Oleh: Bukhari Umar
Pendidikan akidah adalah proses pembinaan dan pemantapan kepercayaan dalam diri seseorang sehingga menjadi akidah yang kuat dan benar. Proses tersebut dapat dilakukan dalam bentuk pengajaran, bimbingan, dan latihan. Dalam penerapannya, pendidik dapat menggunakan berbagai metode yang relevan dengan tujuan yang ingin dicapai. Sehubungan dengan ini terdapat hadis-hadis antara lain:
عن عمر بن الخطاب قال: بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم ذاَتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدٌ بَيَاضُ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النبي صلى الله عليه و سلم فَاَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفََّيْهِ عَلَى فَخْذَيْهِ وَقَالَ يَا مُحَمَّدٌ أَخْبِرْنِي عَنِ الإِسْلاَمِ فَقَالَ رسول الله صلى الله عليه و سلم الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَتَصُوْمُ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ صَدَّقْتَ قَالَ فَعَجَبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ قاَلَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِيْمَانَ قاَلَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَملاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ قَالَ صَدَّقْتَ قاَلَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِحْسَانِ قاَلَ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لمَ ْتَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ ....[1] رواه البخارى ومسلم.
Umar ibn al-Khatthâb meriwayatkan: pada suatu hari ketika kami berada di dekat Rasulullah saw., tiba-tiba datang kepada kami seorang laki-laki yang sangat putih pakaiannya, sangat hitam rambutnya, tidak terlihat padanya tanda-tanda dalam perjalanan dan tidak seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Sampai ia duduk di dekat Nabi SAW. lalu ia menyandarkan kedua lututnya pada kedua lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas paha Nabi, lantas berkata, "Hai Muhammad! Beritahukan kepada saya tentang Islam! Rasulullah saw. bersabda: Islam itu adalah pengakuan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, membayarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadan, dan menunaikan haji bagi orang yang sanggup. Lelaki itu berkata: Engkau benar. Umar berkata, 'kami tercengang melihatnya, ia bertanya dan ia pula yang membenarkannya'. Selanjutnya laki-laki itu berkata lagi: Beritahukan kepada saya tentang iman! Rasulullah saw. menjawab: Iman itu adalah keyakinan kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhirat dan qadar baik dan buruk. Laki-laki itu berkata: Engkau benar. Selanjutnya, ia berkata lagi: Beritahukan kepada saya tentang ihsan! Rasulullah saw. menjawab: ihsan itu adalah Engkau menyembah Allah seakan-akan Engkau melihatnya. Jika kamu tidak bisa melihat-Nya, maka rasakanlah bahwa Dia melihatmu….
Hadis ini diriwayatkan oleh beberapa orang mukharrij, antara lain: Bukhari, Muslim, dan Tirmizi dalam kitabnya masing-masing. Walaupun secara redaksional terdapat perbedaan antara riwayat-riwayat tersebut, namun kasus yang disampaikannya sama. Hadis ini muncul setelah Malaikat Jibril bertanya kepada Nabi saw. tentang iman, Islam, ihsan, dan hari kiamat. Ketika itu, beliau sedang berada di tengah-tengah sahabat. Untuk menjawabnya, nabi mengucapkan hadis di atas.
Analisis Kependidikan:
Dari hadis di atas dapat diambil beberapa pelajaran penting tentang masalah pendidikan, yaitu:
1. Dalam hadis di atas dinyatakan bahwa Jibril datang mengajarkan agama kepada sahabat Nabi. Dalam proses ini, Jibril berfungsi sebagai guru, Nabi sebagai nara sumber, dan para sahabat sebagai peserta didik.
2. Dalam proses pembelajaran, jibril sebagai guru menggunakan metode tanya jawab. Metode ini efektif untuk menarik minat dan memusatkan perhatian para peserta didik.
3. Materi pengajaran agama Islam dalam hadis tersebut meliputi aspek-aspek pokok dalam ajaran Islam, yaitu: akidah dan syari’ah serta akhlak. Ajaran Islam diajarkan secara integral, tidak secara parsial.
Sehubungan dengan materi pendidikan, yang pertama dalam hadis di atas adalah persoalan akidah.
Islam menempatkan pendidikan akidah pada posisi yang paling mendasar, yakni terposisikan sebagai rukun yang pertama dalam rukun Islam yang lima, sekaligus sebagai kunci yang membedakan antara orang Islam dengan non Islam. Lamanya waktu dakwah Rasul dalam rangka mengajak ummat agar bersedia mentauhidkan Allah menunjukkan betapa penting dan mendasarnya pendidikan akidah Islamiah bagi setiap ummat muslim pada umumnya. Terlebih pada kehidupan anak, maka dasar-dasar akidah harus terus-menerus ditanamkan pada diri anak agar setiap perkembangan dan pertumbuhannya senantiasa dilandasi oleh akidah yang benar.[2]
Pendidikan Islam dalam keluarga harus memperhatikan pendidikan akidah Islamiyah, di mana akidah itu merupakan inti dan dasar keimanan seseorang yang harus ditanamkan kepada anak sejak dini.
Pendidikan Ibadah
Pendidikan ibadah yang dimaksud di sini adalah proses pengajaran, pelatihan dan bimbingan dalam pengamalan ibadah khusus. Dalam hadis di atas terdapat pelajaran bahwa materi pendidikan ibadah itu meliputi salat, puasa, zakat dan haji..
Para guru dan orang tua hendaknya menjelaskan kepada anak-anak dengan penjelasan yang sangat sederhana tentang pentingnya berbagai bentuk ibadah, lengkap dengan rukun-rukunnya, seperti: salat, zakat, dan haji. Selain itu, emosional anak harus disiapkan saat membicarakan berbagai bentuk ibadah sehingga mereka merindukan ikatan dengan Allah SWT dan beribadah kepada-Nya dengan cara yang benar.[3]
Dalam menjelaskan atau membicarakan berbagai bentuk ibadah, para guru dan orang tua hendaknya menggunakan tema pembahasan secara berurutan, seperti: dalam satu kesempatan membicarakan tentang satu tema yang berkaitan dengan salat saja atau tema yang berkaitan dengan puasa saja, dan seterusnya. Berusaha sedapat mungkin agar anak-anak dapat menyadari pentingnya melaksanakan berbagai bentuk ibadah dalam kehidupan mereka. Para guru dan orang tua hendaknya mengetahui bahwa pentingnya berbagai bentuk ibadah dalam kehidupan seorang muslim. [1]Al-Bukhari, Op.cit., juz 1, h. 31-32; Muslim, Op.cit., Juz 1, h. 36; Abu Dawud, Op.cit., Juz 4, h. 223-224; An-Nasâ'iy, Op.cit.,Juz 15, h. 281 (dalam al-Maktabah al-Syâmilah).
[2]M. Nipan Abdul Halim, Anak Saleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta, Mitra Pustaka, 2001), h. 92
[3]Fuhaim Musthafa, Rahasia Rasul Mendidik Anak, Editor Muhammad Fahmi, Judul Asli "Manhaj ath-Thifl al-Muslim; Dalîl al-Mu'allimîn wa al-Abâ' ilâ Tabiyat al-Abnâ' fî Riyâdh al-Athfal wa al-Madrasah al-Ibtidâiyah", (Yogyakarta: Qudsi Media, 2008), Cet. ke-1, h. 77
Tidak ada komentar:
Posting Komentar