Sabtu, 04 Desember 2010

Metode Pendidikan dalam Hadis: Metode Mau'izhah

Oleh: Bukhari Umar
 Metode mau'izhah adalah  mengingatkan seseorang terhadap sesuatu yang dapat meluluhkan hatinya  dan sesuatu itu dapat berupa pahala maupun siksa, sehingga dia menjadi ingat.[1] Sehubungan dengan ini terdapat hadis:
عن عُمَرَ بْنَ أَبِي سَلَمَةَ يَقُولُ كُنْتُ غُلاَمًا فِي حَجْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَتْ يَدِي تَطِيشُ فِي الصَّحْفَةِ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا غُلاَمُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ فَمَا زَالَتْ تِلْكَ طِعْمَتِي بَعْدُ.[2] رواه البخارى
Umar bin Abi Salmah ra. berkata, “Dulu aku menjadi pembantu di rumah Rasulullah saw.. Ketika makan, biasanya aku mengulurkan tanganku ke berbagai penjuru. Melihat itu beliau berkata, ‘Hai ghulam, bacalah basmallah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah apa yang ada di dekatmu.
Riwayat di atas menyiratkan beberapa nilai tarbawiyah yang dapat kita terapkan dalam mendidik anak. Sehubungan dengan hadis ini, Najib Khalid al-Amir menjelaskan bahwa:
1.    Rasulullah saw. senantiasa menyempatkan untuk makan bersama anak-anak. Cara tersebut akan mempererat keterikatan batin antara seorang pendidik dengan anak didiknya. Dengan begitu, kita dapat meluruskan kembali berbagai kekeliruan yang mereka lakukan melalui dialog terbuka dan diskusi. Alangkah baiknya jika ibu dan bapak berkumpul dengan anak-anaknya ketika makan bersama, sehingga mereka merasakan pentingnya peran kedua orang tua. Hal ini juga dapat mempermudah meresapnya segala nasihat orang tua kepada anak-anaknya baik itu nasihat dalam hal perilaku, keimanan, atau pendidikan.
2.    Waktu yang beliau pilih pun sangat tepat. Beliau segera menegur ketika kekeliruan Umar bin Abi Salmah itu terjadi berulang-ulang sebelum kebiasaan tersebut menjadi kebiasaan sehari-hari. Jika dibiarkan, kekeliruan akan sulit diluruskan. Kalaupun dapat, kita membutuhkan waktu dan tenaga yang lebih banyak lagi. Karenanya, mengacu pada metode Rasulullah saw. di atas, kita harus sesegera mungkin meluruskan kebiasaan jelek anak ana kita. Model pendidikan ini wajib diambil sari patiny oleh para orang tua dan pendidik zaman sekarang.
3.    Sebagai seorang pendidik, Rasuluflah saw. memangglil anak dengan panggilan yang menyenangkan, seperti “wahai ghulam”. Abu Salmah pun menyenangi panggilan tersebut. Cara tersebut cukup efektif menarik perhatian anak sehingga mereka tidak kesulitan menerima nasihat. lronisnya, yang kita saksikan dewasa mi, jika melihat kekeliruan anak-anaknya, para orang tua marah besar sambil memanggil dengan sejelek-jelek nama. Hal itu menjadikan anak jauh dari orang tuanya dan nasihat akan sulit mereka terima.
4.    Rasulullah saw. tidak hanya meluruskan kesalahan Abu Salmah dalam hal berpindah-pindah tangan. Seluruh nasihat beliau ungkapkan, mulai dari adab duduk ketika makan. Berpedoman pada cara tersebut, para orang tua harus mencari sumber kekeliruan. Misalnya, ketika orang tua tahu bahwa penyebab anaknya merokok adalah pengaruh pergaulan dengan teman-temannya, orang tua bertugas mengambil rokok dan melarang anaknya membeli rokok serta bergaul dengan teman-ternan yang membawa pengaruh jelek itu, Mudah-mudahan setelah itu para orang tua tak melihat lagi kenakalan anaknya.
5.    Susunan nasihat yang tepat pun harus diperhatikan. Rasulullah sendiri melalui hadis di atas telah memberikan contoh. Susunan yang akurat dan ilmiah sangat membantu upaya meluruskan kesalahan. Dalam nasihatnya, Rasulullah saw. menyatukan hati ghulam dengan Rabb-nya ketika memulai bersantap dengan menyuruhnya membaca basmalah. Cara tersebut merupakan pengarahan yang fitrah bagi otak anak untuk mencintai Allah SWT sekaligus memberikan pengertian bahwa Dialah yang memberikan rezeki makanan, tanpa Dia pastilah kita akan mati kelaparan dan kehausan. Dengan begitu, kecintaan mereka kepada Allah akan bertambah. Saat mereka rnulai mencintai Rabb, saat itu pula tertancaplah dalam pikiran dan benak mereka kesiapan menerima segala apa yang diserukan Allah SWT. Dengan begitu, para pendidik telah berhasil menyambungkan tali penghubung antara anak didik dengan Penciptanya.[3]
Abdurrahman An-Nahlawi mengemukakan bahwa dari sudut psikologi dan pendidikan, pemberian nasihat itu menimbulkan beberapa hal, yaitu: (1). Membangkitkan perasaan-perasaan ketuhanan yang telah dikembangkan dalam jiwa setiap peserta didik melalui dialog, pengamalan ibadah, praktik, dan metode lainnya, (2). Membangkitkan keteguhan untuk senantiasa berpegang pada pemikiran ketuhanan yang sehat, (3). Membangkitkan keteguhan untuk berpegang pada jamaah yang beriman, dan (4). Penyucian dan pembersihan diri yang merupakan salah satu tujuan utama dalam pendidikan Islam.[4]
Memberikan mau'izhah/nasihat merupakan pekerjaan penting dan sering efektif dalam pendidikan Islam. Akan tetapi, banyak orang yang tidak menggunakannya, bahkan juga orang tua. Seyogianya, pendidik banyak menggunakan ibrah/nasihat yang menyentuh, menyejukkan hati dan menggugah emosi peserta didik seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

 Di samping mempelajari tafsir dan hadis, kita juga dapat belajar berbisnis praktis untuk memperoleh penghasilan tambahan. Ingin tahu? Klik di SINI.


