A. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk sosial. Ia mempunyai kecenderungan untuk berinteraksi antara sesamanya. Kecenderungan itu diperkuat oleh kebutuhan masing-masing akan jasa pihak lain karena berbagai keterbatasan yang dimilikinya.
Sebagai makhluk Allah, manusia dibekali dengan berbagai potensi yang dapat dan harus dikembangkan. Dalam mengembangkan potensi dimaksud, manusia mempunyai kemampuan yang bervariasi. Dalam hal-hal tertentu, seseorang mempunyai kelebihan dan dalam hal-hal tertentu pula, ia memiliki kekurangan dari orang lain. (QS al-Isra’/17: 21).
Kekurangan yang dimiliki manusia itu membuat ia mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dan mengembangkan potensinya. Oleh karena itu, ia membutuhkan bantuan dari orang yang memiliki kelebihan dalam masalahnya. Bantuan untuk memecahkan masalah ini disebut konseling.
Konseling adalah pemberian bimbingan oleh ahli kepada seseorang dengan menggunakan metode psikologis, dan sebagainya, dan proses pemberian bantuan oleh konselor kepada konseli sedemikian rupa sehingga pemahaman terhadap kemampuan diri sendiri meningkat dalam memecahkan berbagai masalah. (Jaya, 2004: 54).
Sebagai suatu proses pemberian bimbingan dan bantuan, konseling mempunyai banyak fungsi. Fungsi dimaksud dapat dikelompokkan menjadi empat. Menurut Prayitno dan Erman Amti, konseling memiliki fungsi pemahaman, pencegahan, pengentasan, pemeliharaan dan pengembangan. (Prayitno dan Erman Amti, 2004: 197).
Proses konseling berlangsung bila terjadi interaksi antara orang yang mengalami masalah (konseli) dan orang ahli yang membimbing/membantu (konselor). Bentuk proses dan kualitas hasil suatu konseling banyak diwarnai dan dipengaruhi oleh kualitas pribadi dan kapasitas intelektual sang konselor. Di antara kualitas pribadi yang banyak berpengaruh terhadap proses konseling adalah akhlak konselor.
Mungkin sudah banyak ahli yang menulis kriteria konselor menurut versinya masing-masing, tetapi belum banyak yang mendasarkan pandangannya kepada ajaran Islam. Pada kesempatan ini, penulis mencoba memaparkan hasil kajian tentang akhlak konselor menurut ajaran Islam yang bersumberkan Alquran, hadis dan pendapat para ulama Islam. Pembahasan ini terdiri atas pendahuluan, pengertian konselor, akhlak konselor, dan penutup.
B. Pengertian Konselor
Proses konseling berlangsung bila terjadi interaksi antara orang yang mengalami masalah atau kesulitan dalam pengembangan potensinya (konseli) dan orang yang membantu dan membimbing dalam memecahkan masalah atau mengatasi kesulitannya. Berdasrkan ini yang disebut konselor itu adalah orang yang membantu dan membimbing seseorang yang sedang bermasalah atau mengalami kesulitan sehingga ia mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Siapa orangnya? Berdasarkan Alquran dan hadis, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pembimbing bimbingan dan konseling islami itu dapat dibedakan/dikelompokkan sebagai berikut: (1) kemampuan profesional (keahlian), (2) sifat kepribadian (akhlaqulkarimah), kemampuan kemasyarakatan (berukhuwwah Islam, dan (4) ketakwaan kepada Allah.(Faqih , 2001: 46).
Konseling Islam adalah proses memberikan bantuan dan bimbingan tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan agama Islam dan pengamalannya. Pada dasarnya, yang membimbing (konselor) Islam itu adalah Allah karena Dia-lah Pencipta, Pemelihara, dan Pendidik alam semesta. Akan tetapi karena Dia sudah mengangkat manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi ini, maka tugas membimbing itu didelegasikan pula kepada hamba-hamba-Nya, seperti Rasul, para ulama dan gauru-guru agama Islam.
Dalam Alquran, Allah menamakan para Rasul itu dengan berbagai sebutan yang semuanya itu dapat dilaksanakan dalam konseling. Di antaranya “penasihat” (nāshih) (QS Fushshilat/41: 4), pemberi ingat (nazīr, munzir) (QS Al-A’raf/7: 21, 68, 79; Yusuf/12: 11, Al-Qashash/28: 12, 20).QS Fushshilat/41: 4), pengembira (basyīr, mubasysyir), dan guru (mu’allim).
Kata ”Nāshih” dalam Alquran menunjukkan beberapa pengertian, yaitu orang yang menyampaikan amanat Allah, menginginkan kebaikan pada seseorang, memberikan solusi dan berbuat baik, dan memberikan solusi dalam penyelamatan diri. (QS Al-A’raf/7: 21, 68, 79; Yusuf/12: 11, Al-Qashash/28: 12, 20).
