dan larangan bagi orang yang berani mengeluarkan fatwa tanpa berdasarkan ilmu pengetahuan. Hadis ini juga dijadikan alasan oleh jumhur ulama untuk mengatakan, bahwa pada zaman sekarang ini tidak ada lagi seorang mujtahid.[3]
Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa orang yang berfatwa dan mengajar harus berilmu pengetahuan. Termasuk dalam hal ini adalah pendidik, guru. Bila pendidik tidak berilmu pengetahuan, maka murid-murid yang diajarnya akan sesat atau dalam bahasa kependidikan bila guru tidak profesional akan mengakibatkan proses pembelajaran akan sia-sia. Dalam Undang-undang Guru dan Dosen Republik Indonesia, salah satu syarat bagi guru adalah profesional. Sehubungan dengan ini, Rasulullah SAW. bersabda:
عن أَبى هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ أفْتى بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ إِثْمُهُ عَلَى مَنْ أَفْتَاهُ[4]. رواه أبو داود
Dari Abi Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, Siapa yang berfatwa tanpa ilmu, maka dosanya akan dipikul oleh orang yang berfatwa itu.
Dalam hadis ini, Rasulullah SAW. menyebut, siapa yang berfatwa. Berfatwa adalah memberikan ilmu kepada orang lain. Mengajar dan mendidik juga memberikan ilmu kepada orang lain. Dengan demikian,  keduanya sama. Berfatwa dan mendidik, mengajar tanpa ilmu akan menyesatkan orang lain. Karena, Rasulullah SAW. melarang keras berfatwa bila seseorang tidak memiliki ilmu.
3.      Pendidik Harus Mengamalkan Ilmunya
Selain berilmu, pendidik harus mengamalkan ilmunya. Berkaitan dengan ini terdapat hadis:
عَنْ ِأُسَامَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ أَيْ فُلاَنُ مَا شَأْنُكَ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنْ الْمُنْكَرِ قَالَ كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ وَأَنْهَاكُمْ عَنْ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ.[5] رواه البخارى
Usamah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Seseorang akan didatangkan pada hari kiamat dan dilemparkan ke neraka. Maka usus-ususnya keluar di neraka. Ia pun berputar sebagaimana berputarnya keledai di penggilingan. Para penghuni neraka berkumpul kepadanya dan bertanya, wahal fulan! Ada apa denganmu? Bukankah engkau dahulu memerintahkan kami untuk melakukan yang ma ‘ruf dan melarang kami dari perbuatan munkar? Ia menjawab, ‘Dahulu aku memerintahkan kamu kepada yang ma‘ruf tetapi aku tidak melakukannya, dan aku melarang kamu dan perbuatan mungkar tetapi aku mengerjakannya,”
Hadis di atas menjelaskan siksaan Allah yang bakal diterima oleh orang yang mengajarkan kebaikan (al-amr bi al-ma'ruf) tetapi ia sendiri tidak mengerjakannya, dan orang yang menasihati orang agar meninggalkan yang jelek (al-nahy 'an al-munkar) tetapi ia sendiri mengerjakannya. Tugas tersebut adalah  salah satu yang dikerjakan oleh pendidik, guru. Jadi guru harus mengamalkan ilmu yang diajarkannya kepada peserta didiknya agar terhindar dari siksa Allah.
4. Pendidik harus adil
Sehubungan dengan ini ditemukan hadis
عن النُّعْمَان بْنَ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اعْدِلُوا بَيْنَ أَبْنَائِكُمْ اعْدِلُوا بَيْنَ أَبْنَائِكُمْ.[6] رواه النسائى والبيهقى
Dari Nu'man  ibn Basyir, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: berlaku adillah kamu di antara anak-anakmu! Berlaku adillah kamu di antara anak-anakmu!
Dalam hadis ini dengan tegas Rasulullah saw. memerintahkan kepada para sahabat (umatnya) agar berlaku adil terhadap anak-anaknya. Dalam konteks pendidikan, peserta didik itu adalah anak oleh pendidiknya. Dengan demikian,  pendidik wajib berlaku adil dalam berbagai hal terhadap peserta didiknya.