 





[1]Lihat, Abdurrahman An-Nahlawi, Op.cit., h. 289
[2] Al-Bukhariy, Op.cit., Juz 3, h. 2224
[3]Al-Amir, Najib Khalid, Tarbiyah Rasulullah, terj. Ibnu Muhammad dan Fakhruddin Nursyam, cet. ke-3, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 32-34
[4]Lihat. Abdurrahman An-Nahlawi, Op.cit., h. 293-294

Metode Pendidikan dalam Hadis: Metode Pengulangan dan Latihan



Oleh: Bukhari Umar

Metode pengulangan adalah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ وَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَرَجَعَ يُصَلِّي كَمَا صَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ ثَلَاثًا فَقَالَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِي فَقَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا وَافْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا.[1] رواه البخارى
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW masuk masjid, maka masuklah seorang laki-laki dan melakukan shalat, lalu ia memberi salam kepada Nabi SAW dan beliau pun menjawab salamnya seraya bersabda. “Kembali dan shalatlah, karena sesungguhnya engkau belum shalat.” Kemudian ia datang memberi salam kepada Nabi SAW, dan beliau bersabda. Kemba1i dan salatlah, karena sesungguhnya engkau belum shalat” (tiga kali). Laki-Iaki itu berkata, ‘Demi Zat yang mengutusmu dengan benar, aku tidak dapat melakukan yang lebih baik darinya. maka ajarilah aku. Beliau SAW bersabda, “Apabila engkau berdiri untuk shalat maka hertakbirlah, kemudian bacalah apa yang mudah bugimu dari Alquran, lalu rukuklah hingga engkau tuma‘ninah (tenang) dalam rukuk. Kemudian bangkitlah hingga engkau berdiri lurus. Kemudian sujudlah hingga engkau tuma‘ninah dalam sujud, lalu bangkitlah hingga engkau tuma‘ninah dalam duduk. Lakukun yang demikiun itu pada seluruh shalatmu.
Hadis di atas menginformasikan beberapa hal, di antaranya: (1) Nabi saw. melihat seorang laki-laki mendirikan salat dalam masjid, (2) Setelah salat, laki-laki itu datang kepada Nabi dan mengucapkan salam dan Nabi menjawabnya, (3) Nabi menyuruhnya mengulang salatnya karena belum benar, (4) Laki-laki itu mengulang salat dengan cara seperti pertama kali, (5) Nabi menyuruh ulang lagi sampai tiga kali, (6) Laki-laki itu mengulang salatnya sampai tiga kali pula. (7) Sesudah itu, laki-laki itu mengaku bahwa ia tidak mampu lagi melakukan salat lebih baik daripada itu dan meminta Nabi mengajarnya, dan (8) Nabi mengajarkan kaifiat salat yang benar. Di sini, Rasulullah saw. tidak langsung mengajar sahabat bagaimana tatacara salat yang benar, tetapi menyuruhnya terlebih dulu secara berulang-ulang. Dalam kasus ini terlihat prinsip metode pengulangan yang digunakan oleh Rasulullah saw. Dengan digunakannya oleh Rasulullah saw.  metode pengulangan ini, sahabat terkesan dan harus bersungguh-sungguh dan berhati-hati memperhatikan apa yang akan diajarkan oleh Rasulullah saw. Hal ini diperlukan agar materi yang diajarkan memberikan kesan yang kuat dalam memori orang yang diajar.
Pengajaran memerlukan banyak pengulangn. Pengulangan bahan yang telah dipelajari akan memperkuat hasil belajar. Kenyataan tersebut telah dibuktikan oleh para ahli psikologi pendidikan modern seperti konsep teori “Conditional Stimuli and Responses” sebagai natijah dari exsperiment Pavlov.[2] Syaibany juga menyatakan bahwa Alquran banyak melakukan pengulangan yang dapat dijadikan dalil untuk memperkuat perlunya prinsip pengulangan ini dipertimbangkan.[3] Pengulangan dalam proses belajar mengajar berlandaskan kepada dua hal. Pertama, individu pada umumnya berkecenderungan meniru orang lain, apalagi orang yang ditiru cukup berpengaruh ( misalnya karena faktor identifikasi dan simpatik). Kedua peniruan dan pengulangan memperhatikan efektivias yang tinggi. Nabi Muhammad ketika menerima wahyu yang pertama dalam keadaan “meniru dan mengulang” apa yang disampaikan oleh Jibril.
Dalam pelaksanaannya, pengulangan dapat dilakukan sebelum pemberian materi pelajaran dan dapat pula sesudah penyampaian bahan pelajaran. Pengulangan yang dilakukan sebelum penyampaian materi pelajaran dimaksudkan untuk mengetahui tingkat penguasaan peserta didik  sehubungan dengan materi yang akan diajarkan dan dapat pula untuk meningkatkan daya konsentrasi peserta didik  terhadap materi yang akan diajarkan. Pengulangan yang dilakukan setelah pemberian materi dimaksudkan untuk mempertinggi penguasaan peserta didik  terhadap materi pelajaran yang sudah diterima.
Dalam hadis di atas, Rasulullah saw. menggunakan pengulangan sebelum mengajarkan kaifiat salat. Dengan metode ini, sahabat yang bersangkutan memiliki minat dan konsentrasi yang tinggi terhadap materi pelajaran yang akan diajarkan oleh Nabi.
Pengulangan tawaran opini atau pemikiran tertentu kepada seseorang biasanya akan menyebabkan opini atau pemikiran tersebut tertanam kuat di dalam benaknya. Beberapa studi para psikolog modern mengungkapkan pentingnya pengulangan dalam proses belajar.[4] Pengulangan dapat meningkatkan perhatian seseorang terhadap objek yang diulangkan. Perhatian ini sangat dibutuhkan dalam proses belajar.
Perhatian merupakan faktor penting dalam belajar, menimba pengetahuan, dan memperoleh ilmu. Jika seseorang tidak memerhatikan, misalnya, suatu perkuliahan, ia tidak akan dapat memahami informasi-informasi yang terdapat dalam perkuliahan itu. Lebih jauh lagi, ia tidak akan dapat mempelajari dan mengingat perkuliahan itu untuk selanjütnya. Oleh karena itu,  para pengajar dan pendidik selalu berusaha membangkitkan perhatian siswa-siswa agar mereka dapat menyerap, memahami dan mempelajari pelajaran.
Nabi sendiri telah mengkhususkan waktu tiga tahun berturut-turut untuk menanamkan perintah penting dalam Islam, yaitu perintah salat. Betapa pentingnya kedudukan salat itu dapat dipahami dari firman Allah dalam A1quran disebutkan, “Perintahkanlah  keluargamu mengerjakan salat dan hendaklah bersabar melaksanakannya.”[5] Mendidik anak mengerjakan salat membutuhkan kesabaran dan perintah yang berulang-ulang. Setiap waktu salat masuk, orang tua harus menyuruh anaknya mengerjakan salat. Orang tua tidak boleh bosan dalam melaksanakan kewajiban ini.
Menurut Ali Al-Jumbulati, psikologi modern memandang bahwa pengulangan itu merupakan salah satu metode belajar yang baik, karena dapat memperbaiki pengetahuan pada tahap permulaannya yang sesuai dengan teori- kemampuan menangkap pengertian manusia terhadap obyek pengamatan (seperti telah diuraikan dalam teori Gestalt).[6]

