Oleh: Bukhari Umar
Abdurrahman al-Nahlawi mengemukakan
bahwa menurut Kamus Bahasa Arab, lafal al-Tarbiyah berasal dan tiga
kata, yaitu:
Pertama: raba yarbu yang berarti bertambah dan
bertumbuh. Makna ini dapat dilihat dan firman Allah:
َمَا آَتَيْتُمْ ومِنْ رِبًا
لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلاَ يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ
“Dan suatu riba
(tambahan) yang kalian berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba
itu tidak menambah pada sisi Allah “. (QS Al-Rum: 39).
Kedua: rabiya yarba dengan wazan (bentuk) khafiya
yakhfa yang berarti: menjadi besar. Atas dasar makna inilah Ibn aI-’Arabi
mengatakan:
فَمَنْ يَكُ سَائِلاً عَنِّى فَإِنىِّ بِمَكَّةَ
مَنْزِلِى وَبِهَا رُبِيْتُ
"Jika orang bertanya tentang diriku, maka Mekah adalah tempat
tinggalku dan di situlah aku dibesarkan".
Ketiga: rabba yarubbu dengan wazan (bentuk) madda
yamuddu yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga dan
memelihara. Makna ini antara lain ditunjukkan oleh perkataan Hasan bin Tsabit,
sebagaimana yang ditulis oleh Ibn al-Manzhur dalam “lisan al-‘Arab:
وَلاَنْت أَحْسَنُ إِذْ بَذَرْتَ لَنَا يَوْمَ الخْرُوُْجُ بِسَاحَةِ الْقَصْرِ
مِنْ
ذُرَّيَةِ بَيْضَآءِ صَافِيَةٍ مِمَّا
تَرَبَّبَ جَائِرَةُ الْبَحْرِ
"Sesungguhnya ketika engkau tampak pada hari ke luar di
halaman istina, engkau lebih baik daripada sebutir mutiara putih bersih yang
dipelihara oleh kumpulan air di laut’ ".
Kata
Ibn al-Manzhur. “Rababtul amra-arubbuhu rabban wa rababan, berarti aku
memperbaiki dan mengokohkan perkara itu (Al-Nahlawi, 1989: 31).
Kata
“tarbiyah” merupakan masdar dan rabba, yurabbiy, tarbiyat dengan
wazan fa‘ala, yufa‘ilu, taf'ilan”. Kata ini ditemukan dalam
Alquran Surat Al-Isra’/17:24 yang terjemahannya: “Dan rendahkanlah dirimu
terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah “Wahai Tuhanku,
kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku waktu
kecil “.
Dalam
terjemahan ayat di atas, kata tarbiyah digunakan untuk mengungkapkan
pekerjaan orang tua yang mengasuh anaknya sewaktu kecil. Pengasuhan itu
meliputi pekerjaan: memberi makanan, minuman. pengobatan, memandikan,
menidurkan dan kebutuhan lainnya sebagai bayi. Semua itu dilakukan dengan rasa
kasih sayang.
Beberapa
pengkaji telah menyusun definisi pendidikan dari ketiga asal kata ini: Imam
al-Baidawi (wafat: 685), dalam tafsirnya “Anwar al-Tanzil wa Asrar
al-Ta ‘wil “, mengatakan makna asal al-Rabb adalah al-Tarbiyah yaitu:
menyampaikan sesuatu sedikit demi sedikit hingga sempurna. Kemudian kata itu
dijadikan sifat Allah Swt. sebagai mubalaghah (penekanan).
Dalam
buku mufradat, al-Raghib al-Ashfahani (wafat: 502 H), menyatakan
bahwa makna asal al-Rab adalah al-Tarbiyah, yaitu: memelihara
sesuatu sedikit demi sedikit hingga sempurna (Al-Ashfahani, 1992:336).
Dari
ketiga asal kata di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan (tarbiyah) terdiri
dari empat unsur:
(1).
Menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang balig.
(2).
Mengembangkan seluruh potensi dan kesiapan yang bermacam-macam
(3).
Mengarahkan seluruh fitrah dan potensi anak menuju kepada kebaikan dan kesempurnaan
yang layak baginya.
(4).
Proses ini dilaksanakan secara
bertahap.
B. Pengertian Ta'lim
Pengertian
ta’lim sebagai suatu istilah yang digunakan untuk mengungkapkan
pendidikan dikemukakan oleh para ahli, antara lain dapat dilihat sebagai
berikut:
(1).
Abdul Fatah Jalal mengemukakan bahwa Ta'lim adalah proses pemberian
pengetahuan, pemahaman. pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah,
sehingga terjadi penyucian (tazkiyah) atau pembersihan diri manusia dari
segala kotoran yang menjadikan diri manusia itu berada dalam suatu kondisi yang
memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala yang
bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya. (Jalal, 1977: 17)
Berdasarkan
pengertian ini dipahami bahwa dari segi peserta didik yang menjadi sasarannya,
lingkup term al-ta'lim lebih universal dibandingkan dengan lingkup term al-tarbiyah
karena al-ta‘lim mencakup fase bayi. anak-anak, remaja, bahkan orang
dewasa. Sedangkan al-tarbiyah khusus diperuntukan untuk pendidikan dan
pengajaran fase bayi dan anak-anak.
(2).
Muhammad Rasyid Rida memberikan definisi ta'lim sebagai proses transmisi
berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan
tertentu, (Rida, 1373 H: 262). Penta’rifan itu herpijak dari firman
Allah Swt. surat
Al-Baqarah ayat 31 tentang ‘allama Tuhan kepada Nabi Adam as. sedangkan
proses transmisi itu dilakukan secara bertahap sebagaimana Nabi Adam
menyaksikan dan menganalisis asma yang diajarkan oleh Allah kepadanya. (Al Atas,
1988: 66).