Muhammad Athiyah Al-Abrasyi menegaskan agar pendidik itu harus memiliki sifat-sifat keadilan, kesucian, dan kesempurnaan.[7] Keadilan pendidik terhadap peserta didik mencakup dalam berbagai hal, seperti: memberikan perhatian, kasih sayang, pemenuhan kebutuhan, bimbingan, pengajaran dan pemberian nilai. Bila sifat ini tidak dimiliki oleh seorang pendidik, maka ia tidak akan disenangi oleh peserta didiknya. Bila ini terjadi proses pembelajaran tidak akan mendapatkan hasil yang optimal.
5. Pendidik Harus Berniat Ikhlas
Berkaitan dengan niat ikhlas ini ditemukan hadis:
عن أمير المؤمنين عمر ابن الخطاب رضى الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: إِنَّمَا الأَعْمَاُلُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ ماَّنَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إَلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَو امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَاهَاجَرَ إِلَيْهِ[8] (رواه البخارى ومسلم).
Umar bin Khaththab RA berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Tiap-tiap amal perbuatan harus disertai dengan niat, balasan bagi setiap amal manusia sesuai dengan apa yang diniatkan. Barangsiapa yang berhijrah untuk mengharapkan dunia atau seorang perempuan untuk dinikahi, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkan.”
Ibnu Hajar menjelaskan bahwa tiap-tiap amal perbuatan harus disertai dengan niat. Menurut Al Khauyi, seakan-akan Rasulullah memberi pengertian bahwa niat itu bermacam-macam sebagaimana perbuatan. Seperti orang yang melakukan perbuatan dengan motivasi ingin mendapat ridha Allah dan apa yang dijanjikan kepadanya, atau ingin menjauhkan diri dari ancamanNya.[9] Niat yang benar adalah keinginan dalam hati dalam melaksanakan suatu kegiatan untuk mendapatkan keridhaan Allah.
Pendidik hendaknya membebaskan niatnya, semata-mata untuk Allah dalam seluruh pekerjaan edukatifnya, baik berupa perintah, larangan, nasihat, pengawasan atau hukuman. Buah yang dipetiknya adalah, ia akan melaksanakan metode pendidikan, mengawasi anak secara edukatif terus-menerus, di samping mendapat pahala dan keridhaan Allah. Ikhlas dalam perkataan dan perbuatan adalah sebagian dari asas iman dan keharusan Islam. Allah tidak akan menerima perbuatan tanpa dikerjakan secara ikhlas.[10] Perintah untuk ikhlas, tercantum dalam Al-Qur’an dengan tegas, Surat Al-Bayyinah: 5.
Kata ikhlash terambil dari kata khalasha. Menurut Husain Mazhahiri, kata  khalasha, kata khalushan, dan kata khalashan berarti jernih, lenyap kotoran darinya. Kalimat akhlasha sy-syai’a berarti menjernihkan dan menyucikannya dari kotorannya. Adapun kalimat " dia mengikhlaskan agamanya hanya untuk Allah” berarti dia meninggalkan sifat riya di dalam agamanya. Barangsiapa yang pikiran, perbuatan, dan ucapannya sejalan dengan apa yang terdapat di dalam Al-Qur’an al-Karim maka dia adalah orang yang ikhlas kepada Allah, dan dia akan senantiasa berada dalam pertolongan-Nya dalam menjalani peperangan berkecamuk dalam dirinya, untuk kemudian setelah itu ia samapai kepada tujuan-tujuan yang luhur. [11]
Mengapa pendidik harus memiliki niat yang ikhlas? Dengan keikhlasan karena Allah, pendidik dalam melaksanakan tugasnya akan mendapatkan kemudahan. Karena sasaran pendidikan itu adalah hati. Apa yang diberikan dengan hati akan diterima oleh hati dengan baik. Dengan demikian,  proses pendidikan akan mencapai hasil yang optimal. Selain itu dan yang tidak kalah pentingnya adalah semua proses pendidikan yang diberikan oleh pendidik dengan ikhlas akan dihitung sebagai ibadah kepada Allah. Jadi, sangat rugi pendidikan yang melaksanakan tugas kependidikannya tanpa disertai dengan niat yang ikhlas.
