Oleh: Bukhari Umar
Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip
oleh Majid ‘Irsan al-Kaylani (Majid 'Irsan al-Kaylani, 1986: 177-118), tujuan
pendidikan Islam tertumpu pada empat aspek, yaitu: (1) tercapainya pendidikan
tauhid dengan cara mempelajari ayat Allah SWT. dalam wahyu-Nya dan ayat-ayat
fisik (afaq) dan psikis (anfus); (2) mengetahui ilmu Allah SWT.
melalui pemahaman terhadap kebenaran mahluk-Nya; (3) mengetahui kekuatan (qudrah)
Allah melalui pemahaman jenis-jenis, kuantitas, dan kreativitas mahluk-Nya;
dan (4) mengetahui apa yang diperbuat Allah SWT. (Sunnah Allah) tentang
realitas (alam) dan jenis-jenis perilakunya.
Abd al-Rahman Shaleh Abd Allah dalam bukunya, Educational
Theory, a Qur’anic Outlook terj. Arifin HM, 1991: 138-153), menyatakan
tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasikan menjadi empat dimensi, yaitu:
1.
Tujuan pendidikan jasmani (al-ahdaf al-jismiyah)
Mempersiapkan
diri manusia sebagai pengemban tugas khalifah di bumi, melalui keterampilan-keterampilan
fisik. Ia berpijak pada pendapat dari Imam Nawawi yang menafsirkan “al-qawy”
sebagai kekuatan iman yang ditopang oleh kekuatan fisik (QS. Al-Baqarah:
247, Al-Anfal: 60).
2.
Tujuan pendidikan rohani (al-ahdaf al-ruhaniyah)
Meningkatkan jiwa dan kesetiaan yang hanya
kepada Allah SWT semata dan melaksanakan moralitas islami yang dicontohkan oleh
Nabi SAW berdasarkan cita-cita ideal dalam Alquran (QS. Ali Imran: 19). Indikasi
pendidikan rohani adalah tidak bermuka dua (QS.AlBaqarah: 10), berupaya memurnikan
dan menyucikan diri manusia secara individual dari sikap negatif (QS. AI-Baqarah:
126) inilah yang disebut dengan tazkiyah (purfication) dan
hikmah (wisdom).
3.
Tujuan pendidikan akal (al-ahdaf al-aqliyah)
Pengarahan
inteligensi untuk menemukan kebenaran dan sebab-sebabnya dengan telaah
tanda-tanda kekuasaan Allah dan menemukan pesan-pesan ayat-ayat-Nya yang berimplikasi
kepada peningkatan iman kepada Sang Pencipta. Tahapan pendidikan akal ini
adalah:
a.
Pencapaian kebenaran ilmiah (ilm al-yaqin) (QS.Al-Takatsur:5).
b.
Pencapaian kebenaran empiris (ain al-yaqin) (QS.
Al-Takatsur:7).
c.
Pencapaian kebenaran metaempiris atau mungkin
lebih tepatnya sebagai kebenaran filosofis (haqq al-yaqin) (QS. Al-Waqiah:
95).
4.
Tujuan pendidikan sosial (al-ahdaf al-ijtimaiyah)
Tujuan
pendidikan sosial adalah pembentukan kepribadian yang utuh yang menjadi bagian
dari komunitas sosial, Identitas individu di sini tercermin sebagai "al-nas"
yang hidup pada masyarakat yang plural (majemuk).
Menurut al-Ghazali, yang dikutip oleh Fathiyah
Hasan Sulaiman (1986: 24), tujuan umum pendidikan Islam tercermin dalam dua
segi, yaitu: (1) insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT;
(2) insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat. Kebahagiaan dunia akhirat dalam pandangan al- Ghazali adalah
menempatkan kebahagiaan dalam proporsi yang sebenarnya. Kebahagiaan yang lebih
memiliki nilai universal, abadi, dan lebih hakiki itulah yang diprioritaskan.
Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi (tt: 30),
tujuan pendidikan Islam adalah tujuan yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh
Nabi Muhammad SAW sewaktu hidupnya yaitu terbentuknya moral yang tinggi, karena
pendidikan moral merupakan jiwa pendidikan Islam, sekalipun tanpa mengabaikan
pendidikan jasmani, akal, dan ilmu praktis.
Ibnu Khaldun, yang dikutip oleh Muhammad
Athiyah al-Abrasyi (1969: 284), merumuskan tujuan pendidikan Islam dengan
berpijak pada Firman Allah SWT sebagai berikut:
وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ
الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا.... (القصص: 77).