عَنْ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أَنَّ رَجُلاً تَوَضَّأَ فَتَرَكَ مَوْضِعَ ظُفُرٍ عَلَى قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ فَرَجَعَ ثُمَّ صَلَّى.[7] رواه البخارى
Umar ibn Khattab meriwayatkan bahwa seorang laki-laki berwuduk lalu ia meninggalkan membasuh tumitnya selebar kuku. Hal itu dilihat oleh Nabi SAW. Lalu, beliau bersabda: Ulangilah dan perbaiki wudukmu. Seterusnya, laki-laki itu mengulang wuduknya lalu mengerjakan salat.
Dalam hadis ini, Rasulullah saw. mengajarkan cara berwuduk setelah melihat ada rukun wuduk sahabat yang tidak sempurna. Beliau menyuruh sahabat itu mengulangi wuduknya.
Metode praktik langsung dan pengulangan ini sangat penting dalam pembelajaran agama Islam terutama masalah ibadah agar peserta didik mampu memahami dan melaksanakan sesuai dengan kaifiyat yang benar. Tanpa praktik dan pengulangan, ilmu pengetahuan yang diperoleh oleh peserta didik tidak aplikatif dan tidak fungsional.


[1] Al-Bukhariy, Op.cit., Juz 1, h. 297
[2]Lihat, James V. Mc Connel, dalam Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: kalam Mulia, 1990), h. 95
[3]Lihat, Omar Mohammad Al-Thoumy Al-Syaibani,, Falsafah Pendidikan Islam, Terjemahan Hasan Langgulung, (Jakarta, Bulan Bintang, 1979), h. 610
[4] Lihat, Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Quran Terapi Qurani dalam Penyembuhan Gangguan Kejiwaan, Judul Asli "Al-Qur'ân wa 'Ilm al-Nafs" Terejemahan M. Zaka Al-Farisi, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), cet. ke-1, h. 282
[5]QS. Thâhâ: 132
[6] Lihat, Ali Al-Jumbulati, Op.cit.,  h. 200
[7]Ahmad Ibn Hanbal, Op.cit., Juz 1, h. 140

Metode Pendidikan dalam Hadis: Metode Targhib dan Tarhib


Oleh: Bukhari Umar

Targhib adalah janji yang disertai bujukan dan rayuan untuk menunda kemaslahatan, kelezatan, dan kenikmatan. Namun, penundaan itu bersifat pasti, baik dan murni sertà dilakukan melalui amal saleh atau pencegahan diri dari kelezatan yang membahayakan (pekerjaan buruk). Yang jelas, semua dilakukan untuk mencari keridaan Allah dan itu merupakan rahmat dari Allah bagi hamba-hamba-Nya.[1]
Rasulullah SAW. banyak menggunakan targhib dalam mendidik sahabat (umat)nya. Di antaranya dapat dilihat dalam hadis berikut ini.
عَنْ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ.[2] رواه الترمذى
Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: Siapa yang membaca satu huruf Alquran mendapat pahala satu kebaikan. Satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh. Saya tidak mengatakan “Alif Lam Mim” itu satu huruf. Akan tetapi, alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.
عَنْ سَلْمَانَ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ كَمَا أُمِرَ ثُمَّ يَخْرُجُ مِنْ بَيْتِهِ حَتَّى يَأْتِيَ الْجُمُعَةَ وَيُنْصِتُ حَتَّى يَقْضِيَ صَلاَتَهُ إِلاَّ كَانَ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ.[3] رواه النسائى
Dari Salman, ia berkata Rasulullah saw. berkata kepadaku, Setiap orang yang menyucikan diri pada hari Jumat sebagaimana diperintahkan, kemudian keluar dari rumahnya untuk menghadiri salat Jumat, ia diam sampai selesai salat akan diampuni dosanya sejak Jumat yang lalu.
Untuk menumbuhkan semangat dan minat yang tinggi dalam mengerjakan ibadah (membaca Alquran dan mendirikan salat Jumat), Rasulullah saw. menggunakan metode targhîb. Dengan metode ini, beliau menggugah dan menimbulkan rasa senang pada diri peserta didik (sahabat) untuk melakukan sesuatu. Beliau menyampaikan informasi yang menyenangkan hati berupa janji pahala dari Allah untuk orang yang mengerjakan suatu kegiatan.
Tarhib adalah ancaman atau intimidasi melalui hukuman yang disebabkan oleh terlaksananya sebuah dosa, kesalahan, atau perbuatan yang telah dilarang Allah. Selain itu juga karena menyepelekan pelaksanaan kewajiban yang telah diperintahkan Allah.[4] Tarhib pun dapat diartikan sebagai ancaman dari Allah untuk menakut-nakuti hamba-hamba-Nya melalui penonjolan kesalahan atau penonjolan salah satu sifat keagungan dan kekuatan ilahiah agar mereka teringatkan untuk tidak melakukan kesalahan dan kemaksiatan. Sehubungan dengan ini tersapat hadi antara lain:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ رُخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللَّهُ لَهُ لَمْ يَقْضِ عَنْهُ صِيَامُ الدَّهْرِ.[5] رواه البخارى وأبو داود والترمذى
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, Siapa yang berbuka satu hari pada bulan Ramadan tanpa rukhsah yang diberikan Allah tidak dapat mengqada puasanya itu walaupun ia berpuasa sepanjang masa.
Pada bulan Ramadan, semua orang yang beriman diwajibkan mengerjakan puasa. Hanya orang-orang yang memiliki alasan tertentu saja yang boleh meninggalkannya, seperti: sakit, bepergian, hamil, menyusui dan lanjut usia. Orang yang tidak memiliki alasan tersebut tidak dipekenankan untuk tidak berpuasa. Karena begitu besarnya dosa bagi yang melanggar ketentuan ini, maka dalam hadis ini Rasulullah SAW.  mengancam orang-orang yang meninggalkan puasa tersebut dengan ancaman yang berat, yaitu tidak dapat mengganti satu hari puasa yang ditinggalkannya itu walaupun ia berusaha untuk membayarnya seumur hidup. Dengan demikian,  Rasulullah SAW. menggunakan tarhib (ancaman) dengan maksud agar orang beriman itu tidak ada yang melanggar perintah Allah.
عَنْ أُمِّ أَيْمَنَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَتْرُكِ الصَّلاَةَ مُتَعَمِّداً فَإِنَّهُ مَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ مُتَعَمِّداً فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ.[6] رواه أحمد
Ummu Aiman meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: Janganlah kamu meninggalkan salat dengan sengaja karena orang yang meninggalkan salat dengan sengaja terlepas dari naungan Allah dan rasul-Nya.
Ibadah salat merupakan kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar, kendatipun teknik pelaksanaannya dapat bervariasi sesuai dengan tingkat kemampuan pelaksananya. Namun, banyak juga orang yang dengan mudah meninggalkannya. Agar umat tidak mudah meninggalkan salat, dalam hadis ini Rasulullah SAW. mengancam dengan ancaman bahwa orang yang sengaja meninggalkan salat, tanpa alasan yang benar, akan terlepas dari naungan dan perlindungan Allah.
Rasulullah SAW melakukan cara belajar seperti diajarkan dalam Alquran. Selain membujuk manusia, beliau juga menggunakan ancaman untuk membangkitkan motivasi manusia supaya taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Ancaman juga memotivasi manusia untuk menjalankan ibadah dan menguatkan tanggung jawab terhadap agamanya (taklif), menjauhi maksiat serta segala sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Penggunaan bujukan dan ancaman secara bersamaan mempunyai pengaruh yang lebih efektif daripada menggunakan salah satu di antara keduanya. Sebab menggunakan bujukan saja, menurut Najati akan menjadikan manusia terlalu berharap banyak untuk meminta ampunan dari Allah SWT dan terlalu tinggi berangan-angan untuk masuk surga. Bahkan cenderung untuk bersikap pasrah dan banyak meninggalkan sebagian rewajiban agama. Ancaman saja akan menjadikan manusia bersikap pesimis pada rahmat-Nya sehingga harapan untuk menggapai surga akan lenyap. Konsekuensinya mereka akan meninggalkan kewajiban agama, bahkan terjebak dalam perbuatan maksiat. Berharap secara berlebiban dan bersikap pasrah yang berlebihan merupakan sikap yang berbahaya.[7]
Berdasarkan hadis-hadis di atas, pendidik Islam seyogianya menggunakan metode targhib dan tarhib ini secara berimbang. Jangan hanya menggunakan targhib saja sedangkan tarhib diabaikan. Jangan pula sebaliknya. Mana yang lebih besar vorsinya dapat ditentukan setelah melihat karakter peserta didik. Bila respon peserta didik lebih positif terhadap metode targhib, maka pendidik lebih banyak menggunakannya daripada metode tarhib. Begitu juga sebaliknya.