Selain bersifat ikhlas, pendidik harus mengajar peserta didik untuk berbuat ikhlas, baik di dalam melaksanakan pekerjaan atau-pun proses belajarnya. Semuanya itu harus mereka laksanakan dengan ikhlas, demi mendapatkan rida dari Allah SWT. Jangan sampai, perbuatan tersebut dilandaskan pada sifat munafik, riya, atau hanya ingin mendapatkan rasa terima kasih dan pujian dari orang-orang.
Segala bentuk pekerjaan dinilai sesuai dengan niat pelakunya. Oleh sebab itu, proses pendidikan dapat bernilai ibadah bila orang yang melaksanakannya mempunyai niat yang ikhlas. Agar mendapat pahala dari Allah, pendidik harus mendidik/mengajar dengan niat mengerjakan perintah Allah dan mengharapkan rida-Nya. Niat merupakan salah satu motivasi intrinsik (dorongan yang berada di dalam diri seseorang). Motivasi ini sangat besar pengaruhnya kepada hasil pekerjaan seseorang. Oleh sebab itu, dalam kegiatan belajar mengajar, pendidik dan peserta didik harus mempunyai motivasi yang benar.
6. Pendidik harus Berlapang Dada
Berlapang dada adalah  sikap ntidak mudah marah dan apabila marah dapat mengendalikan diri secara normal. Sehubungan dengan ini ditemukan hadis:
عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَشْيَاءَ كَرِهَهَا فَلَمَّا أُكْثِرَ عَلَيْهِ غَضِبَ ثُمَّ قَالَ لِلنَّاسِ سَلُونِي عَمَّا شِئْتُمْ قَالَ رَجُلٌ مَنْ أَبِي قَالَ أَبُوكَ حُذَافَةُ فَقَامَ آخَرُ فَقَالَ مَنْ أَبِي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُوكَ سَالِمٌ مَوْلَى شَيْبَةَ فَلَمَّا رَأَى عُمَرُ مَا فِي وَجْهِهِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَتُوبُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ.[12] رواه البخارى.
Dari Abu Musa radhiallahu anhu, dia berkata, “Seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mengenai perkara yang tidak disukai beliau. Maka tatkala orang itu terrlalu banyak bertanya, Nabi menjadi marah. Kemudian beliau berkata, “Tanyakanlah apa yang hendak kamu tanyakan.”Seorang laki-laki bertanya, “Siapakah bapakku?” Nabi menjawab. “Bapakmu, Hudzafah.” Bertanya pula yang lain, “Siapakah bapakku hai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Bapakmu Salim, hamba sahaya Syaibah.”Tatkala Umar bin Khaththab,) melihat rasa kurang senang tergambar di wajah Rasululluh karena soal-soal yang tidak menentu itu. segera ia berkata, "Wahai Rasulullah SAW. ! Kami tobat kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Agung.
Dalam hadis di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah saw. juga merasa marah ketika ada hal-hal yang tidak diinginkannya ditampilkan di depannya. Dalam kasus ini, sahabat bertanya banyak tentang hari kiamat. Akan tetapi kemarahan beliau itu tidak sempat menghilangkan sifat lapangan dadanya.
Menurut Ibnu Hajar, bahwa orang yang memberi nasihat boleh menampakkan sikap marah, karena dia sebagai orang yang memberi peringatan. Begitu juga seorang guru, jika dia mencela kesalahan murid yang belajar kepadanya. Karena terkadang hal itu terpaksa dia lakukan agar si murid dapat menerima kebenaran darinya, akan tetapi hal itu harus disesuaikan dengan keadaan psikologi masing-masing murid. [13]
Sikap lapang dada dan jauh dari kedengkian akan mewujudkan keseimbangan jiwa bagi manusia dan akan membiasakannya untuk selalu cinta kepada kebaikan bagi masyarakat. Ia juga akan memberikan jalan bagi kebaikan pada jiwa manusia untuk sampai kepada puncaknva. Nabi telah memberiikan bimbingan sahabat Anas bin Malik - ketika masih kecil  agar mencuci noda-noda jiwa setiap pagi dan petang dengan cara memberikan maaf kepada setiap orang yang berbuat jahil  kepadanya, dan juga mengosongkan hatinya dari sisa-sisa hembusan setan ke dalam akal pikiran.[14]
Kelapangan dada Nabi SAW. juga terlihat dalam kasus seorang Arab Badui yang kencing dalam masjid seperti terekam dalam hadis:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ أَعْرَابِيًّا بَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَقَامَ إِلَيْهِ بَعْضُ الْقَوْمِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُوهُ وَلاَ تُزْرِمُوهُ قَالَ فَلَمَّا فَرَغَ دَعَا بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَصَبَّهُ عَلَيْهِ[15]. رواه البخارى
Dari Anas, sesungguhnya seorang Arab kencing dalam masjid. Lalu orang-orang berdiri dan menghadang ke sana. Rasulullah SAW. bersabda, biarkanlah dia (sampai selesai), jangan hentikan. Setelah selesai, beliau  meminta setimba air lalu menyiram kencing laki-laki itu.
