Minggu, 05 Desember 2010

Pendidikan Akidah-Akhlak: Jangan Larut dalam Kesedihan Saat Ditimpa Musibah

Oleh: Bukhari Umar
Saudara-saudaraku yang beriman!
Pernahkah Anda melihat orang yang lepas kendali ketika ditimpa musibah? Mungkin musibah itu kematian orang yang sangat dicintainya atau kehilangan harta yang sangat berharga seperti kebakaran rumah, toko, atau perusahaan, atau bencana alam lainnya. Sikap lepas kendalinya terlihat ketika ia memukul-mukul tubuhnya sendiri, merobek bajunya sendiri, berteriak, meratap, menyebut-nyebut kebaikan orang yang meninggal. Ia sangat larut dengan kesedihan itu. Bahkan, ada yang sampai pingsan berkali-kali. Ia tidak mau makan apa-apa bahkan juga tidak minum suatu apa pun.
Orang yang lepas kendali itu biasanya tidak terpengaruh oleh siapa yang datang melayat. Keluarga, teman, atasan, atau rekan sekerja tidak berhasil meredam gejolak emosinya. Berapa dan siapa pun yang melihatnya, ia tetap berteriak mengucapkan kata-kata yang bermuatan protes terhadap apa yang telah menimpanya. Seakan-akan, ia telah dirugikan oleh seseorang. Dia tidak ingat lagi bahwa semua yang dimilikinya termasuk dirinya sendiri adalah milik Allah.
Saudaraku! Beriman itu dalam segala kondisi. Pada saat mendapat nikmat kita beriman. Pada waktu kehilangan kita juga beriman. Jangan sampai sewaktu bergembira mendapat rezeki, kita beriman, tetapi ketika rezeki hilang kita memprotes kepada Allah. Ini perlu dijaga karena ini adalah persoalan akidah. Bukankah seorang beriman itu telah berikrar dengan selalu pasrah kepada segala ketentuan Allah?
Bagaimana seharusnya kita menyikapi musibah yang menimpa diri kita? Untuk menjawabnya mari kita ikuti hadis dan pejelasan berikut ini:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ - رضى الله عنه - قَالَ قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ، وَشَقَّ الْجُيُوبَ ، وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ[1] » . رواه البخارى ومسلم والترمذى وابن ماجه
Dari 'Abdullah radliallahu 'anhu berkata; Nabi Shallallah a'alaihi wa sallam telah bersabda: Bukan dari golongan kami siapa yang menampar-nampar pipi, merobek-robek baju dan menyeru dengan seruan jahiliyyah (meratap) .
Secara bahasa, Jaibuts-tsaubi berarti bagian baju yang berlubang sedemikian rupa yang herfungsi sebagai jalan keluar masuknya kepala pada saat mengenakan atau menanggalkannya. Jahiliyah adalah keadaan di saat Arab sebelum kedatangan Islam sangat tidak mengenal Allah dan agama yang benar, yang diwarnai dengan saling menyombongkan diri dengan keturunan, keangkuhan, kekejaman, anak perempuan dikubur paksa dan lain-lainnva.[2]
Abdul Qadir Ahmad 'Atha' menjelaskan bahwa di antara akhlak orang mukmin adalah bersabar pada saat menghadapi kesulitan, menghadapinya dengan penuh kenidaan dan kepasrahan, seraya berucap, “innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn.’ Slanjutnya, ia  berkata, sesungguhnya milik Allahlah apa yang Dia ambil, dan milik-Nyalah apa yang Dia anugerahkan.” Kesabaran itu akan meringankan pahitnya musibah, mengurangi rasa sakit karena benturan-benturannya dan memberantas benih-benihnya.[3]
Berpatah hati, berlarut dalam kesedihan dan tidak menerima ketentuan Allah dalam qadha dan qadar-Nya bukanlah termasuk keimanan dan orang yang berlaku demikian tidak tergolong umat Muhammad dan para sahabatnya. Orang yang hatinva terlepas saat musibah menimpanva, tidak punya pegangan dan keberanian dalam menghadapi kedengkian hatinya, tidak mampu menghadapi ujian,  tetapi malah menampar-nampar mukanya. mencoreng moreng mukanya, memukul-mukul dudanva, merobek-robek kerah bajunya,  mencabik—cabik pakaian, menampilkan wajah yang kusut, menyeru dengan seruan Jahiliah: Oh bapak, oh ibu, oh anak-anak, oh suami. oh tetangga, oh musibah, oh bencana, oh harta, oh rumah, dan kata-kata itu selalu terucap saat menghadapi musibah, tidak menerima  qadha dan qadar Allah. lnilah orang-orang yang tidak termasuk golongan orang-orang Muslim itu. Karena sesungguhnya orang Muslim itu adalah yang mempunyai ketetapan hati, dapat menguasai diri, sabar dan tabah. di mana kesedihan tidak akan dapat mendorongnya kepada amarah, tetapi justru menjadi seperti yang disabdakan Rasulullah ketika putra beliau, Ibrahim meninggal dunia, kedua matanya hanya meneteskan air. Ketika itu,  Abdurrahman bin Auf berkata. “Apakah yang Anda lakukan wahai Rasulullah?
Jawab Rasulullah, “Wahai putra Auf, sesungguhnya (kematian) ini adalah rahmat, lalu aku menambahkannya dengan rahmat yang lain.”
Lalu beliau berkata lagi, “Sesungguhnya mata itu meneteskan air matanya, hati bersedih, tetapi itulah yang dapat kita katakan, Rabb kita rida dengan ini semua. Dan sesungguhnya kami sangat bersedih berpisah denganmu, wahai Ibrahim, anakku. Maka hendaklah kaum lelaki dan kaum perempuannya bertakwa kepada Allah atas apa yang mereka perbuat pada saat ditimpa musibah. Perlu dikeiahui bahwa para suami yang membiarkan istrinya menangis dan meneriakkan kebaikan-kebaikan orang yang telah mati, menampar-nampar wajahnya dan menabuh-nabuh genderang adalah orang-orung yang membantu mereka untuk melakukan dosa.
Saudaraku! Dalam rangka mengamalkan hadis di atas, marilah kita berupaya mendidik diri kita dan keluarga kita dengan sebaik-baiknya. Hal itu kita lakukan dalam setiap kesempatan. Jangan kita memberikan nasihat kepada anggota keluarga kita hanya ketika mendapat musibah saja, tetapi sebelumnya dan dilakukan sesering mungkin. Pembinaan akidah dan akhlak tidak efektif bila hanya dilakukan secara insidental. Bukankah Allah telah mewajibkan kita untuk menjaga diri dan keluarga kita dari azab-Nya.
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnva adalah manusia dan batru. (At—Tahrim: 6).


Untuk melaksanakan ajaran Islam secara maksimal, kita membutuhkan dana. Banyak ibadah dan kewajiban yang perlu didukung oleh keuangan yang memadai. Oleh sebab itu, kita perlu berusaha. Usaha yang mudah dan modal kecil dapat dilihat di SINI.








[1] Â-Bukhariy, Juz 1, h.
[2]'Atha', Abdul Qadir Ahmad, Adabun Nabi Meneladani Akhlak Rasulullah SAW. , Jakarta: Pustaka Azzam, 2000, Cet.ke.2, h. 24
[3]Ibid.