[1]Abdurrahman Al-Nahlawi, Op.cit., h. 296
[2] Al-Tirmiziy, Op.cit., Juz 4, h. 248
[3] Al-Nasa'iy, Sunan Nasa'iy, Juz 5, h. 285 dalam Al-Maktabah al-Syamilah
[4] Ibid.
[5] Al-Bukhariy, Op.cit., Juz 1, h. 737
[6] Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, Juz 59, h. 347 dalam Al-Maktabah al-Syamilah
[7]Muahmmad Utsman Najati, Op.cit., h. 180-181

Metode Pendidikan dalam Hadis: Metode Ceramah dan Dialog



Oleh: Bukhari Umar

Menurut Zuhairini dkk., metode ceramah “Adalah suatu metode di dalam pendidikan di mana cara penyampaian materi-materi pelajaran kepada anak didik dilakukan dengan cara penerangan dan penuturan secara lisan.[1] Sejak zaman Rasulullah, metode ceramah merupakan cara yang paling awal yang dilakukan Rasulullah Saw. dalam menyampaikan wahyu kepada umat. Karakteristik yang menonjol dari metode ceramah adalah peranan guru tampak lebih dominan. Sementara siswa lebih banyak pasif dan menerima apa yang disampaikan oleh guru.  Sehubungan dengan metode ceramah ditemukan hadis antara lain:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الِاسْتِغْفَارَ فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقَالَتْ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَةٌ وَمَا لَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَمَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغْلَبَ لِذِي لُبٍّ مِنْكُنَّ .[2] رواه البخارى
Dari Abu Said Al Khudri RA; “Rasulullah SAW keluar pada hari raya Adha atau Fitri ke mushalla. Kemudian beliau berbalik lalu menasihati manusia dan memerintahkan mereka untuk bersedekah. Beliau SAW bersabda, “Wahai sekalian manusia, bersedekahlah!” Lalu beliau melewati kaum wanita dan bersabda, Wahai sekalian wanita. bersedekahlah, karena sesungguhnya aku melihat kalian banyak yang menjadi penghuni neraka!” Mereka berkata, “Mengapa demikian, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, Kalian banyak melaknat, mengingkari (kebaikan) pasangan. Aku tidak pernah melihat  orang yang kurang akal dan agamanya
menghilangkan akal seorang laki-laki yang teguh daripada salah seorang di antara kalian
.
Hadis ini menginformasikan bahwa Rasulullah saw. memberikan ceramah kepada para wanita dengan materi anjuran bersedekah. Setelah beliau menyampaikan materi ceramah, sahabat wanita bertanya, meminta penjelasan lebih lanjut kepada Rasulullah SAW. Dengan demikian,  Rasulullah SAW. menggunakan metode ceramah dan dialog dalam menyampaikan pesan-pesan mauizhah kepada para sahabat.
Ada beberapa kebaikan metode ceramah sebagai salah satu metode pembelajaran.
Menurut Armai Arief, ada beberapa kelebihan metode ceramah yaitu:
(1). Suasana kelas berjalan dengan tenang karena murid melakukan aktivitas yang sama, sehingga guru dapat mengawasi murid sekaligus secara komprehensif, (2). Tidak membutuhkan tenaga yang banyak dan waktu yang lama, dengan waktu yang singkat murid dapat menerima pelajaran sekaligus secara bersamaan, (3). Pelajaran bisa dilaksanakan dengan cepat, karena dalam waktu yang sedikit dapat diuraikan bahan yang banyak, dan (4). Melatih para pelajar untuk menggunakan pendengarannya dengan baik sehingga mereka dapat menangkap dan menyimpulkan isi ceramah dengan cepat dan tepat.[3]
Untuk mengantisipasi kepasifan dan kejenuhan peserta didik karena metode ceramah, pendidik perlu mengkombinasikan metode ini dengan metode-metode lain yang relevan. Bila kita mengambil pelajaran dari hadis di atas, maka terlihat bahwa Rasulullah SAW. melengkapi ceramahnya dengan metode dialog/tanya jawab.