Laki-laki yang kencing itu adalah orang Arab Badwi. Ia kencing mungkin karena ketidaktahuannya akan najis, atau karena sebab lain. Yang jelas, Rasulullah SAW. tidak marah kepadanya dan melarang sahabat untuk memarahinya. Dalam kasus ini, Rasulullah SAW. sendiri yang langsung menyiram/membasuh kencing itu. Dalam hadis ini terlihat betapa berlapang dadanya Rasulullah SAW. sebagai rasul dan pendidik.


[1]Muslim, Op.cit., Juz 1, h. 65
[2] Al-Bukhariy, Op.cit., Juz 1, h. 56
[3]Al-Asqalaniy, Op.cit., Juz 1, h. 375
[4] Abu Daud, Op.cit., Juz 3, h. 321
[5] Al-Bukhariy, Juz 2, h. 1282
[6]Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib Al-Nasa’iy, Sunan an-Nasâ’iy, Juz 6, h. 573; Al-Bayhaqiy, Sunan al-Bayhaqiy, Juz 2, h. 411 dalam al-Maktabah al-Syâmilah.
[7]Muhammad Athiyah Abrasyi,, al-Tarbiyat al-Islamiyyat wa Falasifatuha, (Mishr: Isa al-Babiy al-Halabiy wa Syurakah, t.th.), h. 225
[8]Al-Bukhari, Op.cit., Juz 1, h. 4
[9]Al-Asqalani, Op.cit.,  Juz 1, h. 18
[10]Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Jilid 2, (Semarang: Asy-Syifa', t.th.), h. 177
[11]Husain Mazhahiri, Jihad Melawan Hawa Nafsu, Judul Asli, "Jihâd al-Nafs", Terjemahan Ahmad Subandi, (Jakarta: Lentera, 2009), cet.ke-3, h. 221. Menurut Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin ikhlas (tulus, murni), bersih dan terbebas dari tujuan untuk selain Allah. Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasauf, T.tp.: Amzah, 2005, Cet.ke-1, h. 85
[12]Al-Bukhariy, Op.cit., Juz 1, h, 53
[13]Ibnu Hajar, Op.cit., Juz 1, h. 253
[14]Muhammad Suwaid., Op.cit., h. 248
[15]Al-Bukhariy, Op.cit., Juz 4, 2441

Pendidik dalam Hadis: Keutamaan Pendidik


Oleh: Bukhari Umar
1. Terbebas dari Kutukan Allah
Seorang guru yang baik dalam pengertian melaksanakan tugasnya dengan ikhlas karena Allah akan mendapat kemuliaan dan keutamaan. Di antara keutamaan itu adalah ia teremasuk golongan orang yang tidak putus dari rahmat Allah atau orang yang terkutuk. Sehubungan dengan ini terdapat hadis sebagai berikut:
عن أبى هُرَيْرَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَلاَ إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلاَّ ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالاَهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ.[1] رواه الترمذى
Abu Hurairah meriwayatkan  bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda: “Ketahuilah ! bahwa sesungguhnya dunia dan segala isinya terkutuk kecuali zikir kepada Allah dan apa yang terlibat dengannya, orang yang tahu (guru) atau orang yang belajar.