Kata-kata “nazīr” menunjukkan beberapa pengertian pula, yaitu: mengingatkan akan keterbatasan manusia, : mengingatkan akan keesaan Allah, kekuasaan dan kebesaran Allah, mengingatkan agar jangan bersedih hati terhadap orang kafir, mengingatkan akan kebenaran Alquran, mengingatkan pembalasan untuk orang yang berbuat saleh, mengingatkan keesaan, kekuasaan Allah dan keharmonisan ciptaan-Nya, mengingatkan keesaan, kekuasaan dan kebesaran Allah, mengingatkan azab Allah, menjelaskan azab Allah. (Al-A’raf/7: 188; Hud/11:2, Al-Furqan/25: 51; Al-Hijr/15: 89; Al-Isra’/17 : 105; Al-Hajj/22 : 49; Al-Furqan/25: 1; Al-Mulk/67: 9 dan Al-Mulk/67: 26).
Kata-kata “basyīr” menunjukkan pengertian menyampaikan informasi yang menggembirakan.
Kata “mu’allim” yang ditelusuri melalui kata ‘allama” menunjukkan beberapa pengertian, yaitu antara lain: mengajarkan nama-nama benda, mengajar membaca, mengajar menulis, hikmah, taurat dan injil, mengajarkan Alquran, mengajarkan kitab, sunnah dan ilmu yang belum diketahui, mengajarkan sesuatu yang belum diketahui, membuat baju besi, mengajarkan takwil mimpi, mengajarkan sihir, dan mengajar anjing berburu. (Al-A’raf/7: 188; Hud/11:2, Al-Furqan/25: 51; Al-Hijr/15: 89; Al-Isra’/17 : 105; Al-Hajj/22 : 49; Al-Furqan/25: 1; Al-Mulk/67: 9 dan Al-Mulk/67: 26).
Dengan demikian, mu’allim adalah orang yang mengajarkan berbagai pengetahuan dan ketrampilan.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat dipahami bahwa konselor menurut ajaran Islam adalah orang yang membantu /membimbing sese-orang/sekelompok orang yang sedang menghadapi masalah dengan tujuan memperbaikinya untuk mencapai keselamatan dunia dan akhirat. Bimbingan dan bantuan itu dilaksanakan dengan memberikan berbagai pengetahuan, sikap, dan ketrampilan agar konseli mampu mendapatkan solusi tentang masalah yang dihadapinya.
Pada saat ini, konselor sudah merupakan suatu profesi. Sebagai suatu profesi, konselor harus memenuhi persyaratan keahlian sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh ketentuan profesi. Itu berarti bahwa tidak semua orang yang mampu memberikan bantuan dan bimbingan dapat disebut konselor. Setiap konselor sudah mampu membimbing dan membantu orang yang mengalami masalah. Akan tetapi tidak semua orang yang membimbing dapat disebut konselor. Yang dimaksud dengan konselor dalam tulisan ini bukanlah konselor yang sudah menjadi profesi. Pengertian konselor lebih ditekankan pada orang yang memberikan bantuan dan bimbingan dalam melaksanakan ajaran Islam. Hal ini dimungkinkan karena dalam Alquran dan hadis terdapat petunjuk-petunjuk tentang pelaksanaan konseling.
Lapangan penelitian yang mengungkap konsep konseling ini adalah Alquran, hadis dan pendapat para ulama. Konsep Alquran tentang konseling tentu saja bukan yang bersifat profesi karena konseling sebagai profesi baru muncul pada era modern ini.
C. Akhlak Konselor
Kata akhlak (akhlāq) adalah bentuk jamak dari kata khuluq. Kata khuluq berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. (Ma’luf, t.th.: 194). Abdul Hamid Yunus berpendapat bahwa akhlak ialah sifat-sifat manusia yang terdidik.(Yunus, t.th.: 436). Al-Ghazali mengemukakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan bermacam-macam perbuatan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (Al-Ghazali, t.th.: 56).
Dari pengertian di atas terlihat dua wujud akhlak. Pertama sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan bermacam-macam perbuatan dan kedua sebagai budi pekerti, perangai dan tingkah laku itu sendiri. Akhlak yang dimaksud dalam tulisan ini adalah yang berwujud budi pekerti, perangai dan tingkah laku karena itulah yang mudah dilihat dan dapat diukur.
Akhlak dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu mahmūdah (mulia) dan mazmūmah (tercela). Setiap muslim dituntut agar memiliki akhlak mulia dan menghindari akhlak tercela. Dalam setiap jenis profesi, setiap muslim wajib menampilkan akhlak mulia tersebut. Namun antara satu prpfesi dan profesi lain terdapat perbedaan-perbedaan kondisi yang menghendaki perbedaan perlakuan pula. Dalam tulisan ini, penulis membicarakan akhlak konselor.
Dalam ajaran Islam, seorang konselor dituntut agar memiliki akhlak yang mulia (al-akhlāq al-karīmah). Akhlak mulia dimaksud meliputi : (1) keteladanan, (2) kasih sayang, (3) tawaduk, (4) sabar dan pemaaf, (5) lemah lembut, (6) ingin perbaikan, (7) cermat, dan (8) memahami kondisi konseli.
