Oleh: Bukhari Umar
Targhib adalah janji yang disertai bujukan dan rayuan untuk menunda kemaslahatan, kelezatan, dan kenikmatan. Namun, penundaan itu bersifat pasti, baik dan murni sertà dilakukan melalui amal saleh atau pencegahan diri dari kelezatan yang membahayakan (pekerjaan buruk). Yang jelas, semua dilakukan untuk mencari keridaan Allah dan itu merupakan rahmat dari Allah bagi hamba-hamba-Nya.[1]
Rasulullah SAW. banyak menggunakan targhib dalam mendidik sahabat (umat)nya. Di antaranya dapat dilihat dalam hadis berikut ini.
عَنْ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ.[2] رواه الترمذى
Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: Siapa yang membaca satu huruf Alquran mendapat pahala satu kebaikan. Satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh. Saya tidak mengatakan “Alif Lam Mim” itu satu huruf. Akan tetapi, alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.
عَنْ سَلْمَانَ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ كَمَا أُمِرَ ثُمَّ يَخْرُجُ مِنْ بَيْتِهِ حَتَّى يَأْتِيَ الْجُمُعَةَ وَيُنْصِتُ حَتَّى يَقْضِيَ صَلاَتَهُ إِلاَّ كَانَ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ.[3] رواه النسائى
Dari Salman, ia berkata Rasulullah saw. berkata kepadaku, Setiap orang yang menyucikan diri pada hari Jumat sebagaimana diperintahkan, kemudian keluar dari rumahnya untuk menghadiri salat Jumat, ia diam sampai selesai salat akan diampuni dosanya sejak Jumat yang lalu.
Untuk menumbuhkan semangat dan minat yang tinggi dalam mengerjakan ibadah (membaca Alquran dan mendirikan salat Jumat), Rasulullah saw. menggunakan metode targhîb. Dengan metode ini, beliau menggugah dan menimbulkan rasa senang pada diri peserta didik (sahabat) untuk melakukan sesuatu. Beliau menyampaikan informasi yang menyenangkan hati berupa janji pahala dari Allah untuk orang yang mengerjakan suatu kegiatan.
Tarhib adalah ancaman atau intimidasi melalui hukuman yang disebabkan oleh terlaksananya sebuah dosa, kesalahan, atau perbuatan yang telah dilarang Allah. Selain itu juga karena menyepelekan pelaksanaan kewajiban yang telah diperintahkan Allah.[4] Tarhib pun dapat diartikan sebagai ancaman dari Allah untuk menakut-nakuti hamba-hamba-Nya melalui penonjolan kesalahan atau penonjolan salah satu sifat keagungan dan kekuatan ilahiah agar mereka teringatkan untuk tidak melakukan kesalahan dan kemaksiatan. Sehubungan dengan ini tersapat hadi antara lain:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ رُخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللَّهُ لَهُ لَمْ يَقْضِ عَنْهُ صِيَامُ الدَّهْرِ.[5] رواه البخارى وأبو داود والترمذى
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, Siapa yang berbuka satu hari pada bulan Ramadan tanpa rukhsah yang diberikan Allah tidak dapat mengqada puasanya itu walaupun ia berpuasa sepanjang masa.
Pada bulan Ramadan, semua orang yang beriman diwajibkan mengerjakan puasa. Hanya orang-orang yang memiliki alasan tertentu saja yang boleh meninggalkannya, seperti: sakit, bepergian, hamil, menyusui dan lanjut usia. Orang yang tidak memiliki alasan tersebut tidak dipekenankan untuk tidak berpuasa. Karena begitu besarnya dosa bagi yang melanggar ketentuan ini, maka dalam hadis ini Rasulullah SAW. mengancam orang-orang yang meninggalkan puasa tersebut dengan ancaman yang berat, yaitu tidak dapat mengganti satu hari puasa yang ditinggalkannya itu walaupun ia berusaha untuk membayarnya seumur hidup. Dengan demikian, Rasulullah SAW. menggunakan tarhib (ancaman) dengan maksud agar orang beriman itu tidak ada yang melanggar perintah Allah.
عَنْ أُمِّ أَيْمَنَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَتْرُكِ الصَّلاَةَ مُتَعَمِّداً فَإِنَّهُ مَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ مُتَعَمِّداً فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ.[6] رواه أحمد
Ummu Aiman meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: Janganlah kamu meninggalkan salat dengan sengaja karena orang yang meninggalkan salat dengan sengaja terlepas dari naungan Allah dan rasul-Nya.
Ibadah salat merupakan kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar, kendatipun teknik pelaksanaannya dapat bervariasi sesuai dengan tingkat kemampuan pelaksananya. Namun, banyak juga orang yang dengan mudah meninggalkannya. Agar umat tidak mudah meninggalkan salat, dalam hadis ini Rasulullah SAW. mengancam dengan ancaman bahwa orang yang sengaja meninggalkan salat, tanpa alasan yang benar, akan terlepas dari naungan dan perlindungan Allah.
Rasulullah SAW melakukan cara belajar seperti diajarkan dalam Alquran. Selain membujuk manusia, beliau juga menggunakan ancaman untuk membangkitkan motivasi manusia supaya taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Ancaman juga memotivasi manusia untuk menjalankan ibadah dan menguatkan tanggung jawab terhadap agamanya (taklif), menjauhi maksiat serta segala sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Penggunaan bujukan dan ancaman secara bersamaan mempunyai pengaruh yang lebih efektif daripada menggunakan salah satu di antara keduanya. Sebab menggunakan bujukan saja, menurut Najati akan menjadikan manusia terlalu berharap banyak untuk meminta ampunan dari Allah SWT dan terlalu tinggi berangan-angan untuk masuk surga. Bahkan cenderung untuk bersikap pasrah dan banyak meninggalkan sebagian rewajiban agama. Ancaman saja akan menjadikan manusia bersikap pesimis pada rahmat-Nya sehingga harapan untuk menggapai surga akan lenyap. Konsekuensinya mereka akan meninggalkan kewajiban agama, bahkan terjebak dalam perbuatan maksiat. Berharap secara berlebiban dan bersikap pasrah yang berlebihan merupakan sikap yang berbahaya.[7]
Berdasarkan hadis-hadis di atas, pendidik Islam seyogianya menggunakan metode targhib dan tarhib ini secara berimbang. Jangan hanya menggunakan targhib saja sedangkan tarhib diabaikan. Jangan pula sebaliknya. Mana yang lebih besar vorsinya dapat ditentukan setelah melihat karakter peserta didik. Bila respon peserta didik lebih positif terhadap metode targhib, maka pendidik lebih banyak menggunakannya daripada metode tarhib. Begitu juga sebaliknya.
[1]Abdurrahman Al-Nahlawi, Op.cit., h. 296
[2] Al-Tirmiziy, Op.cit., Juz 4, h. 248
[3] Al-Nasa'iy, Sunan Nasa'iy, Juz 5, h. 285 dalam Al-Maktabah al-Syamilah
[4] Ibid.
[5] Al-Bukhariy, Op.cit., Juz 1, h. 737
[6] Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, Juz 59, h. 347 dalam Al-Maktabah al-Syamilah
[7]Muahmmad Utsman Najati, Op.cit., h. 180-181
Tidak ada komentar:
Posting Komentar