Kamis, 19 Juli 2012

Tujuan Pendidikan Islam

-->
Oleh: Bukhari Umar
Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Majid ‘Irsan al-Kaylani (Majid 'Irsan al-Kaylani, 1986: 177-118), tujuan pendidikan Islam tertumpu pada empat aspek, yaitu: (1) tercapainya pendidikan tauhid dengan cara mempelajari ayat Allah SWT. dalam wahyu-Nya dan ayat-ayat fisik (afaq) dan psikis (anfus); (2) mengetahui ilmu Allah SWT. melalui pemahaman terhadap kebenaran mahluk-Nya; (3) mengetahui kekuatan (qudrah) Allah melalui pemahaman jenis-jenis, kuantitas, dan kreativitas mahluk-Nya; dan (4) mengetahui apa yang diperbuat Allah SWT. (Sunnah Allah) tentang realitas (alam) dan jenis-jenis perilakunya.
Abd al-Rahman Shaleh Abd Allah dalam bukunya, Educational Theory, a Qur’anic Outlook terj. Arifin HM, 1991: 138-153), menyatakan tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasikan menjadi empat dimensi, yaitu:
1.      Tujuan pendidikan jasmani (al-ahdaf al-jismiyah)
Mempersiapkan diri manusia sebagai pengemban tugas khalifah di bumi, melalui keterampilan-keterampilan fisik. Ia berpijak pada pendapat dari Imam Nawawi yang menafsirkan “al-qawy” sebagai kekuatan iman yang ditopang oleh kekuatan fisik (QS. Al-Baqarah: 247, Al-Anfal: 60).
2.      Tujuan pendidikan rohani (al-ahdaf al-ruhaniyah)
 Meningkatkan jiwa dan kesetiaan yang hanya kepada Allah SWT semata dan melaksanakan moralitas islami yang dicontohkan oleh Nabi SAW berdasarkan cita-cita ideal dalam Alquran (QS. Ali Imran: 19). Indikasi pendidikan rohani adalah tidak bermuka dua (QS.AlBaqarah: 10), berupaya memurnikan dan menyucikan diri manusia secara individual dari sikap negatif (QS. AI-Baqarah: 126) inilah yang disebut dengan tazkiyah (purfication) dan hikmah (wisdom).
3.      Tujuan pendidikan akal (al-ahdaf al-aqliyah)
Pengarahan inteligensi untuk menemukan kebenaran dan sebab-sebabnya dengan telaah tanda-tanda kekuasaan Allah dan menemukan pesan-pesan ayat-ayat-Nya yang berimplikasi kepada peningkatan iman kepada Sang Pencipta. Tahapan pendidikan akal ini adalah:
a.      Pencapaian kebenaran ilmiah (ilm al-yaqin) (QS.Al-Takatsur:5).
b.      Pencapaian kebenaran empiris (ain al-yaqin) (QS. Al-Takatsur:7).
c.      Pencapaian kebenaran metaempiris atau mungkin lebih tepatnya sebagai kebenaran filosofis (haqq al-yaqin) (QS. Al-Waqiah: 95).
4.      Tujuan pendidikan sosial (al-ahdaf al-ijtimaiyah)
Tujuan pendidikan sosial adalah pembentukan kepribadian yang utuh yang menjadi bagian dari komunitas sosial, Identitas individu di sini tercermin sebagai "al-nas" yang hidup pada masyarakat yang plural (majemuk).
Menurut al-Ghazali, yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman (1986: 24), tujuan umum pendidikan Islam tercermin dalam dua segi, yaitu: (1) insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT; (2) insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Kebahagiaan dunia akhirat dalam pandangan al- Ghazali adalah menempatkan kebahagiaan dalam proporsi yang sebenarnya. Kebahagiaan yang lebih memiliki nilai universal, abadi, dan lebih hakiki itulah yang diprioritaskan.
Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi (tt: 30), tujuan pendidikan Islam adalah tujuan yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sewaktu hidupnya yaitu terbentuknya moral yang tinggi, karena pendidikan moral merupakan jiwa pendidikan Islam, sekalipun tanpa mengabaikan pendidikan jasmani, akal, dan ilmu praktis.
Ibnu Khaldun, yang dikutip oleh Muhammad Athiyah al-Abrasyi (1969: 284), merumuskan tujuan pendidikan Islam dengan berpijak pada Firman Allah SWT sebagai berikut:
وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا.... (القصص: 77).
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu lupa bagian dan (kenikmatan) duniawi”.(QS. Al-Qashash: 77)
Berdasarkan ayat di atas, Ibnu Khaldun merumuskan bahwa tujuan pendidikan Islam terbagi atas dua macam, yaitu: (1) tujuan yang berorientasi ukhrawi, yaitu membentuk seorang hamba agar melakukan kewajiban kepada Allah; (2) tujuan yang berorientasi duniawi, yaitu membentuk manusia yang mampu menghadapi segala bentuk kebutuhan dan tantangan kehidupan, agar hidupnya lebih layak dan bermanfaat bagi orang lain.
Abd al-Rasyid ibn Abd al-Aziz dalam bukunya, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Thuruq Tadrisiha (1975: 231-232), menukil pendapat para ahli, seperti al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, dan Ihwan Shafa, tentang rumusan tujuan pendidikan Islam yang pada akhirya ia berkesimpulan behwa tujuan pendidikan Islam adalah: (1) adanya kedekatan (taqarrub) kepada Allah SWT melalui pendidikan akhlak; dan (2) menciptakan individu untuk memiliki pola pikir yang ilmiah dan pribadi yang paripurna, yaitu pribadi yang dapat mengintegrasikan antara agama dengan ilmu serta amal saleh, guna memperoleh ketinggian derajat dalam berbagai dimensi kehidupan.