1. Keteladanan
Dalam Alquran, Allah Firman, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu keteladanan (uswah) yang baik bagi bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (al-Ahzab: 21),
Kata uswah terbentuk dari huruf-huruf hamzah, al-sin, dan al-waw. Ia berarti menunjukkan pengobatan dan perbaikan. Uswah berarti qudwah yaitu ikutan, mengikuti, mengikuti seperti yang diikut. (Ibn Zakaria, 1969: 105). Al-Ashfahani mengemukakan bahwa al-uswah dan al-iswah sebagaimana al-qudwah dan al-qidwah berarti suatu keadaan ketika seseorang manusia mengikuti manusia lain, apakah dalam kebaikan, kejelekan, kejahatan, atau kemudaratan.(Al-Ashfahaniy, t.th.: 76). Namun, keteladanan yang dimaksud dalam ayat di atas dan keteladanan yang patut digunakan dalam pendidikan Islam adalah keteladanan yang baik.
Qurthubi mengemukakan bahwa terdapat perbedaan hukum tentang mengikuti keteladanan (uswah) Rasulullah SAW. Ada yang mengatakan wajib, kecuali bila ada dalil lain yang menunjukkan kesunahannya dan ada yang mengatakan sunat kecuali bila ada dalil lain yang menunjukkan kewajibannya. Boleh jadi, wajib mengikuti Rasulullah dalam masalah agama dan sunat dalam masalah dunia.(Al-Qurthubiy, t.th.: 5238). Menurut Al-Thabathaba’i, laqad kāna lakum menunjukkan ketetapan dan keterusan masa lalu dan masih berlaku untuk masa yang akan datang.(At-Thabathaba’i, 1991: 295).
Pelaksanaan konseling dalam ajaran Islam merupakan bagian dari pendidikan, dakwah dan jihad. Semuanya termasuk masalah agama. Dengan demikian, dalam melaksanakan konseling, konselor muslim wajib mengikuti Rasulullah SAW. Dalam mendidik, berdakwah, dan berjihad, Rasulullah selalu memberikan keteladanan (uswah) yang baik kepada para sahabat (umat)nya. Keteladanan merupakan alat yang efektif dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Bila dicermati sejarah pendidikan Islam pada zaman Rasulullah Saw, dapat dipahami bahwa salah satu faktor terpenting yang membawa beliau kepada keberhasilannya adalah keteladanan (uswah). Rasulullah sangat banyak menggunakan keteladanan dalam mendidik para sahabatnya. Kendatipun kondisi zaman sekarang sudah jauh berbeda dari keadaan masa Rasul, namun prinsip-prinsip pendidikan beliau masih relevan untuk diterapkan, termasuk penggunaan keteladanan dalam memberikan bimbingan. Dengan demikian, setiap konselor muslim harus mampu memberikan keteladanan kepada konselinya agar bimbingan yang diberikan dapat diikuti oleh konseli tanpa ragu-ragu.
Berdasarkan ayat dan keterangan di atas dapat dipahami bahwa seorang konselor muslim itu harus memiliki keteladanan dengan berbagai aspek akhlak mulia. Tanpa keteladanan, apalagi bila terang-terangan konselor memperlihatkan sesuatu yang controversial, konseli akan sulit menerima nasihat dan saran yang disampaikan oleh konselor.
2. Kasih sayang
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa ketika ia sedang duduk di dekat Nabi SAW. datanglah seorang laki-laki, lantas berkata, “Ya Rasulullah, aku telah binasa”. Rasulullah bertanya, “Apa yang membuat Anda celaka?” Laki-laki itu menjawab, “Aku telah menyetubuhi istriku sedangkan aku sedang berpuasa (Ramadan)”. Rasulullah SAW. bertanya, “Apakah Anda memiliki seorang budak untuk dimerdekakan?” Laki-laki menjawab, “Tidak”. Rasulullah SAW. bertanya lagi, “Apakah Anda mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Laki-laki menjawab, “Tidak”. Rasulullah SAW. bertanya lagi, Apakah Anda memiliki makanan untuk 60 orang miskin?” Laki-laki menjawab, “Tidak”. Pada waktu itu, datang seseorang membawa sebakul kurma untuk Nabi SAW. Beliau berkata kepada laki-laki itu, “Ini, ambillah dan sedekahkanlah”. Laki-laki itu berkata, “Di sini tidak ada keluarga yang lebih miskin daripada keluargaku”. Mendengar itu, lalu Rasulullah SAW. tertawa sampai kelihatan gigi taringnya dan berkata, “Sudahlah berikanlah kepada keluargamu”. (HR Bukhari) (Al-Bukhari, I : 738)
Riwayat di atas mendeskripsikan suatu proses konseling yang terjadi antara seorang laki-laki dan Rasulullah SAW. Masalah yang diajukan oleh sahabat ini cukup berat karena ia telah menyetubuhi istrinya pada siang hari di bulan Ramadan. Sahabat dimaksud meminta solusi kepada Nabi. Rasulullah SAW. tidak langsung menyuruh lakukan ini atau itu. Akan tetapi menanyakan terlebih dulu kesanggupan konselinya. Dalam riwayat di atas dapat dipahami bahwa mulai dari proses awal sampai akhir, Rasulullah SAW. selalu memberikan pelayanan yang baik, tidak memperlihatkan sikap yang menimbulkan kesedihan yang mendalam. Bahkan di akhir Rasulullah SAW. tersenyum sambil mengambil kebijakan yang sangat sempurna. Solusi yang diberikan membuat sahabat itu merasa bebas dari himpitan masalah, bahkan mendapat santunan berupa makanan yang sedang dibutuhkan oleh keluarganya.
