Oleh: Bukhari Umar
Sehubungan dengan kewajiban mengajar, Rasulullah saw. memperingatkan agar orang yang sudah memiliki ilmu pengetahuan ('âlim, ustaz, guru) agar tidak kikir dalam memberikan ilmunya, apalagi sampai menyembunikannya. Sehubungan dengan ini terdapat hadis antara lain:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ».[1] رواه أبو داود وأحمد
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang ditanya tentang suatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya (tidak menjawabnya), Allah akan mengekangnya dengan kekangan api neraka pada hari kiamat nanti.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ عَلِمَهُ ثُمَّ كَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ ».[2] رواه الترمذى
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang ditanya tentang suatu ilmu yang ia ketahui, lalu ia menyembunyikannya (tidak menjawabnya), ia akan dikekang pada hari kiamat dengan kekangan api neraka.
Menurut pengarang 'Aun al-Ma'bud dan Tuhfat al-Ahwazi, Siapa yang ditanya tentang suatu ilmu yang dibutuhkan oleh penanya dalam masalah agamanya, lalu ia sembunyikan dengan cara tidak menjawab atau tidak menulis, maka Allah akan memasukkan kekangan api neraka ke dalam mulutnya karena ia telah menahan dirinya untuk berbicara. Menurut Al-Khaththabiy, orang yang menahan diri dari berbicara disamakan dengan mengekang dirinya. Apabila ia mengekang lidahnya dari berbicara tentang kebenaran, menginformasikan ilmu dan menjelaskannya diazab di akhirat dengan kekangan api neraka. Hal ini berlaku pada ilmu yang jelas baginya kefarduannya. Misalnya: seseorang yang melihat/mengetahui seorang kafir yang mau masuk Islam dan berkata: ajarilah aku tentang Islam, apakah agama Islam itu? Bagaimana aku mengerjakan salat? Begitu juga masalah halal dan haram. Tidak termasuk ke dalam hal itu urusan yang tidak dharuriy (sangat dibutuhkan oleh manusia).[3]
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa dari segi urgensinya, ilmu itu terbagi kepada yang dharuri dan tidak dharuri. Ilmu yang termasuk kategori dharuri ini sama sekali tidak boleh disembunyikan. Artinya bila orang yang memiliki ilmu tersebut ditanya oelh orang yang membutuhkannya, ia wajib menjawab baik lisan atau tulisan. Akan tetapi bila ilmu kategori kedua (tidak dharuri), seperti ilmu tentang teknologi, ekonomi dan sebagainya, maka orang yang ditanya itu tidak wajib menjawabnya.
Orang yang menyembunyikan ilmu terutama ilmu syari'at seperti yang dikemukakan di atas diancam oleh Allah dengan laknat-Nya dan laknat mahluk-Nya sebagaimana ditegaskan dalam ayat berikut:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاَّعِنُونَ (البقرة\2: 159)
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati.
Menurut Fakhr al-Dîn al-Râziy, ketentuan ayat ini berlaku bagi semua yang menyembunyikan agama kendatipun ia turun dalam kasus orang Yahudi dan Nasrani yang menyembunyikan isi Taurat ketika ditanya oleh orang-orang Anshar tentang sifat-sifat Nabi.[4] Mereka tidak mau menjawab dan menjelaskan sifat Nabi yang sudah dijelaskan oleh Allah dalam kitab Taurat.
M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa ayat ini, walaupun turun dalam konteks kecaman terhadap orang-orang Yahudi, namun redaksinya yang bersifat umum menjadikannya kecaman terhadap setiap orang yang menyembunyikan apapun yang diperintahkan agama untuk disampaikan, baik ajaran agama maupun ilmu pengetahuan atau hak manusia.[5] Memang tidak semua yang kita ketahui harus disampaikan kepada orang lain karena tergantung kepada keadaan dan tidak juga semua pertanyaan harus dijawab.
Dari analisis di atas perlu diingatkan bahwa orang yang memiliki ilmu tentang syari'at (guru agama Islam, guru Alquran) jangan bersifat bakhil dengan ilmu. Jangan ikut-ikutan seperti pakar teknologi dan ilmu duniawi lainnya yang meminta bayaran yang mahal baru mau memberikan ilmunya. Pandanglah honor yang diterima itu sebagai panjar mardhatillah. Yakinlah bahwa pahala dari Allah jauh lebih besar dari gaji dan honor yang diberikan oleh manusia di dunia.
Di samping mempelajari tafsir dan
hadis, kita juga dapat belajar berbisnis praktis untuk memperoleh penghasilan
tambahan. Ingin tahu? Klik di SINI.
[1]Abu Daud, Op.cit., Juz 3, h. 321
[2] Al-Tirmiziy, Op.cit., Juz 4, h. 138
[3]Abi ath-Thayyib Muhammad Syams al-Haqq al-‘Azhîm Âbâdiy, ‘Awn al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd, Juz 8, h. 156; (Beirut: Dar al-Fikr, 1399 H = 1979 M), cet. ke-3, h. 487
Juz 6, h. 449 dalam Al-Maktabah al-Syamilah.
[4]Abu 'Abdillah Muhammad ibn 'Umar ibn al-Hasan ibn al-Husayn al-Tamimiy al-Razi alias Fakhr al-Dîn al-Râziy, Mafâtîh al-Ghayb, dalam al-Maktabah al-Syâmilah. (cari asli surat Al-Baqarah/2: 159, juz 2, h. 461).
[5]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume 1, Cet. ke-1, (Jakarta: Lentara Hati, 1421/2000), h. 346
Tidak ada komentar:
Posting Komentar