Ali Ashraf, (1989, 2: 130), menawarkan tujuan pendidikan Islam dengan: “terwujudnya penyerahan mutlak kepada Allah SWT, pada tingkat individu, masyarakat, dan kemanusiaan pada umumnya”. Tujuan umum itu merupakan kristalisasi dari tujuan khusus pendidikan Islam. Menurutnya, tujuan khusus pendidikan Islam adalah:
1. Mengembangkan wawasan spiritual yang semakin mendalam, serta mengembangkan pemahaman rasional mengenai Islam dalam konteks kehidupan modern.
2. Membekali anak muda dengan berbagai pengetahuan dan kebajikan, baik pengetahuan praktis, kekuasaan, kesejahteraan, lingkungan sosial, dan pembangunan nasional.
3. Mengembangkan kemampuan pada diri peserta didik untuk menghargai dan membenarkan superioritas komperatif kebudayaan dan peradaban islami di atas semua kebudayaan lain.
4. Memperbaiki dorongan emosi melalui pengalaman imajinatif, sehingga kemampuan kreatif dapat berkembang dan berfungsi mengetahui norma-norma Islam yang benar dan yang salah.
5.  Membantu peserta didik yang sedang tumbuh untuk belajar berpikir secara logis dan membimbing proses pemikirannya dengan berpijak pada hipotesis dan konsep-konsep tentang pengetahuan yang dituntut.
6. Mengembangkan wawasan relasional dan  lingkungan sebagaimana yang dicita-citakan dalam Islam, dengan melatih kebiasaan yang baik.
7. Mengembangkan, menghaluskan dan memperdalam kemampuan berkomunikasi dalam bahasa tulis dan bahasa lisan.
Rumusan tujuan pendidikan Islam yang dihasilkan dan seminar pendidikan Islam sedunia tahun 1980 di Islamabad adalah:
“Education aims at the ballanced growth of total personality of man through the training of man’s spirit, intelect, the rational self feeling and bodile sense. Education should, therefore, cater for the growth of man in all its aspects, spiritual, intelectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both individually and collectively, and motivate all these aspects toward goodness and attainment of perfection. The ultimate aim of education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at large.” (Arifin HM, 1991 : 4).
Maksudnya, tujuan pendidikan  Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia (peserta didik) secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran (intelektual), diri manusia yang rasional; perasaan dan indera. Karena itu, pendidikan  hendaknya mencakup pengembangan aspek fitrah peserta didik; aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah, dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif; dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan dan kesempumaan. Tujuan terakhir pendidikan  muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah, baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.
Berdasarkan rumusan di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan  Islam merupakan proses membimbing dan membina fitrah peserta didik secara maksimal dan bermuara pada terciptanya pribadi peserta didik sebagai muslim paripurna (insan kamil). Melalui sosok pribadi yang demikian, peserta didik diharapkan akan mampu memadukan fungsi iman, ilmu, dan amal (Q.S. Al-Mujaadillah/58:11) secara integral bagi terbinannya kehidupan yang harmonis, baik dunia maupun akhirat dalam bahasa tulis dan bahasa lisan.
Muhtar Yahya (1977: 40-43) merumuskan tujuan pendidikan Islam dengan sederhana sekali, yaitu memberikan pemahaman ajaran-ajaran Islam pada peserta didik dan membentuk keluhuran budi pekerti sebagaimana misi Rasulullah SAW sebagai pengemban perintah menyempurnakan akhlak manusia, untuk memenuhi kebutuhan kerja (QS. Al-Nahl: 97, Al-An’am: 132) dalam rangka menempuh hidup bahagia dunia dan akhirat (QS. Al-Qashash: 77).
Formulasi lain dikemukakan oleh Muhammad Fadhil al-Jamali (1986: 3). Ia merumuskan tujuan pendidikan Islam dengan empat macam, yaitu: (1) mengenalkan manusia akan peranannya di antara sesama titah makhluk dan tanggungjawabnya di dalam hidup ini (2) mengenalkan manusia akan interaksi sosial dan tanggung jawabnya dalam tata hidup bermasyarakat; (3) mengenalkan manusia akan alam dan mengajak mereka untuk mengetahui hikmah diciptakannya serta memberi kemungkinan kepada mereka untuk mengambil manfaat darinya; (4) mengenalkan manusia akan pencipta alam (Allah) dan menyuruhnya beribadah kepadaNya.