Pelayanan Rasulullah SAW. sangat prima. Hal itu tidak mungkin muncul tanpa memiliki sifat kasih sayang. Kebijakan Rasulullah SAW. dimungkinkan karena pada dirinya melekat kewenangan membuat hukum (tasyri’) untuk memberikan keringanan (rukhshah) sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapi. Kendatipun pada saat ini, konselor tidak memiliki kewenang seperti Rasulullah, namun akhlak kasih sayang, secara prinsip, harus dimilikinya.
Sifat kasih sayang (al-rahmah) dapat melahirkan sifat pemurah (al-sakha’), tolong menolong (al-ta’awun), pemaaf (al-‘afwu), damai (al-ishlah), persaudaraan (al-ikha’), dan menghubungkan tali kekeluargaan (shilaturrahim).(Ya’qub, 1996: 125-127). Dengan demikian, sifat kasih sayang memberikan kontribusi positif kepada konselor dalam melaksanakan tugas bimbingan dengan baik. Orang yang kurang / tidak memiliki sifat kasih sayang tidak disenangi. Bila seseorang tidak disenangi, bimbingannya kurang dihargai oleh orang lain (yang dibimbing).
3. Tawaduk
Allah berfirman :
Mereka berkata: "Hai Syu`aib, apakah agamamu yang menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal.". Syu`aib berkata: "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku daripada-Nya rezki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali. (QS Hud/11: 87 -88).
Ayat di atas mengisahkan peristiwa konseling yang dilakukan oleh Nabi Syu’aib terhadap kaumnya. Di antara pernyataan Syu’aib adalah “tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali. Ini berarti bahwa ia mampu melaksanakan tugas itu bukan karena kemampuan sendiri, melainkan karena bantuan dari Allah. Bagaimana selanjutnya, Syu’aib menyerahkannya kepada Allah. Ia tidak membuat perkiraan-perkiraan yang mendahului kehendak dan kekuasaan Allah.
Pada saat ini, konselor sudah merupakan profesi. Untuk menjadi seorang konselor, seseorang dipersiapkan sedemikian rupa dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan. Tanpa melalui pendidikan khusus konselor, seseorang dapat saja memberikan nasihat kepada orang yang membutuhkan. Namun, ia tidak disebut konselor. Hal ini membuka peluang bagi seorang konselor itu untuk bersifat sombong. Namun perlu diingat bahwa sehebat dan seprofesional apa pun seorang konselor, dalam melaksanakan tugasnya tidak boleh sombong. Ia harus bersifat tawaduk.
Menurut Ibnu Atha’, tawaduk ialah mau menerima kebenaran dari siapa pun. Kemuliaan ada dalam tawaduk. Siapa yang mencarinya dalam kesombongan, berarti ia seperti mencari air dalam kobaran api. Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh Al-Fudhail bin Iyadh. Menurutnya, tawaduk adalah tunduk kepada kebenaran dan patuh kepadanya serta mau menerima kebenaran itu dari siapa pun dan siapa pun yang mengucapkannya. (al-Jauziyah, 1988: 265).
Sifat sombong dapat menimbulkan rasa antipati bagi konseli terhadap konselor. Bila ini terjadi, proses konseling tidak akan berakhir dengan hasil yang memuaskan. Oleh karena itu, setiap konselor muslim haruslah bersifat tawaduk dan bertawakkal kepada Allah SWT.
4. Sabar dan Pemaaf
Dalam QS Al-Kahfi/18: 60 s.d. 82 terdapat kisah yang relatif panjang. Isi kisah ini adalah proses konseling yang terjadi antara Nabi Musa dan Khidhr. Karena alasan teknis, baik ayat maupun terjemahnya tidak dicantumkan di sini. Dalam ayat ini, dikisahkan bahwa Nabi Musa yang didampingi oleh seorang pengikutnya, berusaha mencari Khidhr untuk berkonsultasi. Setelah bertemu dengan Khidhr (konselor), ia mengajukan permohonan untuk berkonsultasi. Untuk dapat diterima mengikuti perjalan bersama dalam rangka berkonsultasi, Khidhr memberikan satu syarat, yaitu Musa tidak boleh bertanya tentang sesuatu yang dilakukan oleh Khidhr selama dalam perjalanan, sampai pada saatnya, Khidhr sendiri yang akan menjelaskan apa arti yang dilakukannya itu. Ternyata setelah Khidhr merusak perahu nelayan, Musa lupa dan bertanya kepada Khidhr tentang alasan perusakan perahu itu. Dengan demikian, Musa telah melanggar janjinya. Setelah mendapat teguran dari Khidhr, Musa minta maaf dan memohon agar diberi kesempatan lagi untuk mengikuti Khidhr, lantas diizinkan. Setelah Khidhr membunuh seorang pemuda, Musa bertanya lagi tentang alasan pembunuhan dimaksud. Khidhr mengingatkan lagi bahwa Musa sudah melakukan pelanggaran lagi. Namun setelah meminta dispensasi, Musa diperkenankan lagi untuk bersama-sama melanjutkan perjalanan. Selanjutnya setelah Khidhr membetulkan/ memperbaiki dinding rumah Musa bertanya lagi. Di sinilah Khidhr mengakhiri kebersamannya dengan Musa. Sebelum berpisah, Khidhr menjelaskan kepada Musa alasan-alasan dari semua tindakan yang dilakukannya.