[1]Zuhairni dkk., Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1983), cet. ke-8, h. 83
[2]Al-Bukhariy, Op.cit., Juz 1, h. 567
[3]Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), cet. ke-1, h. 139

Metode Pendidikan dalam Hadis: Metode Perumpamaan


Oleh: Bukhar Umar

Perumpamaan berarti pemberian contoh, yaitu menuturkan sesuatu guna menjelaskan suatu keadaan yang selaras dan serupa dengan yang dicontohkan, lalu menonjolkan kebaikan dan keburukan yang tersamar.[1] Sehubungan dengan ini ditemukan hadis antara lain:
عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْأُتْرُجَّةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ لَا رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ لَيْسَ لَهَا رِيحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ. رواه البخارى ومسلم وأبو داود والترمذى والنسائى.
Abu Musa al-Asy’ari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Perumpamaan seorang mukmin yang membaca Alquran adalah bagaikan ‘al-Utrujjah’. Aromanya harum dan rasanya enak. Perumpamaan seorang mukmin yang tidak membaca Alquran adalah bagaikan ‘tamar, kurma’. Aromanya tidak ada dan rasanya manis. Perumpamaan seorang munafiq yang membaca Alquran adalah bagaikan ‘ar-Raihanah’. Aromanya harum dan rasanya pahit. Perumpamaan seorang munafiq yang tidak membaca Alquran adalah bagaikan ‘al-Hanzhalah’. Aromanya tidak ada dan rasanya pahit.
Dalam hadis ini terdapat empat golongan manusia bila dihubungkan dengan Alquran, yaitu:
(1) Golongan yang hatinya dipenuhi oleh iman. Iman mengalir ke sekujur anggota tubuhnya. Ia yakin kepada Allah, beriman kepada Rasul, membenarkan Alquran, mengamalkan agama, menjadikan dirinya bagian dari Alquran, membacanya pada malam dan siang hari ketika berdiri, duduk, rukuk, dan sujud. Kapan saja ada kesempatan untuk membacanya, selalu ia manfaatkan, sehingga hatinya tidak berpaling dari mengingat Allah dan syetan tidak dapat mengganggunya. Bacaannya tidak sekadar di lidah. Akan tetapi, hatinya juga membaca sehingga membuahkan rasa takut dan mendapat petunjuk, melahirkan amal kebajikan dan teguh pendirian.
(2) Golongan yang beriman kepada Alquran, menerapkan hukumnya, mengikuti petunjuknya, menerapkan akhlaknya tetapi tidak membaca dan menghafal Alquran. Ini bagaikan kurma yang manis tetapi aromanya tidak ada.
(3) Orang jahat (munafiq) yang tidak memiliki iman kecuali sekadar sebutan, tidak memiliki agama kecuali merek, ia membaca Alquran, menghafalnya dengan baik, meyakini syariatnya, mengenal bacaannya, membaguskan lafal dan iramanya, tetapi bacaannya itu tidak melampaui kerongkongannya. Bila engkau mengujinya, engkau akan tahu bahwa hatinya busuk dan gelap, akhlaknya jelek, perbuatannya berbahaya. Inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dengan "al-Rihanah". Bila Anda cium, aromanya harum, tetapi bila Anda makan, rasanya jelek. Hatinya cenderung kepada yang jelek. Anda akan merasakan jeleknya bila Anda bergaul dengannya. Tidak ada pengaruh Alquran terhadap dirinya karena kejahatannya telah menutup hatinya dan nasihat orang lain tidak berguna baginya.
(4) Orang jahat (munafiq) yang tidak ada hubungannya dengan Alquran. Ia tidak berilmu tentang Alquran, tidak mengamalkannya, tidak membaca dan tidak menghafalnya. Orang ini disamakan oleh Rasulullah SAW. dengan "al-hanzhalah" yang tidak beraroma dan rasanya pahit.
Analisis Kependidikan:
1.    Rasulullah saw. mengemukakan perbandingan kualitas manusia dengan buah-buahan yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat dalam kehidupan manusia. itu sekaligus merupakan alternatif bagi manusia untuk menempatkan dirinya;
2.    Dalam mendidik umat, Rasulullah menggunakan pendekatan rasional dan fungsional. Dengan pendekatan rasional, manusia diajak berpikir dalam membedakan mana yang terbaik, mana yang kurang baik dan mana yang paling jelek. Dengan pendekatan fungsional, Rasulullah memperkenalkan kepada manusia manfaat yang diperoleh oleh seseorang bila dia memilih sesuatu yang baik dan apa kejelekan dan kerugian yang akan timbul bila seseorang memilih sesuatu yang jelek.
3.    Iman yang benar perlu dibuktikan dengan amal yang saleh. Amal yang baik perlu dilandasi oleh iman yang benar. Keserasian keduanya yang dapat mengangkat derajat manusia di sisi Allah. Mengambil salah satunya saja tidak dapat menjamin kualitas umat yang beriman.
Abdurrahman An-Nahlawi menjelaskan bahwa metode perumpamaan qurani dan nabawi memiliki tujuan psikologis-edukatif, yaitu: (1) memudahkan pemahaman mengenai suatu konsep, (2) mempengruhi emosi yang sejalan dengan konsep yang diumpamakan dan untuk mengembangkan aneka perasaan ketuhanan, (3) membina akal untuk terbiasa berpikir secara valid dan analogis, dan (4) mampu menciptakan motivasi yang menggerakkan aspek emosi dan mental manusia.[2]
Setelah memperhatikan tujuan dan dampak yang ingin diperoleh di atas, sebaiknya pendidik menggunakan metode perumpamaan ini dalam pendidikan Islam. Perumpamaan yang terbaik adalah perumpamaan qurani dan nabawi, yaitu perumpamaan yang terdapat dalam Alquran dan hadis.