Dari beberapa rumusan tujuan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah: “Terbentuknya insan kamil yang memiliki wawasan kaffah agar mampu menjalankan tugas-tugas kehambaan, kekhalifahan, dan pewaris Nabi.” Tujuan tersebut bisa dijabarkan dalam uraian sebagai berikut:
1.      Terbentuknya “insan kamil” (manusia paripurna) yang mempunyai wajah-wajah qur ‘ani. Rumusan tentang wajah-wajah qur’ani banyak sekali, namun Saefuddin AM (1990: 111-112) memberikan rumusan begitu singkat dan padat, yaitu:
a.      Wajah kekeluargaan dan persaudaraan yang menumbuhkan sikap egalitarianisme (QS. Al-Hujurat: 10-13).
b.     Wajah yang penuh kemuliaan sebagai makhluk yang berakal dan dimuliakan (QS. Al-Anfal: 4, An-Nahl: 70, Al-Isra’: 23, Al-Furqan: 72, Al-Ahzab: 44, Al-Hujurat: 13, Al-Waqiah:   77, Al-Haqqah: 40, Al-Fajr: 17, Al-’Alaq: 3).
c.      Wajah yang kreatif menumbuhkan gagasan-gagasan baru dan bermanfaat bagi kemanusiaan (QS. Al-Mu’minun: 14).
d.     Wajah yang penuh keterbukaan yang menumbuhkan prestasi kerja dan pengabdian mendahului prestasi (QS. Al-An’am: 132).
e.      Wajah yang monokotomis menumbuhkan integralisme sistem ilahiyah (ketuhanan) ke dalam sistem insaniyah (kemanusiaan) dan sistem kauniyah (kealaman) (QS. Al-Baqarah: 25, 38, Al-Imran: 9, Al-Nisa’: 135).
f.      Wajah keseimbangan yang menumbuhkan kebijakan dan kearifan dalam mengambil keputusan (Q S. Al-Rahman :78).
g.     Wajah kasih sayang menumbuhkan karakter dan aksi solidaritas dan sinergi (QS. Al-Araf: 151, 156, Al-Anbiya’: 107, Al-Isra’: 24, Al-Rum: 21, Luqman: 3, Al-Fath: 29, ‘Abasa:31, Al-Balad:17).
h.     Wajah akuristik yang menumbuhkan wajah kebersamaan dalam mendahulukan orang lain (QS. Al-Hasyr: 9).
i.       Wajah demokrasi yang menumbuhkan wajah penghargaan dan penghormatan terhadap persepsi dan aspirasi yang berbeda (QS. At-Taubat: 60, Al-Hasyr: 7). 
j.       Wajah keadilan yang menimbulkan persamaan hak serta perolehan (QS. Al-Maidah: 8).
k.     Wajah disiplin yang menimbulkan keteraturan dan ketertiban dalam kehidupan (QS. Al-Baqarah: 187, An-Nur: 51, Al-Hasyr: 18).
l.       Wajah manusiawi yang menumbuhkan usaha menghindarkan diri dan dominasi dan eksploitasi (QS. Al-Baqarah: 256, Al-Mu’min: 8, 9).
m.   Wajah penuh kesederhanaan menumbuhkan rasa dan karsa menjauhkan diri dari pemborosan (QS. Al-Baqarah: 156, Ali Imran: 15, 17, 185, An-Nisa’: 135, Al-A'raf: 131, An-Nazi’at 38, 39).
n.     Wajah yang intelektual atau terpelajar yang menumbuhkan daya imajinasi dan daya cipta (QS. Al-Mujadilah: 11).
o.     Wajah bernilai tambah (added value) (QS. Al-Hajj: 78, Al-Najm 39, Al-Hasyr: 18).
Dalam versi lain, Muhammad Iqbal, yang dikutip oleh Dawam Rahardjo (1989: 26), memberikan kriteria insan kamil dengan kriteria insan yang beriman yang di dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan, dan kebijaksanaan dan mempunyai sifat-sifat yang tercermin dalam pribadi Nabi SAW berupa akhlak karimah. Tahapan untuk mencapai insan kamil itu diperoleh melalui ketaatan terhadap hukum-hukum Allah.
2.      Terciptanya insan kaffah, yang menurut Thalhah Hasan (1986: 43-44) memiliki tiga dimensi kehidupan, yaitu dimensi religius, budaya, dan ilmiah, yaitu:
a.       Dimensi religius. yaitu manusia merupakan makhluk yang mengandung berbagai misteri dan tidak dapat direduksikan kepada faktor materi semata-mata. Dengan demikian, manusia bisa dicegah untuk dijadikan angka, atomat, dan robot yang diprogramkan secara deterministis, tetapi tetap mempertahankan kepribadian, kebebasan akan martabatnya. Cara mengangkatnya adalah dengan menjadikan ia bernilai secara spiritual dan agama, yang karenanya manusia berbeda satu dengan yang lain.
b.      Dimensi budaya, manusia merupakan makhluk etis yang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap kelestarian dunia seisinya. Dalam dimensi ini, manusia mendapatkan dasar untuk mempertahankan keutuhan kepribadiaannya dan mampu mencegah arus zaman yang membawa pada disintegrasi dan framentasi yang selalu mengancam kehidupan manusia.
c.       Dimensi ilmiah, dimensi yang mendorong manusia untuk selalu bersikap objektif dan realistis dalam menghadapi tantangan zaman, serta berbagai kehidupan manusia terbina untuk bertingkah laku secara kritis dan rasional, serta berusaha mengembangkan keterampilan dan kreativitas berpikir.
3.      Penyadaran fungsi manusia sebagai hamba, khalifah Allah, serta sebagai pewaris nabi (warasat al-anbiya') dan memberikan bekal yang memadai dalam rangka pelaksanaan fungsi tersebut.  