Dari kisah ini terlihat bahwa Khidhr (sebagai konselor) dapat bersabar dan menahan diri terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Musa (konsili). Bahkan lebih dari itu, ia dapat memaafkan sehingga masih mau memberikan kesempatan kepada Musa kendatipun Musa telah dua kali melanggar perjanjian. Di sini kelihatan manfaat kesabaran. Bila Khidhr tidak memiliki kesabaran, maka proses konseling tidak sampai terjadi. Ternyata, Khidhr memberikan layanan informasi setelah selesai melakukan beberapa kegiatan dan pada saat akan berpisah.
Sabar menurut pengertian bahasa adalah menahan atau bertahan. Sabar berarti menahan diri dari rasa gelisah, cemas dan amarah, menahan lidah dari keluh kesah, dan menahan anggota tubuh dari kekacauan. (al-Jauziyah, 1988: 206). Memaafkan (memberi maaf) adalah melepaskan hak, tidak menuntut balas, qishas atau denda. (al-Jauziyah, 1988: 232). Bila seseorang dicaci oleh orang lain, pada dasarnya ia mempunyai hak untuk membalas cacian itu. Akan tetapi karena mampu menahan diri, ia tidak membalasnya, maka ia disebut memaafkannya.
Dalam melaksanakan tugas, seorang konselor akan berhadapan dengan berbagai tipe konseli serta membawa masalah yang kompleks dan bervariasi. Tanpa kesabaran yang memadai, ia tidak akan mampu menghadapi baik ucapan maupun sikap dan perbuatan konselinya. Masalah dan problematika yang sedang dihadapi dapat membuat konseli kehilangan keseimbangan dalam berbicara, bersikap dan bertindak. Untuk itu semua sangat diperlukan kesabaran dan kemaafan konselor. Bahkan, kedua aspek akhlak ini menjadi syarat suatu proses konseling Islam.
Apa yang diisyaratkan oleh Alquran di atas didukung oleh teori-teori konseling modern. Hal itu dapat dilihat dalam salah satu kode etik konselor bahwa dalam melaksanakan tugasnya membantu klien, kanselor harus memperlihatkan sifat-sifat sederhana, rendah hati, sabar, menepati janji, dapat dipercaya, sadar diri dan tidak boleh dogmatis. Di samping itu, konselor harus jujur, tertib, hormat, dan percaya pada paham hidup sehat. (Mappiare AT, 2004: 139).
Dalam Alquran, kesabaran merupakan salah satu kriteria orang yang bertakwa (QS Al-Baqarah/2: 177) dan dapat mengantarkan seseorang kepada keberuntungan. (QS Ali Imran/3: 200).
5. Ingin perbaikan
Allah berfirman, Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan… (Hud/11: 88). Dalam ayat ini tergambar bahwa Syu’aib menginginkan perbaikan sikap dan perilaku kaumnya. Mereka tidak memiliki sikap yang benar tentang harta dan mengikuti apa yang telah disembah oleh orang tua mereka dulu.
Selain itu, perbaikan yang dapat diperoleh dari proses konseling itu, bukan hanya untuk konseli semata, melainkan dapat pula untuk konselor sendiri. Hal ini terbukti dari proses konseling yang dilakukan oleh nabi Daud ketika dua orang yang mengaku bertengkar datang berkonsultasi kepanya.[1] Dengan peristiwa ini, Nabi Daud menyadari akan kelemahannya. Masalah yang diajukan oleh konseli tersebut adalah masalahnya sendiri, lalu ia bertaubat kepada Allah. Dalam kasus seperti ini, konselor bukan hanya mengkonselingi kliennya, melainkan juga dirinya sendiri.
6. Lemah lembut
Dalam QS al-Fath/49: 29, Allah menyebutkan sifat-sifat Rasulullah SAW. dan orang-orang yang beriman, yaitu di antaranya: tegas terhadap orang kafir, kasih sayang terhadap sesama muslim, senantiasa beribadah dalam rangka mengharpkan karunia dan keridaan Allah. Dalam prakteknya, bukan hanya kepada sesama muslim, dengan ahli kitab, beliau juga menunjukkan sifat kasih sayang dengan sikap santun dalam berkomunikasi. Hal itu dibuktikan dalam satu hadis berikut ini.