[1]Lihat, Abdurrahman An-Nahlawi, Op.cit., h. 251
[2]Lihat, Abdurrahman An-Nahlawi, Op.cit., h. 254-259

Metode Pendidikan dalam Hadis: Metode Dialog/Tanya Jawab


Oleh: Bukhari Umar

Metode Tanya jawab ialah penyampaian pelajaran dengan cara guru mengajukan pertanyaan dan murid menjawab. Atau suatu metode di dalam pendidikan dimana guru bertanya sedangkan murid menjawab tentang materi yang ingin diperolehnya.[1] Pengertian lain dari metode tanya jawab adalah cara penyajian pelajaran dalam bentuk pertanyaan yang harus  dijawab, terutama dari guru kepada murid atau dapat juga dari murid kepada guru.[2] Sekaitan dengan ini terdapat hadis antara lain:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ.[3] رواه البخارى
Abu hurairah meriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. lalu berkata: “Ya Rasulullah ! Siapa orang yang paling berhak (pantas) mendapat perlakuan baikku? Rasulullah menjawab: ‘Ibumu’. Laki-laki itu berkata lagi: ‘siapa lagi’? Rasulullah menjawab: ‘kemudian ibumu’. Laki-laki itu bertanya lagi: ‘kemudian siapa  lagi’? Rasulullah menjawab: ‘ibumu’. Laki-laki itu berkata lagi (untuk kali yang keempat): ‘kemudian siapa lagi’? Rasulullah menjawab: ‘sesudah itu bapakmu'.
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ...هَلْ تَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ قَالَ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ثُمَّ سَارَ سَاعَةً قَالَ يَا مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ قَالَ هَلْ تَدْرِي مَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ إِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ قَالَ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَنْ لاَ يُعَذِّبَهُمْ.[4] رواه مسلم
Mu’az bin Jabal meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: … “Apakah kamu tahu, apa hak Allah terhadap hamba-Nya? Mu’az menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu’.  Rasulullah berkata: ‘sesungguhnya hak Allah terhadap hamba adalah hamba menyembah-Nya dan tidak mempersyerikatkan suatu pun dengan-Nya. Kemudian, Rasulullah berjalan sesaat, lalu berkata: ‘Hai Mu’az bin Jabal! Saya menjawab: ‘saya selalu siap untukmu ya Rasulullah. Beliau bertanya: ‘Apakah kamu tahu hak hamba terhadap Allah apabila mereka melakukan itu (menyembahnya dan tidak mempersyerikatkan suatu pun dengan-Nya)’? Saya menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu’. Beliau bersabda: ‘tidak mengazab mereka’.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّار[5]ِ. رواه مسلم
Abu hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tahukah kamu apa yang dimaksud dengan ‘al-muflis’ (bangkrut)? Sahabat menjawab: ‘al-muflis di kalangan kami adalah orang yang tidak memiliki uang dan harta benda’. Rasulullah berkata: ‘Sesungguhnya al-muflis (orang yang bangkrut) di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat membawa pahala salat, puasa dan zakat. Selain itu, ia juga memfitnah orang lain, menuduh orang lain (berbuat maksiat), memakan harta orang lain (dengan cara tidak halal), menumpahkan darah dan memukul orang lain. Lalu, masing-masing kesalahan itu ditebus dengan kebaiakan (pahala) nya. Setelah kebaikan (pahala)nya habis sebelum kesalahannya terselesaikan, maka dosa orang yang dizaliminya itu dilemparkan kepadanya, kemudian ia dilemparkan ke dalam neraka’.
 Ketiga hadis di atas memuat informasi bahwa Rasulullah saw. menggunakan metode dialog dalam mendidik/mengajar sahabatnya. Dialog ada yang diawali dengan pertanyaan sahabat kepada Nabi dan adpula yang diawali dengan pertanyaan Rasulullah kepada sahabat.
Metode dialog/tanya jawab/hiwar ini baik digunakan dalam pembelajaran karena beberapa keuntungan. Keuntungan tersebut adalah: (1). Situasi kelas akan hidup karena anak-anak aktif berfikir dan menyampaikan buah pikirannya, (2). Melatih anak agar berani mengungkapkan pendapatnya, (3). Timbulnya perbedaan pendapat di antara anak didik akan menghangatkan proses diskusi, (4). Mendorong murid lebih aktif dan bersungguh-sungguh, (5). Walau agak lambat, guru dapat mengontrol pemahaman atau pengertian murid pada masalah-masalah yang dibicarakan.[6] (6). Pertanyaan dapat membangkitkan anak menilai kebenaran sesuatu, (7). Pertanyaan dapat menarik perhatian anak, (8). Pertanyaan dapat melatih anak untuk mengingat, (9). Pertanyaan dapat memusatkan perhatian siswa,[7] dan (10). mengembangkan keberanian dan keterampilan siswa dalam menjawab dan mengemukan pendapatnya.[8]
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa metode tanya jawab/dialog/hiwar yang sudah digunakan oleh Rasulullah SAW. 14 abad yang lalu ternyata sesuai dan diakui oleh pakar pendidikan modern. Pendidik muslim tidak perlu ragu-ragu lagi untuk menggunakannya. Kendatipun demikian, kepiawaian seorang guru sangat diperlukan untuk mengantisipasi kegagalan karena tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan pembelajarannya.


[1]Lihat, Zuhairini, dkk., Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1983), cet. ke-8, h. 86
[2]Lihat, Syaiful Bahri Djamarahdan Aswan Jaini, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Rineka Cipta, t.th.), Cet. ke-1, h. 107
[3]Al-Bukhariy, Op.cit., Juz 4, h. 2433
[4]Muslim, Op.cit., Juz 1, h. 58
[5]Ibid., Juz 4, h. 1997
[6]Lihat, Zuhairini, Op.cit., h. 87
[7]Lihat, I.L. Pasaribu & B. Simanjuntak, Op.cit., h. 96
[8]Lihat, Armai Arief, Op.cit., h. 143