Daftar Bacaan:
Al-Kailany, Majid Irsan, al-Fikr at-Tarbawy ‘ind Ibn Taimiyah, Al-Madinah al-Munawwarah: Maktabah Dar at-Turats, 1986
Arifin, H. M., Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Jakarta: Bumi Aksara, 1991
Sulaiman, Fathiyah Hasan, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazali, (terj.) Fathur Rahmat May dan Syamsuddin Asyrafi, dari judl asli “al-Mazahib at-Tarbawiy ‘ind Al-Ghazali “, (Bandung: Al-Ma’arif, 1986), Cet. ke-1
Abrasyi, Athiyah, al-Tarbiyat al-Islamiyyat wa Falasifatuha, Mishr: Isa al-Babiy al-Halabiy wa Syurakah, t.th.
Ashraf Ali, Horison Baru Pendidikan Islam, terj. Sayed Husen Nashr, Jakarta: Firdaus, 1989
Yahya, Mukhtar, Butir-butir Berharga dalam Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Rahardjo, M. Dawam,  Insan Kamil: Konsep Manusia Menurut Islam, Jakarta, 1989
A1-Aziz, Abd al-Rasyid thu Abd, al-Ta rbi yah al-Islamniyah wa Thuruq Tadrisiha, Kuwait: Darul Buhuts al-'Ilmiyah, 1975.
Tholchah Hasan, Islam dalam Perspektzf Sosial Budaya, Jakarta: Galasa Nusantara, 1987