Aisyah meriwayatkan bahwa sekelompok Yahudi minta izin untuk menemui Rasulullah SAW. lalu mereka berkata kecelakaan untukmu. Lalu aku berkata “Bahkan untukmu kebinasaan dan kutuk Allah. Lalu Rasulullah SAW. berkata, Hai Aisyah, “Sesungguhnya Allah maha halus/lembut, mencintai kelemah-lembutan dalam semua urusan. (al-Bukhari, t.th.: juz 4, 2769).
Jasa pelayanan konselor dibutuhkan oleh konseli yang memiliki penampilan yang bervariasi. Variasi tersebut dapat disebabkan oleh karakternya dan dapat pula karena pengaruh masalah yang melilitinya. Oleh karena itu, gaya komunikasinya berpotensi memancing emosi konselor. Di sini perlu diingat oleh konselor bahwa ia harus bersikap ramah dan lemah lembut. Bila sebaliknya, ia tidak akan sukses. Menurut Rasulullah SAW. , orang yang dihindari oleh orang lain karena kekasarannya merupakan orang yang paling jelek di sisi Allah. (Al-Bukhari, t.th., juz 4: 2476).
7. Cermat
Abi Hurairah meriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW. sedang ia dalam mesjid. Lalu ia menyeru, “Hai Rasulullah, saya telah berzina”. Rasul berpaling darinya. Lalu ia ulangi sampai empat kali, kemudian ia hadirkan saksi empat orang atas perbuatannya. Lalu Rasulullah memanggilnya dan bertanya, “Apakah engkau gila?” Ia menjawab, “Tidak”. Sabdanya, “Apakah engkau sudah kawin?” Ia menjawab, “Sudah”. Nabi bersabda, “Bawalah ia pergi dan rejamlah”. al-Bukhari, t.th. , juz 4: 2723).
Dalam kasus ini terlihat bahwa Rasulullah SAW. bersifat cermat dan hati-hati. Kendatipun konseli sudah mengaku sendiri telah melakukan pelanggaran, namun beliau mempercayainya ketika yang bersangkutan berulang-ulang mengucapkan dan membawa saksi. Itu berarti bahwa konselor perlu mengumpulkan informasi yang benar, akurat dan lengkap tentang masalah yang dihadapi oleh konseli. Bila tidak cermat, konselor berpeluang memberikan terapi/solusi yang salah dan menimbulkan penyesalan.
8. Memahami kondisi konseli
Sifat memahami kondisi konseli dapat dilihat dalam firman Allah berikut ini. Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir. (QS. Al-Baqarah/2: 219).
Dalam menafsirkan ayat ini, M.Quraish Shihab mengemukakan bahwa ayat ini berisi isyarat yang kuat tentang keharaman khamar dan judi walaupun belum tegas. Selanjutnya dalam QS Annisa/4: 43, secara tegas Allah melarang mabuk tetapi itupun belum tuntas karena larangannya terbatas pada waktu-waktu menjelang shalat. Lalu dalam QS Al-Maidah/5: 90, Allah melarang tegas minum khamar untuk sepanjang waktu. (Shihab, Volume 1, 2000: 437)
Alquran menggunakan azas metode mendidik bertahap. Azas ini diperlukan agar usaha pendidikan efektif. Minum khamar sudah menjadi kebiasaan turun temurun. Hal itu tidak mungkin ditinggalkan serta merta sekaligus, tetapi bertahap.
Ayat di atas diawali dengan kata “yas’alūnaka” (mereka bertanya, berkonsultasi denganmu hai Muhammad). Ini merupakan petunjuk bagi Nabi (konselor) dalam melayani para sahabat (konseli) untuk mendapatkan informasi hukum tentang sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan mereka. Nabi disuruh oleh Allah menyampaikan secara bertahap keharaman khamar itu. Itu berarti bahwa Allah menyuruh Nabi memahami dan memperhatikan kondisi konseli dalam memberikan solusi dan menjawab pertanyaan yang diajukan.
Bila konseling dilakukan terhadap orang yang mengalami masalah sehingga pengembangan potensinya tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka konselor perlu ingat bahwa potensi dan kehidupan manusia akan berkembang secara bertahap. (QS al-Insyiqaq/84: 19). Dalam memberikan bantuan, konselor perlu pula memperhatikan tahap-tahap itu. Bila hal itu tidak diindahkan, ia akan mengalami kegagalan. Hal itu bisa dilakukan bila konselor memahami kondisi konseli.
Akhlak seperti ini dapat dilihat pada diri Rasulullah SAW. Ketika menerima para sahabat berkonsultasi tentang masalah agama, Rasulullah memberikan jawaban yang bervariasi. Sahabat pernah bertanya tentang amal yang paling utama. Beliau menjawab, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya”. (an-Naysaburi, t.th.: 89). Pada waktu yang lain, ada pula sahabat yang bertanya tentang masalah yang sama. Rasulullah SAW. menjawab, “Salat pada (awal) waktunya”. (al-Sijistani, t.th.: 69). Pertanyaan yang sama juga ditanyakan oleh sahabat pada kesempatan yang berbeda. Beliau menjawab, “panjang (lama) berdiri dalam salat”. (al-Sijistani, t.th.: 69). Selain itu, Nabi pernah menjawab bahwa amal yang paling utama adalah mengangkat (menjaharkan) suara ketika membaca talbiyah dan mengalirkan darah sembelihan haji. (al-Qazwiniy, t.th.: juz II: 975). Dengan demikian, masalah yang sama dikonsultasikan kepada Rasulullah SAW. mendapat jawaban yang berbeda.