Dalam hadis ini ditegaskan bahwa orang yang tahu (guru, pendidik) adalah orang yang selamat dari kutukan Allah. Ini merupakan keutamaan yang sangat berharga. Dari hadis ini dapat dipahami bahwa tidak semua orang yang berpredikat guru dijamin Rasulullah SAW. selamat dari kutukan. Guru yang beliau maksudkan adalah guru yang berilmu, mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya dengan ikhlas untuk mendapatkan keridaan Allah.
2. Didoakan oleh Penduduk Bumi
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ ذُكِرَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلاَنِ أَحَدُهُمَا عَابِدٌ وَالاَخَرُ عَالِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ. رواه الترمذى
Abu Umamah al-Bahiliy berkata: diceritakan kepada Rasulullah saw. dua orang laki-laki, yang satu 'abid (orang yang banyak beribadah) dan yang satu lagi 'alim (orang yang banyak ilmu). Maka Rasulullah saw. bersabda: kelebihan seorang alim daripada orang yang beribadah adalah  bagaikan kelebihanku daripada seorang kamu yang paling rendah. Kemudian Rasulullah saw. berkata (lagi): Sesungguhnya Allah, malaikat-Nya, penduduk langit dan bumi sampai semut yang berada dalam sarangnya serta ikan berselawat (memohon rahmat) untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia (pendidik, guru).
Informasi dalam hadis di atas mencakup bahwa Allah memberikan rahmat dan barakah kepada guru. Selain itu, malaikat dan penduduk langit dan bumi termasuk semut yang berada dalam sarang, ikan yang berada dalam laut mendoakan keaikan untuk guru yang mengajar orang lain. Ini semua adalah keutamaan yang diberikan oleh Allah kepada guru.
1.      Mendapat Pahala Berkelanjutan
Sehubungan dengan keutamaan ini ditemukan hadis sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الاِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ.[2] رواه مسلم وأحمد النسائي والترمذى والبيهقى
Abu Hurairah meriwatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Apabila manusia telah meninggal dunia terputuslah amalannya kecuali tiga hal, yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya.

Dalam hadis di atas terdapat informasi bahwa ada tiga hal yang selalu diberi pahala oleh Allah pada seseorang kendatipun ia sudah meninggal dunia. Yaitu; (1) sedekah jariyah (wakaf yang lama kegunaannya), (2) ilmu yang bermanfaat, dan (3) doa yang dimohonkan oleh anak yang saleh untuk orang tuanya. Sehubungan dengan pembahasan ini adalah ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang diajarkan oleh seseorang ('âlim, guru) kepada orang lain dan tulisan (karangan) yang dimaksudkan oleh penulis untuk dimanfaatkan orang lain.[3]  Pahala yang berkelanjutan merupakan salah satu keutamaan yang bakal diperoleh oleh pendidik (guru).
Keutamaan ini diberikan kepada guru karena ia sudah memberikan sesuatu yang sangat vital dalam kehidupan manusia. Al-Ghazali mengemukakan bahwa Hasan al-Bashri berkata: Kalau sekirarnya orang-orang berilmu tidak ada, niscaya manusia akan bodoh seperti hewan, karena hanya dengan mengajar, para ulama dapat menaikkan orang banyak dari tingkat kehewanan ke tingkat kemanusiaan.[4] Selain dengan mengajar, seorang alim/guru juga dapat menyebarluaskan ilmu kepada orang lain melalui aktivitas karang mengarang.


[1]A-Tirmiziy, Op.cit., Juz 3, h. 384
[2]Muslim, Op.cit., Juz 5,  h. 73
[3]Abdurrahmân Ibn Abî Bakr Abû al-Fadhl al-Suyûthiy, Syarah al-Suyûthiy 'alâ  Muslim, Juz 4, h. 228 dalam al-Maktabah al-Syâmilah.
[4] Al-Ghazali, Op.cit., h. 40

Pendidik dalam Pendidikan Islam: Rasulullah sebagai Pendidik



Oleh: Bukhari Umar


Secara umum, pendidik adalah orang yang memiliki tanggungjawab untuk mendidik.[1] Sementara secara khusus, pendidik dalam perspektif pendidikan Islam adalah orang-orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.[2]
Berdasarkan pengentian di atas, dapat dipahami bahwa pendidik dalam perspektif pendidikan Islam ialah orang yang bertanggung jawab terhadap upaya perkembangan jasmani dan rohani peserta didik agar mencapai tingkat kedewasaan sehingga ia mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaannya (baik sebagai khalifah fi al-ardh maupun ‘abd) sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Oleh karena itu, pendidik dalam konteks ini bukan hanya terbatas pada orang-orang yang bertugas di sekolah tetapi semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan anak mulai sejak dalam kandungan hingga ia dewasa, bahkan sampai meninggal dunia.