Metode Pendidikan dalam Hadis: Metode Pembiasaan dan Hukuman


Oleh: Bukhari Umar

1.    Metode Pembiasaan
Sehubungan dengan penggunaan metode pembiasaan dalam pendidikan dapat dilihat antara lain dari hadis riwayat Ahmad dari Abi Syu'aib, Ahmad dari Sabrah al-Juhani, dan Abu Daud dari Abi Syu'aib:
عن عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: مُرُوا أَبْنَاءَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ .[1]  رواه أحمد
Dari 'Amr ibn Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya, Rasulullah saw. berkata: “Suruhlah anakmu mendirikan salat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah mereka karena meninggalkannya ketika ia berumur sepuluh tahun. (Pada saat itu), pisahkanlah tempat tidur mereka.
Hadis di atas menginformasikan beberapa hal, yaitu: (1) orang tua harus menyuruh anak mendirikan salat mulai berumur tujuh tahun, (2) setelah berumur sepuluh tahun ternyata anak meninggalkan salat, maka orang tua boleh memukulnya, dan (3) pada usia sepuluh tahun itu juga, tempat tidur anak harus dipisahkan antara laki-laki dan perempuan, antara anak dan orang tuanya.
Kemampuan menunaikan ibadah salat merupakan salah satu keterampilan. Menurut Muhibbin Syah, belajar keterampilan adalah belajar dengan menggunakan gerakan-gerakan motorik yakni yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot neuromuscular. Tujuannya adalah memperoleh dan menguasai keterampilan jasmaniah tertentu. Dalam belajar jenis ini, latihan-latihan intensif dan teratur amat diperlukan. Termasuk belajar dalam jenis ini misalnya belajar olah raga, musik, menari, melukis, memperbaiki benda-benda elektronik dan juga sebagian materi pelajaran agama, seperti ibadah salat dan haji.[2]
Belajar kebiasaan adalah proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru atau perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Belajar kebiasaan, selain menggunakan perintah, suri teladan dan pengalaman khusus, juga menggunakan hukuman dan ganjaran. Tujuannya agar siswa memperoleh sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan, perbuatan baru yang lebih tepat dan positif dalam arti selaras dengan kebutuhan ruang dan waktu (kontekstual).
Dari segi hukum, anak yang berusia tujuh tahun belum termasuk mukallaf.[3] Di antara usia tujuh tahun dan mukallaf itu terdapat masa lebih kurang tujuh atau delapan tahun. Dengan demikian dapat dipahami bahwa Rasulullah menyuruh anak usia tujuh tahun mendirikan salat dengan maksud membiasakan mereka agar setelah mukallaf nanti, anak tidak merasa keberatan untuk melakukannya. Sesuai dengan peribahasa "Alah bisa karena biasa" yang berarti: segala kesukaran dan sebagainya tidak lagi terasa sesudah terbiasa.[4] Maksud peribahasa ini adalah  pekerjaan yang pada awalnya sulit dan memberatkan akan terasa mudah dan ringan apabila sudah dikerjakan berulang kali sehingga menjadi kebiasaan.
Orang tua diperintahkan mendidik anak mengerjakan salat setelah berusia tujuh tahun. Hal itu dilakukan untuk mempermudah proses pendidikan. Hal ini sesuai dengan syarat-syarat penggunaan pembiasaan yang dikemukakan oleh Armai Arief. Menurutnya, Pembiasaan itu dimulai sebelum terlambat, dan hendakah dilakukan secara kontiniu, teratur dan berprogram.[5]
Selain itu, hadis di atas juga mengisyaratkan bahwa pendidikan salat dilakukan kepada anak secara bertahap. Sewaktu berusia tujuh tahun, anak disuruh mendirikan salat, tetapi belum boleh dipukul/dihukum bila meninggalkan salat sampai berumur sepuluh tahun. Itu berarti bahwa pembiasaan salat dilakukan secara bertahap, tidak sekaligus. Kebertahapan pembiasaan ini sesuai pula dengan kodrat manusia yang diciptakan Allah secara bertahap. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah:
لَتَرْكَبُنَّ طَبَقًا عَنْ طَبَقٍ. (الإنشقاق، 84: 19)
Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan).[6]
Ketika menafsirkan ayat di atas, Ahmad Musthafa al-Marâghi mengemukakan bahwa kamu akan melalui urusan demi urusan, kondisi demi kondisi sampai kembali tetap pada Tuhanmu, baik di sorga maupun di neraka. Termasuk dalam hal ini semua tahapan yang dilalui oleh manusia sejak kondisi “nuthfah” dalam rahim ibu sampai menjadi satu pribadi dan apa yang dilalui oleh manusia dalam kehidupan sejak masa kanak-kanak sampai tua kemudian mati, dihimpun, dihisab, terakhir dimasukkan ke dalam sorga atau neraka.[7]
Berdasarkan penafsiran ayat di atas, pembiasaan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak dalam mengerjakan salat harus dilaksanakan secara bertahap dan disiplin. Sbagai contoh dapat dikemukakan sebuah model pentahapan. Orang tua (ayah, ibu, wali) membiasakan anak usia tujuh tahun mengerjakan salat magrib. Anak harus mengerjakan salat magrib secara disiplin, sedangkan salat yang lain belum disuruh kecuali bila anak yang mau karena keinginan sendiri. Salat magrib ini tidak boleh tertinggal. Setelah berlangsung selama satu semester, maka beban pembiasaan ditambah dengan salat ashar. Dengan demikian,  anak harus mengerjakan salat dua kali dalam satu hari dengan disiplin dan kontinu. Setelah berlangsung selama satu semester pula ditambah satu salat lagi. Begitulah seterusnya. Dengan cara ini, insya Allah orang tua akan sukses.
Selain metode pembiasaan, hadis di atas juga memuat metode hukuman. Rasulullah SAW. menyuruh orangtua memukul anak bila meninggalkan salat setelah berusia 10 tahun.
Anak yang telah berusia sepuluh tahun tetapi masih meninggalkan salat dipandang telah melakukan pelanggaran. Oleh sebab itu, sepantasnya orang tua memberikan hukuman. Hal itu dimaksudkan agar anak menyadari kesalahannya sehingga tidak mau lagi mengulangi kesalahan tersebut. Hal itu sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh M. Ngalim Purwanto. Menurutnya, hukuman ialah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang (orang tua, guru, dan sebagainya) sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan, atau kesalahan.” Sebagai alat pendidikan, hukuman hendaklah: (a). senantiasa merupakan jawaban atas suatu pelanggaran, (b). sedikit-banyaknya selalu bersifat tidak menyenangkan, (c). selalu bertujuan ke arah perbaikan; hukuman itu hendaklah diberikan untuk kepentingan anak itu sendiri.[8]
Prinsip pokok dalam mengaplikasikan pemberian hukuman yaitu bahwa hukuman adalah jalan yang terakhir dan harus dilakukan secara terbatas dan tidak menyakiti anak didik. Tujuan utama dari pendekatan ini adalah untuk menyadarkan peserta didik dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan. Setiap pendidik hendaknya memperhatikan syarat-syarat dalam pemberian hukuman, yaitu: (1). Pemberian hukuman harus tetap dalam jalinan cinta, kasih, dan sayang, (2). Harus didasarkan kepada alasan “keharusan”, (3). Harus menimbulkan kesan di hati anak, (4). Harus menimbulkan keinsyafan dan penyesalan pada anak didik, dan (5). Diikuti dengan pemberian maaf dan harapan serta kepercayaan.[9]
Suatu hal yang perlu dikemukakan di sini adalah  bahwa hadis di atas tidak dapat dijadikan sebagai legitimasi dan dasar untuk melaksanakan aksi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hal itu berdasarkan beberapa alasan:
(1).         Pukulan terhadap anak yang diperintahkan oleh Rasulullah saw. itu tetap dalam kerangka kasih sayang, bukan menyakitkan, melukai dan dendam, sesuai dengan penjelasan yang dikemukakan oleh Al-'Alaqiy dan Al-'Alqamiy. Menurutnya, pemukulan diperintahkan hanya apabila anak berumur sepuluh tahun karena saat itulah batas penanggungan pukulan (sebelumnya belum pantas menerima pukulan). Yang dimaksud dengan pukulan di sini adalah  pukulan yang bukan melukai tidak menyakiti dan perlu dihindari pemukulan pada wajah.[10]
(2).         Sifat dan perlakuan kasar bertentangan dengan kepribadian Rasulullah saw. Hal itu dapat dilihat dalam beberapa hadis dan sirah beliau, antara lain:
(a).  Hadis Riwayat Bukhari dari Abu Sualiman Malik ibn al-Huwayris berkata: Kami, beberapa orang pemuda sebaya  datang kepada Nabi saw., lalu kami menginap bersama beliau selama 20 malam. Beliau adalah seorang yang halus perasaannya dan penyayang.[11]
(b). Hadis riwayat Muslim dari Anas bin Malik. Ia berkata, saya tidak pernah melihat orang yang lebih penyayang kepada keluarganya melebihi Rasulullah saw. Ibrahim (anak beliau) disusukan pada suatu keluarga di sebuah kampung di perbukitan Madinah. Pada suatu hari, beliau pergi menengoknya dan kami ikut bersama-sama dengan beliau. Setelah beliau memasuki rumah orang tua susuan Ibrahim, didapatinya rumah itu penuh asap karena orang tua itu seorang pandai besi, Nabi saw. menggendong bayinya lalu menciumnya.[12] Perbuatan Rasulullah sebagaimana tersebut dalam hadis di atas merupakan wujud nyata dari kesayangan beliau terhadap anaknya. Di celah-celah kesibukan sebagai seorang Rasulullah, beliau menyempatkan diri melihat anaknya yang sudah dititipkan kepada ibu susuannya, menggendong, dan menciumnya.
(c).  Hadis Riwayat Usamah bin Zaid. Usamah[13] ibn Zaid berkata, Rasulullah saw. mengambilku lalu mendudukkanku di atas pahanya dan mendudukan Hasan di atas pahanya yang lain. Kemudian, beliau mengumpulkan kami, lalu berdoa. Ya Allah, Kasihanilah keduanya karena aku mengasihi mereka.[14] Dalam hadis di atas kelihatan dengan jelas betapa kesayangan Nabi saw. kepada cucunya. Bukan hanya sekedar bermain, melainkan beliau juga mendoakan kepada Allah agar cucunya tersebut mendapat kasih sayang-Nya.
(d). Abu Hurairah menceritakan bahwa al-Aqra’ ibn Habis melihat Nabi saw. mencium al-Hasan. Ia berkata, ‘Saya mempunyai 10 orang anak. Tidak seorang pun di antara mereka yang saya cium’ . Lalu Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya orang yang tidak menyayangi tidak disayangi’[15]
(e). Muhammad Athiyah al-Abrâsyi mengemukakan bahwa Rasulullah saw. terkenal dengan sifat kasih sayang, berhati lembut, berjiwa baik, lemah lembut kepada orang lain, sayang kepada binatang dan merawat ayam yang sakit.[16]
(f). Muhammad Ali Shabban menulis bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang yang kasar dan bukan pula seorang yang suka mencela.[17]
Berdasarkan hadis-hadis dan riwayat di atas dapat dipahami bahwa perintah Rasulullah saw. untuk memukul anak yang meninggalkan ibadah salat setelah ia berumur 10 tahun hanyalah pukulan ringan yang tidak melukai dan tidak pula menyakitkan. Atau dapat pula dipahami bahwa anak yang meninggalkan salat pada usia tersebut perlu diberi sanksi (hukuman) agar ia menyadari kesalahannya dan tidak mau lagi meninggalkan salat. Dengan demikian  tidak dapat dikatakan bahwa berdasarkan perintah beliau, Rasulullah saw. mengizinkan pemberlakuan kekerasan dalam rumah tanggga.