Riwayat yang bervariasi di atas dapat dipertanyakan, antara lain, mengapa beliau menjawab seperti itu? Apakah Nabi tidak konsisten dalam membimbing umatnya? Bila dilihat secara tekstual, orang mungkin mengatakan bahwa Nabi tidak konsisten. Akan perlu diingat bahwa hadis Nabi tidak selamanya harus dipahami secara demikian. Apalagi, ucapan beliau muncul dalam rangka menjawab pertanyaan. Sifat inkonsisten tidak layak dimiliki oleh Rasulullah SAW.
Perbedaan riwayat di atas lebih tepat bila dipahami bahwa Rasulullah menjawab pertanyaan sahabat setelah memahami kondisi yang sedang mengitari mereka. Perbedaan kondisi yang sedang menyertai sahabat mendorong Rasulullah SAW. untuk menjawab berbeda kendatipun secara redaksional, pertanyaannya sama.
Dalam menanggulangi masalah, konselor perlu memahami kondisi konseli dan suasana yang meyebabkan masalah itu muncul. Tidak mustahil terjadi masalah yang sama karena penyebab yang berbeda. Bila ini terjadi, penyelesaiannya tentu tidak persisi sama.
9. Mampu memegang amanah
Dalam Alquran Allah berfirman, Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hujurat/49: 12).
Dalam menafsirkan ayat ini, Qurthubi mengemukakan bahwa Gībah adalah membicarakan orang lain dengan sesuatu yang ada/terjadi pada dirinya. (al-Burūsiy, t.th. 2003: 87). Pengertian ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW. Dalam hadis selain apa yang dibicarakan itu terdapat pada orang yang dibicarakan, ditambah dengan adanya unsur tidak disenangi oleh orang yang dibicarakan bila hal itu didengarnya, sebagaimana dapat dilihat dalam hadis berikut ini.
Rasulullah SAW. bertanya kepada sahabat, “Tahukah kalian, apa yang dimaksud dengan gibah?” Sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”. Rasulullah SAW. bersabda, “Gibah adalah Anda membicarakan teman dengan sesuatu yang tidak disenanginya”. Sahabat bertanya, “Bagaimana bila yang saya bicarakan itu benar-benar ada pada temanku itu?” Rasulullah SAW. menjawab, “Jika sesuai dengan apa yang kamu bicarakan, itulah gibah, jika tidak, itu adalah kebohongan”. (HR Muslim dari Abi Hurairah). (An-Naysaburiy, Juz IV, t.th. 2001). Abdurrahim al-Mubarakfuri, dalam syarahnya mengemukakan bahwa gībah itu meliputi pembicaraan tentang kondisi badan, agama, dunia, diri, akhlak, harta, anak, orang tua, istri/suami, pembantu, pakaian, perjalanan, dan sebagainya. (al-Mubarakfuri, versi 2.00)
Konselor, karena tugasnya, berpotensi untuk mengetahui berbagai kondisi konseli. Ada yang bersifat biasa dan ada pula yang rahasia. Ada yang boleh diketahui oleh publik tanpa menimbulkan masalah baik dari segi fisik maupun mental dan ada pula yang memalukan jika diketahui oleh orang banyak. Dalam hal ini, konselor harus dapat menjaga rahasia. Bila tidak, orang yang bermasalah akan enggan berkonsultasi dengan konselor, sehingga proses konseling tidak sampai terjadi, atau hubungan antara konselor dan konseli dapat terganggu. Kemampuan menjaga rahasia ini juga dituntut bagi konselor yang profesional. (Mappiare AT., 2004: 135).
Rahasia konseli merupakan amanah bagi konselor. Ia tidak boleh membeberkannya kepada orang yang tidak berhak (berkepentingan). Bila hal itu dilakukannya berarti ia mengkhianatinya. Dalam suatu hadis, mengkhianati amanah adalah salah satu tanda munafiq (HR Bukhari dari Abi Hurairah). (Al-Bukhari, jilid I, t.th.: 22). Dengan demikian, menceritakan kondisi konseli yang termasuk kategori gībah di atas selain melanggar kode etik profesi konselor juga termasuk perilaku munafiq.
D. Penutup
Dalam melaksanakan konseling, konselor perlu memperhatikan faktor-faktor yang dapat menunjang dan menghalang keberhasilannya. Di antara faktor penunjang keberhasilan adalah akhlak yang mulia. Kapasitas intelektual dan penguasaan teknik yang memadai saja belum cukup bagi seorang konselor untuk mengantarkannya kepada kesuksesan. Demikian juga sebaliknya.