“Dan carilah pada apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu lupa bagian dan (kenikmatan) duniawi”.(QS. Al-Qashash: 77)
Berdasarkan ayat di atas, Ibnu Khaldun merumuskan
bahwa tujuan pendidikan Islam terbagi atas dua macam, yaitu: (1) tujuan yang
berorientasi ukhrawi, yaitu membentuk seorang hamba agar melakukan kewajiban
kepada Allah; (2) tujuan yang berorientasi duniawi, yaitu membentuk manusia yang
mampu menghadapi segala bentuk kebutuhan dan tantangan kehidupan, agar hidupnya
lebih layak dan bermanfaat bagi orang lain.
Abd al-Rasyid ibn Abd al-Aziz dalam bukunya, al-Tarbiyah
al-Islamiyah wa Thuruq Tadrisiha (1975: 231-232), menukil pendapat
para ahli, seperti al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, dan Ihwan Shafa, tentang
rumusan tujuan pendidikan Islam yang pada akhirya ia berkesimpulan behwa tujuan
pendidikan Islam adalah: (1) adanya kedekatan (taqarrub) kepada Allah
SWT melalui pendidikan akhlak; dan (2) menciptakan individu untuk memiliki pola
pikir yang ilmiah dan pribadi yang paripurna, yaitu pribadi yang dapat mengintegrasikan
antara agama dengan ilmu serta amal saleh, guna memperoleh ketinggian derajat
dalam berbagai dimensi kehidupan.
Ali Ashraf, (1989, 2: 130), menawarkan tujuan
pendidikan Islam dengan: “terwujudnya penyerahan mutlak kepada Allah SWT, pada
tingkat individu, masyarakat, dan kemanusiaan pada umumnya”. Tujuan umum itu
merupakan kristalisasi dari tujuan khusus pendidikan Islam. Menurutnya, tujuan
khusus pendidikan Islam adalah:
1. Mengembangkan wawasan spiritual yang semakin
mendalam, serta mengembangkan pemahaman rasional mengenai Islam dalam konteks
kehidupan modern.
2. Membekali anak muda dengan berbagai
pengetahuan dan kebajikan, baik pengetahuan praktis, kekuasaan, kesejahteraan,
lingkungan sosial, dan pembangunan nasional.
3. Mengembangkan kemampuan pada diri peserta
didik untuk menghargai dan membenarkan superioritas komperatif kebudayaan dan
peradaban islami di atas semua kebudayaan lain.
4. Memperbaiki dorongan emosi melalui
pengalaman imajinatif, sehingga kemampuan kreatif dapat berkembang dan berfungsi
mengetahui norma-norma Islam yang benar dan yang salah.
5. Membantu
peserta didik yang sedang tumbuh untuk belajar berpikir secara logis dan
membimbing proses pemikirannya dengan berpijak pada hipotesis dan konsep-konsep
tentang pengetahuan yang dituntut.
6. Mengembangkan wawasan relasional dan lingkungan sebagaimana yang dicita-citakan
dalam Islam, dengan melatih kebiasaan yang baik.
7. Mengembangkan, menghaluskan dan memperdalam
kemampuan berkomunikasi dalam bahasa tulis dan bahasa lisan.
Rumusan tujuan pendidikan Islam yang dihasilkan
dan seminar pendidikan Islam sedunia tahun 1980 di Islamabad adalah:
“Education aims at the ballanced growth of
total personality of man through the training of man’s spirit, intelect, the
rational self feeling and bodile sense. Education should, therefore, cater for
the growth of man in all its aspects, spiritual, intelectual, imaginative,
physical, scientific, linguistic, both individually and collectively, and
motivate all these aspects toward goodness and attainment of perfection. The
ultimate aim of education lies in the realization of complete submission to
Allah on the level of individual, the community and humanity at large.” (Arifin
HM, 1991 : 4).
Maksudnya, tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan
pertumbuhan kepribadian manusia (peserta didik) secara menyeluruh dan seimbang
yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran (intelektual), diri manusia
yang rasional; perasaan dan indera. Karena itu, pendidikan hendaknya mencakup pengembangan aspek fitrah
peserta didik; aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah, dan
bahasa, baik secara individual maupun kolektif; dan mendorong semua aspek
tersebut berkembang ke arah kebaikan dan kesempumaan. Tujuan terakhir
pendidikan muslim terletak pada
perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah, baik secara pribadi,
komunitas, maupun seluruh umat manusia.