Tujuan Pendidikan


Oleh: Bukhari Umar
Tujuan pendidikan ialah perubahan-perubahan yang diharapkan terjadi pada subjek didik setelah mengalami proses pendidikan. perubahan tingkah laku perubahan pribadi individu perubahan kehidupan sosial perubahan kehidupan masyarakat Dan perubahan alam sekitarnya. 

Dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 disebutkan, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab." (Himpunan, 2009: 6).
Dalam undang-undang pendidikan sebelumnya, yaitu Undang-Undang No. 2/1989, ada kemiripan kecuali berbeda dalam pengungkapan. Pada pasal 4 ditulis, "Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi-pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung- jawab kemasyarakatan dan kebangsaan."  
Tujuan pendidikan adalah menciptakan seseorang yang berkwalitas dan berkarakter sehingga memiliki pandangan yang luas kedepan untuk mencapai suatu cita- cita yang di harapkan dan mampu beradaptasi secara cepat dan tepat di dalam berbagai lingkungan. Karena pendidikan itu sendiri memotivasi diri kita untuk lebih baik dalam segala aspek kehidupan.


Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam bukunya, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur, ISTAC, 1993), merumuskan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menghasilkan orang yang baik (to produce a good man). Kata al-Attas, “The aim of education in Islam is therefore to produce a goodman… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab.” (Attas, ISTAC: 150-151).
Berdasarkan faktor-faktor ini UNESCO telah memberikan suatu deskripsi tentang tujuan pendidikan pada umumnya dan untuk Indonesia sendiri tujuan itu telah ditetapkan dalam ketetapan MPR.
Pertama, UNESCO menggaris bawahi tujuan pendidikan sebagai ”menuju Humanisme Ilmiah”. Pendidikan bertujuan menjadikan orang semakin menjunjung tinggi nilai-nilai luhur manusia. Keluhuran manusia haruslah dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Maka humanisme ilmiah menolak ide tentang manusia yang bersifat subjektif dan abstrak semata. Manusia harus dipandang sebagai mahluk konkrit yang hidup dalam ruang dan waktu dan harus diakui sebagai pribadi yang mempunyai martabat yang tidak boleh diobjekkan. Dalam kerangka ini maka tujuan sistem pendidikan adalah latihan dalam ilmu dan latihan dalam semangat ilmu.
Kedua, pendidikan harus mengarah kepada kreativitas. Artinya, pendidikan harus membuat orang menjadi kreatif. Pada dasarnya setiap individu memiliki potensi kreativitas dan potesi inilah yang ingin dijadikan aktual oleh pendidikan. Semangat kreatif, non konformist dan ingin tahu, menonjol dalam diri manusia muda. Mereka umumnya bersikap kritis terhadap nilai-nilai yang ada dan jika mereka menemukan bahwa nilai-nilai itu sudah ketinggalan jaman, maka mereka ingin merombaknya. Disini pendidikan berfungsi ganda, menyuburkan kreativitas, atau sebaliknya mematikan kreativitas.
Ketiga, tujuan pendidikan harus berorientasi kepada keterlibatan sosial. Pendidikan harus mempersiapkan orang untuk hidup berinteraksi dengan amsyarakat secara bertanggung jawab. Dia tidak hanya hidup dan menyesuaikan diri dengan struktur-struktur sosial itu. Disini seorang individu merealisir dimensi-dimensi sosialnya lewat proses belajar berpartisipasi secara aktif lewat keterlibatan secara meyeluruh dalam lingkungan sosialnya. Dalam kerangka sosialitas pada umumnya ini, suatu misi pendidikan ialah menolong manusia muda melihat orang lain bukan sebagai abstriaksi-abstraksi, melainkan sebagai mahluk konkrit dengan segala dimensi kehidupannya.
Keempat, tekanan terakhir yang digariskan UNESCO sebagai tujuan pendidikan adalah pembentukan manusia sempurna. Pendidikan bertugas untuk mengembangkan potensi-potensi individu semaksimal mungkin dalam batas-batas kemampuannya, sehingga terbentuk manusia yang pandai, terampil, jujur, yang tahu kadar kemampuannya, dan batas-batasnya, serta kerhormatan diri. Pembentukan manusia sempurna ini akan tercapai apabila dalam diri seseorang terjadi proses perpaduan yang harmonis dan integral antara dimensi-dimensi manusiawi seperti dimensi fisik, intelektual, emosional, dan etis. Proses ini berlangsung seumur hidup. Jadi konkritnya pada pokoknya pendidikan itu adalah humansisasi, karena itu mendidik berarti ”memanusiakan manusia muda dengan cara memimpin pertumbuhannya sampai dapat berdikari, bersikap sendiri, bertanggung jawab dan berbuat sendiri”. (Ibid, 1980)
Selain untuk mendapatkan informasi, kita juga dapat memperoleh peluang usaha yang menguntungkan di internet. Peluang ini tidak boleh kita abaikan karena sambil browsing dan facebookan, kita bisa mendapatkan uang. Penjelasannya dapat dilihat di SINI.
Sumber:

Daftar Bacaan:

Syed Muhammad Naquib al-Attas (1993), Islam and Secularism, Kuala Lumpur, ISTAC, 1993
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Guru dan Dosen, Bandung: Fokusmedia, 2009
Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 2 Th. 1989) dan Peraturan Pelaksanaannya, Jakarta: Sinar Grafika, 1994