Rasulullah saw. sebagai Guru
Muhammad SAW, selain sebagai Rasulullah, beliau juga menyatakan bahwa dirinya adalah  sebagai guru bagi umatnya. Pernyataan itu mengisyaratkan bahwa umat harus menerima pelajaran-pelajaran yang diberikannya dalam berbagai hal kehidupannya. Sehubungan dengan ini, terdapat hadis antara lain:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ بِمَجْلِسَيْنِ فِى مَسْجِدِهِ فَقَالَ :« كِلاَهُمَا عَلَى خَيْرٍ وَأَحَدُهُمَا أَفْضَلُ مِنْ صَاحِبِهِ ، أَمَّا هَؤُلاَءِ فَيَدْعُونَ اللَّهَ وَيُرَغِّبُونَ إِلَيْهِ فَإِنْ شَاءَ أَعْطَاهُمْ وَإِنْ شَاءَ مَنَعَهُمْ ، وَأَمَّا هَؤُلاَءِ فَيَتَعَلَّمُونَ الْفِقْهَ وَالْعِلْمَ وَيُعَلِّمُونَ الْجَاهِلَ فَهُمْ أَفْضَلُ ، وَإِنَّمَا بُعِثْتُ مُعَلِّماً » قَالَ : ثُمَّ جَلَسَ فِيهِمْ.[3]رواه الدارمى
Bahwasanya Abdullah bin Amru bin al-‘Ash r.a. berkata, “Pada suatu hari Rasulullah keluar dari salah satu kamar beliau untuk menuju masjid. Dalam masjid tersebut, beliau mendapati dua kelompok sahabat. Kelompok pertama adalah golongan orang yang sedang membaca Alquran dan berdoa kepada Allah s.w.t.. Sedangkan kelompok kedua adalah golongan orang yang sedang sibuk mempelajari dan mengajarkan ilmu pengetatahuan. Nabi s.a.w. kemudian bersabda: ‘Masing-masing kelompok sama-sama berada dalam kebaikan. Terhadap yang sedang membaca Alquran dan berdoa kepada Allah, maka Allah akan mengabulkan doa mereka jika ia menghendaki, begitupun sebaliknya, doa mereka tidak akan diterima oleh Allah jika ia tidak berkenan mengabulkan doa tersebut. Adapun terhadap golongan yang belajar-mengajar, mereka sedang mempelajari ilmu dan mengajar orang yang belum tahu. Mereka lebih utama. Maka (ketahuilah) sesungguhnya aku ini diutus untuk menjadi seorang pengajar (guru). Kemudian Rasul saw. ikut bergabung bersama mereka’.
Hadis ini menginformasikan bahwa Nabi SAW. menemukan dua kelompok sahabat dalam masjid, yaitu yang membaca Alquran dan berdoa dan kelompok yang membahas ilmu pengetahuan. Beliau menghargai kedua kelompok tersebut. Akan tetapi, beliau lebih menyukai kelompok yang membahas ilmu dan bergabung dengan mereka sambil mempertegas peranannya "sebagai guru".
Rasulullah SAW. adalah  seorang pendidik sejati. Beliau membina umat secara utuh dan berimbang. Yang beliau pentingkan bukan hanya persoalan ilmu para sahabatnya, melainkan juga masalah akidah, ibadah dan akhlaknya. Beliau suka memberikan motivasi kepada para sahabat agar mereka rajin belajar dan mengamalkan ilmu yang sudah diperolehnya. Kompetensi seperti inilah yang perlu dimiliki oleh pendidik/guru zaman sekarang.


[1]Ahmad D. Marimba,  Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1989), h. 37
[2]Ahmad Tafsir, (ed)., Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1992), h. 74-75
[3]Al-Dârimiy, Op.cit., Juz 1, h. 99-100