[1]Ahmad ibn Hanbal, op.cit., juz 2, h. 187; Ibid., h. 180; Abu Dâwûd, op.cit., h. 133
[2]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT Rosdakaya, 2006), h. 122
[3]Mukallaf adalah  orang-orang yang menjadi sasaran hukum dan dituntut melaksanakannya. Lihat, Ali Hasbullah, Ushûl al-Tasyrî' al-Islâmiy, (Mesir: Dâr al-Ma'ârif, 1383 H/1964 M), cet. ke-3, h. 330
[4]Peter Salim & Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 1991), ed. 1,  h. 198
[5]Lihat, Armai Arief, Op.cit., h. 114-115
[6]Departemen Agama, Op.cit., h. 1041
[7]Lihat, Ahmad Musthafâ al-Marâghî, op.cit., jilid 10, juz 30, h. 95
[8]Lihat, M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remadja Karya, 1985), cet. ke-1, h. 236
[9]Lihat, Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), cet. ke-1, h. 131
[10]Lihat, Abu al-‘Ula Muhammad ‘Abd al-Rahman, ibn ‘Abd al-Rahim Al-Mubarakfuriy, Tuhfat al-Ahwaziy Syarh Jâmi’ al-Al-Tirmiziy, juz 1, (Al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabal-Salafiyah, 1387 H./1967 M), Cet. ke-2, h. 442; Âbâdiy, Op.cit., juz 2, h. 220
[11]Lihat, Al-Bukhâriy, Op.cit., juz 4, h. 2436
[12]Muslim, Op. cit., Juz 4, h. 1808
[13] Usmah adalah anak laki-laki Zaid ibn Harisah, anak angkat Nabi saw. Lihat Muhammmad Ali Shabban, Op.cit., h. 77.
[14]Lihat, Al-Bukhariy, Op.cit., juz 4, h. 2434
[15]Muslim, Op.cit., h. 1808-1809
[16]Lihat, Muhammad Athiyah al-Abrâsyi, 'Azhamah al-Rasûl Shalla Allâh 'alayh wa Sallam, (t.t.: Dâr al-Qalam, 1966), Cet. ke-2, h. 266
[17]Lihat, Muhammmad Ali Shabban, Op.cit., h. 44