Berdasarkan rumusan di atas, dapat dipahami
bahwa pendidikan Islam merupakan proses membimbing
dan membina fitrah peserta didik secara maksimal dan bermuara pada terciptanya
pribadi peserta didik sebagai muslim paripurna (insan kamil). Melalui
sosok pribadi yang demikian, peserta didik diharapkan akan mampu memadukan
fungsi iman, ilmu, dan amal (Q.S. Al-Mujaadillah/58:11) secara integral bagi
terbinannya kehidupan yang harmonis, baik dunia maupun akhirat dalam bahasa tulis
dan bahasa lisan.
Muhtar Yahya (1977: 40-43) merumuskan tujuan
pendidikan Islam dengan sederhana sekali, yaitu memberikan pemahaman
ajaran-ajaran Islam pada peserta didik dan membentuk keluhuran budi pekerti
sebagaimana misi Rasulullah SAW sebagai pengemban perintah menyempurnakan
akhlak manusia, untuk memenuhi kebutuhan kerja (QS. Al-Nahl: 97, Al-An’am: 132)
dalam rangka menempuh hidup bahagia dunia dan akhirat (QS. Al-Qashash: 77).
Formulasi lain dikemukakan oleh Muhammad Fadhil
al-Jamali (1986: 3). Ia merumuskan tujuan pendidikan Islam dengan empat macam,
yaitu: (1) mengenalkan manusia akan peranannya di antara sesama titah makhluk
dan tanggungjawabnya di dalam hidup ini (2) mengenalkan manusia akan interaksi
sosial dan tanggung jawabnya dalam tata hidup bermasyarakat; (3) mengenalkan
manusia akan alam dan mengajak mereka untuk mengetahui hikmah diciptakannya
serta memberi kemungkinan kepada mereka untuk mengambil manfaat darinya; (4)
mengenalkan manusia akan pencipta alam (Allah) dan menyuruhnya beribadah
kepadaNya.
Dari beberapa rumusan tujuan di atas dapat disimpulkan
bahwa tujuan pendidikan Islam adalah: “Terbentuknya insan kamil yang memiliki
wawasan kaffah agar mampu menjalankan tugas-tugas kehambaan, kekhalifahan, dan
pewaris Nabi.” Tujuan tersebut bisa dijabarkan dalam uraian sebagai berikut:
1.
Terbentuknya “insan kamil” (manusia
paripurna) yang mempunyai wajah-wajah qur ‘ani. Rumusan tentang wajah-wajah
qur’ani banyak sekali, namun Saefuddin AM (1990: 111-112) memberikan
rumusan begitu singkat dan padat, yaitu:
a. Wajah
kekeluargaan dan persaudaraan yang menumbuhkan sikap egalitarianisme (QS. Al-Hujurat:
10-13).
b. Wajah
yang penuh kemuliaan sebagai makhluk yang berakal dan dimuliakan (QS. Al-Anfal:
4, An-Nahl: 70, Al-Isra’: 23, Al-Furqan: 72, Al-Ahzab: 44, Al-Hujurat: 13, Al-Waqiah: 77, Al-Haqqah: 40, Al-Fajr: 17, Al-’Alaq:
3).
c. Wajah
yang kreatif menumbuhkan gagasan-gagasan baru dan bermanfaat bagi kemanusiaan (QS.
Al-Mu’minun: 14).
d. Wajah
yang penuh keterbukaan yang menumbuhkan prestasi kerja dan pengabdian
mendahului prestasi (QS. Al-An’am: 132).
e. Wajah
yang monokotomis menumbuhkan integralisme sistem ilahiyah (ketuhanan) ke
dalam sistem insaniyah (kemanusiaan) dan sistem kauniyah (kealaman)
(QS. Al-Baqarah: 25, 38, Al-Imran: 9, Al-Nisa’: 135).
f. Wajah
keseimbangan yang menumbuhkan kebijakan dan kearifan dalam mengambil keputusan
(Q S. Al-Rahman :78).
g. Wajah
kasih sayang menumbuhkan karakter dan aksi solidaritas dan sinergi (QS. Al-Araf:
151, 156, Al-Anbiya’: 107, Al-Isra’: 24, Al-Rum: 21, Luqman: 3, Al-Fath: 29,
‘Abasa:31, Al-Balad:17).
h. Wajah
akuristik yang menumbuhkan wajah kebersamaan dalam mendahulukan orang lain (QS.