(3).
Syekh Muhammad al-Naquib al-Attas memberikan makna al-ta'lim dengan
pengajaran tanpa pengenalan secara mendasar. Namun apabila al-ta‘lim disinonimkan
dengan al-tarbiyah, al-ta'lim mempunyai makna pengenalan tempat segala
sesuatu dalam sebuah sistem, (Alatas, 1988: 66).
Dalam
pandangan Naquib, ada konotasi tertentu yang dapat membedakan antara term al-tarbiyah
dari al-ta‘lim, yaitu ruang lingkup al-ta'lim lebih universal
daripada ruang lingkup al-tarbiyah sebab, al-tarbiyah tidak
mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu pada kondisi eksistensial. Lagi
pula, makna al-tarbiyah lebih spesifik karena ditujukan pada objek-objek
pemilikan yang berkaitan dengan jenis relasional, mengingat pemilikan yang
sebenarnya hanyalah Allah. Akibatnya, sasarannya tidak hanya berlaku bagi umat
manusia tetapi tercakup juga spesies-spesies yang lain.
(4).
Muhammad Athiyah al-Abrasy mengemukakan pengertian al-ta'lim yang
berbeda dari pendapat-pendapat di atas. Beliau menyatakan bahwa al-ta'lim
lebih khusus daripada al-tarbiyah karena al-ta'lim hanya
merupakan upaya menyiapkan individu dengan mengacu kepada aspek-aspek tertentu
saja, sedangkan al-tarbiyah mencakup keseluruhan aspek-aspek pendidikan.
(Al-Abrasyi, t.th, :7).
Al-ta'lim merupakan bagian kecil dari al-tarbiyah al-aqliyah
yang bertujuan memperoleh pengetahuan dan keahlian berpikir, yang sifatnya
mengacu pada domain kognitif. Hal ini dapat dipahami dari pemakaian kata ‘allama
dalam surat
Al-Baqarah, 2:31. Kata ‘allama dikaitkan dengan kata ‘aradha yang
berimplikasikan bahwa proses pengajaran Adam tersebut pada akhirnya diakhiri
dengan tahap evaluasi. Konotasi konteks kalimat itu mengacu pada evaluasi
domain kognitif, yaitu penyebutan nama-nama benda yang diajarkan, belum pada
tingkat domain yang lain. Hal ini memberi isyarat bahwa al-ta'lim
sebagai masdar dari ‘allama hanya bersifat khusus dibanding dengan al-tarbiyah.
C. Pengertian Ta ‘dib
Muhammad
Nadi al-Badri, sebagaimana dikutip oleh Ramayulis, mengemukakan bahwa pada
zaman klasik, orang hanya mengenal kata ta‘dib untuk menunjukkan
kegiatan pendidikan. Pengertian seperti ini terus terpakai sepanjang masa
kejayaan Islam, hingga semua ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh akal manusia
waktu itu disebut adab, baik yang berhubungan langsung dengan Islam
seperti: fiqh, tafsir, tauhid, ilmu bahasa Arab dan sebagainya maupun yang
tidak berhubungan langsung seperti ilmu fisika, filasafat, astronomi,
kedokteran, farmasi dan lain-lain. Semua buku yang memuat ilmu tersebut dinamai
kutub al-adab. Dengan demikian terkenallah al-Adab al-Kabir dan
al-Adab al-Shaghir yang ditulis oleh Ibn al-Muqaffa (w. 760 M). Seorang
pendidik pada waktu itu disebut Mu‘addib. (Ramayulis, 1991: 6).
Ta‘dib adalah pengenalan dan
pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang
tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan
sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan
dan keagungan Tuhan di dalam tatanan wujud dan keberadaannya. (Attas: 66).
Pengertian ini berdasarkan Hadis Nabi Saw.:
أَدَّبَنِى
رَبِّى فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبِى
"Tuhanku telah
mendidikku dan telah membaguskan pendidikanku".
Dalam struktur telaah konseptualnya, ta‘dib sudah mencakup unsur-unsur pengetahuan (‘ilm),
pengajaran (ta'lim), dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). (Attas:
74-75). Dengan demikian, ta'dib
lebih lengkap sebagai term yang mendeskripsikan proses pendidikan Islam
yang sesungguhnya. Dengan proses ini diharapkan lahir insan-insan yang memiliki
integritas kepribadian yang utuh dan lengkap.
Daftar Bacaan:
Al-Nahlawi,
Abdurrahman, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam Keluarga di
Sekolah dan di Masyarakat, Terjemahan Herry Noor Ali, Judul Asli “Ushul
al-Tarbiyat al-Islamiyah wa Asalibuha”, Bandung: Diponegoro, 1989
Al-Ashfahaniy,
Al-Raghib, al-Mufradat Alfāz al-Qur’ān, Beirut, ad-Dar asy-Syamiyah,
tth.
Abd al-Fatah Jalal, Min al-Ushul
al-Tarbawiyyah fi al-Islam, Mesir:
Dar al-Kutub al-Mushriyyah, 1977
Dar al-Kutub al-Mushriyyah, 1977
Rida,
Muhammad Rasyid, Tafsir al-Quran al-Hakim; Tafsir al-Manar, Juz VII,
Beirut, Dar al-Fikr, tt.
Al-Abrasyi,
Muhammad Athiyah, al-Tarbiyyah al-Islāmiyah wa Falāsifatuhā, Mishr: Isa
al-Babiy al-halabiy wa Syurakah, t.th.
Al-Attas,
Muhammad Naquib, Konsep Pendidikan
dalam Islam, Bandung: Mizan, 1992
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta:
Kalam Mulia, 1994