Menurut ajaran Islam, setiap konselor itu harus memiliki akhlak mulia yang mencakup : keteladanan, kasih sayang, tawaduk, sabar, pemaaf, lemah lembut, ingin perbaikan, cermat, memahami kondisi konseling dan mampu memegang amanah serta menjaga rahasia. Sifat-sifat ini sangat urgen bagi konselor muslim.
Penelitian ini belum mampu mengungkap secara tuntas aspek-aspek akhlak yang harus dimiliki oleh seorang konselor. Penulis berasumsi bahwa masih ada sisi lain yang perlu dikaji berdasarkan Alquran dan Hadis Nabi tentang kapasitas intelektual dan kualitas pribadi konselor untuk memperkaya khasanah konseling pendidikan Islam.
Selain untuk mendapatkan informasi, kita juga dapat memperoleh
peluang usaha yang menguntungkan di internet. Peluang ini tidak boleh kita
abaikan karena sambil browsing dan facebookan, kita bisa mendapatkan uang.
Penjelasannya dapat dilihat di SINI.
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Baqi,Muhammad Fu’ad, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāz al-Qur’ān, Indonesia: Dahlan, t.th.
Al-Aşfahaniy, al-Raghib, Mufradāt Alfāzh al-Qur’ān, Damsyiq: Dar al-Qalam, [t.th.] Juz 4
AT, Andi Mappiare, Pengantar Konseling dan Psikoterapi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, cet. ke-4
Al-Bukhari, Abi Abdillah Muhammad ibn Ismail, Şahīh al-Bukhāriy, I, Indonesia: Dahlan, t.th.,
al-Burūsiy, Ismā’īl Haqq ibn Muşţafa al-Hanafiy al-Khalwatiy, Rūh al-Bayān fī Tafsīr al-Qur’ān, juz 9, Beirut; Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424 H = 2003 M
Ad-Darimi, Abi Muhammad Abdullah ibn Bahram, Sunan ad-Dārimiy, juz I, Beirut: Dar al-Fikr, t.th
Faqih, Ainur Rafiq, Bimbingan dan Konseling Islam, Jakarta: UII Press, 2001
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad, Ihyā ’ulū m al-Dīn, al-Qahirah: al-Masyhad al-Husayn, [t.th], Juz 3
Ibn Zakaria, Abi al-Husayn Ahmad Ibn al-Faris, Mu’jam Maqāyis al-Lugah, Mesir: Musthafa al-Babiy al-Halabiy wa Awladuh, 1389 H./ 1969 M., juz 1, Cet. ke-2
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, Madārijus Sālikīn Pendekatan Menuju Allah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1988, cet. ke-1
Jaya, Yahya, Bimbingan dan Konseling Agama Islam, Padang: Angkasa Raya, 2004, cet. ke-10
Ma’luf, Louis, Qamus al Munjid, Beirut: al-Maktabah al-Katulikiyah, [t.th.]
Al-Mubarakfuri, Abdurrahim, Tuhfah al-Ahważi bisyarh jāmi’ at-Tirmiżiy, dalam CD Proram Hadits “Mausu’ah al-Hadits asy-Syarif al-Kutub at-Tis’ah” versi 2.00.
An-Naysaburiy, Abi al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayriy, Şahīh Muslim, Juz I, Indonesia: Dahlan, t.th.
Prayitno dan Erman Amti, Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, cet. ke-2
Al-Qazwiniy, Al-Hafizh Abi Abdillah Muhammad ibn Yazid, Sunan Ibn Mājah, Juz I, Indonesia: Dahlan, t.th.
Al-Qurţubi, Abu Abdillah bin Ahmad al-Anshari, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, Jilid 6, Kairo: Dar al-Sha’b, t.t., h. 5238
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume 1, Cet. ke-1, Jakarta: Lentara Hati, 1421/2000
As-Sijistani, Abi Dawud Sulayman ibn al-Asy’asy, Sunan Abī Dāwūd, II, Indonesia, Dahlan, t.th..
Sukardi, Dewa Ketut, Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000
Aţ-Ţabari, Imam Ibnu Jarir, Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, Jilid 3, Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H = 1995 M
Aţ-Ţabaţaba’i, Muhammad Husayn, al-Mīzān fi Tafsīr al-Qur’ān, Jilid 16, Beirut: Muassasah al-A’lami li al-Mathlubat, 1411 H = 1991 M, h. 295
At-Tirmiziy, Abi ‘Isa Muhammad bin Isa, Sunan al-Tirmiziy wa Huwa al-Jāmi’ al- Şahīh, Juz II, Indonesia: Dahlan, t.th.
Ya’qub, Hamzah, Etika Islam Pembinaan Akhlaulkarimah (Suatu Pengantar), Bandung: CV Diponegoro, 1996, cet. ke-7
Yunus, Abd al-Hamid, Dāirah al-Ma’ārif, (al-Qahirah: al-Sya’b, [t.th.], juz 2
[1]Masalah yang diajukan oleh kedua orang yang bertengkar adalah salah satunya memiliki istri sebanyak 99 orang dan yang lain hanya satu orang. Akan tetapi yang beristri 99 orang masih menginginkan agar temannya menyerahkan istrinya kepadanya. Lihat QS Shad/23: 21-24