Al-Hasyr: 9).
i. Wajah
demokrasi yang menumbuhkan wajah penghargaan dan penghormatan terhadap persepsi
dan aspirasi yang berbeda (QS. At-Taubat: 60, Al-Hasyr: 7).
j. Wajah
keadilan yang menimbulkan persamaan hak serta perolehan (QS. Al-Maidah: 8).
k. Wajah
disiplin yang menimbulkan keteraturan dan ketertiban dalam kehidupan (QS. Al-Baqarah:
187, An-Nur: 51, Al-Hasyr: 18).
l. Wajah
manusiawi yang menumbuhkan usaha menghindarkan diri dan dominasi dan
eksploitasi (QS. Al-Baqarah: 256, Al-Mu’min: 8, 9).
m. Wajah
penuh kesederhanaan menumbuhkan rasa dan karsa menjauhkan diri dari pemborosan
(QS. Al-Baqarah: 156, Ali Imran: 15, 17, 185, An-Nisa’: 135, Al-A'raf: 131, An-Nazi’at
38, 39).
n. Wajah
yang intelektual atau terpelajar yang menumbuhkan daya imajinasi dan daya cipta
(QS. Al-Mujadilah: 11).
o. Wajah bernilai
tambah (added value) (QS. Al-Hajj: 78, Al-Najm 39, Al-Hasyr: 18).
Dalam versi lain, Muhammad Iqbal, yang dikutip
oleh Dawam Rahardjo (1989: 26), memberikan kriteria insan kamil dengan
kriteria insan yang beriman yang di dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan,
perbuatan, dan kebijaksanaan dan mempunyai sifat-sifat yang tercermin dalam
pribadi Nabi SAW berupa akhlak karimah. Tahapan untuk mencapai insan kamil itu
diperoleh melalui ketaatan terhadap hukum-hukum Allah.
2.
Terciptanya insan kaffah, yang menurut
Thalhah Hasan (1986: 43-44) memiliki tiga dimensi kehidupan, yaitu dimensi
religius, budaya, dan ilmiah, yaitu:
a. Dimensi
religius. yaitu manusia merupakan makhluk yang mengandung berbagai misteri dan
tidak dapat direduksikan kepada faktor materi semata-mata. Dengan demikian,
manusia bisa dicegah untuk dijadikan angka, atomat, dan robot yang diprogramkan
secara deterministis, tetapi tetap mempertahankan kepribadian, kebebasan akan
martabatnya. Cara mengangkatnya adalah dengan menjadikan ia bernilai secara
spiritual dan agama, yang karenanya manusia berbeda satu dengan yang lain.
b. Dimensi
budaya, manusia merupakan makhluk etis yang mempunyai kewajiban dan tanggung
jawab terhadap kelestarian dunia seisinya. Dalam dimensi ini, manusia
mendapatkan dasar untuk mempertahankan keutuhan kepribadiaannya dan mampu
mencegah arus zaman yang membawa pada disintegrasi dan framentasi yang selalu
mengancam kehidupan manusia.
c. Dimensi
ilmiah, dimensi yang mendorong manusia untuk selalu bersikap objektif dan
realistis dalam menghadapi tantangan zaman, serta berbagai kehidupan manusia
terbina untuk bertingkah laku secara kritis dan rasional, serta berusaha mengembangkan
keterampilan dan kreativitas berpikir.
3.
Penyadaran fungsi manusia sebagai hamba,
khalifah Allah, serta sebagai pewaris nabi (warasat al-anbiya') dan
memberikan bekal yang memadai dalam rangka pelaksanaan fungsi tersebut.
Daftar
Bacaan:
Al-Kailany,
Majid Irsan, al-Fikr at-Tarbawy ‘ind
Ibn Taimiyah, Al-Madinah al-Munawwarah: Maktabah Dar at-Turats, 1986
Arifin, H. M., Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Jakarta:
Bumi Aksara, 1991
Sulaiman, Fathiyah Hasan, Sistem Pendidikan Versi
Al-Ghazali, (terj.) Fathur Rahmat May dan Syamsuddin Asyrafi, dari judl
asli “al-Mazahib at-Tarbawiy ‘ind Al-Ghazali “, (Bandung: Al-Ma’arif, 1986),
Cet. ke-1
Abrasyi, Athiyah, al-Tarbiyat al-Islamiyyat wa Falasifatuha, Mishr: Isa al-Babiy
al-Halabiy wa Syurakah, t.th.
Ashraf Ali, Horison Baru
Pendidikan Islam, terj. Sayed Husen Nashr, Jakarta: Firdaus, 1989
Yahya, Mukhtar, Butir-butir Berharga
dalam Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta :
Bulan Bintang, 1977.
Rahardjo, M. Dawam, Insan Kamil: Konsep Manusia Menurut Islam,
Jakarta, 1989
A1-Aziz, Abd al-Rasyid thu
Abd, al-Ta rbi yah al-Islamniyah wa Thuruq Tadrisiha, Kuwait: Darul Buhuts
al-'Ilmiyah, 1975.
Tholchah Hasan, Islam dalam Perspektzf Sosial Budaya, Jakarta:
Galasa Nusantara, 1987