Tugas pendidikan Islam ini sebagai realisasi dari pengertian tarbiyah al-tabligh (menyampaikan atau transformasi kebudayaan). Tugas pendidikan selanjutnya adalah mewariskan nilai-nilai budaya islami. Hal ini perlu karena kebudayaan Islam akan mati bila nilai-nilai dan normanya tidak berfungsi dan belum sempat diwariskan pada generasi berikutnya.
Dalam pendidikan Islam, sumber nilai budaya dapat dibedakan menjadi dua bagian, (Noeng Muhadjir, 1987: 144) yaitu:
1. Nilai ilahiyah; nilai yang dititahkan Allah SWT melalui para rasul-Nya yang diabadikan pada wahvu. Inti nilai ini adalah iman dan takwa, Nilai ini tidak mengalami perubahan, karena mengandung kemutlakan bagi kehidupan manusia selaku pribadi dan selaku anggota masyarakat, tidak berubah karena mengikuti hawa nafsu. Konfigurasi nilai ini dimungkinkan dinamis, walaupun nilai intrinsiknya tetap abadi. Pelaku pendidikan memiliki tugas untuk menginterpretasikan nilai-nilai itu, agar nilai-nilai itu dapat diaplikasikan dalam kehidupan.
2. Nilai insaniyah; nilai yang tumbuh atas kesepakatan manusia serta hidup dan berkembang dari peradaban manusia. Nilai ini hersifat dinamis, yang keberlakuannya relatif dan dibatasi oleh ruang dan waktu. Nilai-nilai insani yang kemudian melembaga menjadi tradisi yang diwariskan secara turun-temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Pelaku pendidikan memiliki tugas tidak saja menginterpretasikan nilai-nilai itu, tetapi juga bagaimana mengoatrol nilai-nilai itu untuk mendekati pada nilai idealnya (ilalilyah), sehingga terjadi keselarasan dan keharmonisan batin dalam menjalankan nilai itu.
Tugas pendidikan adalah bagaimana pendidik mampu melestarikan dan mentransformasikan nilai ilahiyah kepada peserta didik. Nilai ilahiyah yang intrinsik (qath’i) harus diterima sebagai suatu kebenaran mutlak tanpa ada upaya ijtihad, sementara nilai ilahiyah yang instrumental (zhanni) dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi zaman, tempat dan keadaan. Sedangkan untuk nilai insaniyah, tugas pendidikan senantiasa melakukan inovasi dan menumbuhkan kreativitas diri agar nilai itu berkembang sesuai dengan tuntutan masyakarat, Pengembangan ini tidak berarti membongkar atan membuang nilai budaya lama secara total, melainkan “memelihara budaya lama yang baik dan mengambil budaya baru yang lebih baik.”
Keberadaan peradaban dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari lahirnya Islam. Islam lahir dengan membawa sejuta peradaban dan kebudayaan masyarakat, Kalau diukur jarak waktu yang dipakai dalam tonggak-tonggak sejarah, Islam telah berhasil mencapainya seolah-olah hanya dalam tempo sekejap saja. Mukjizat ini terjadi karena Islam mempunyai kemampuan untuk memelihara prinsip dan identitasnya. Pada saat yang sama, mukjizat tersebut membuka kesempatan untuk menampilkan berbagai corak masyarakat yang masing-masing berdiri di atas prinsip dan identitas itu. Pokok pangkal dari keistimewaan ini karena prinsip dan identitas yang mengaturnya justru menjadi hukum dasar yang mengatur fitrah manusia sendiri, juga mengatur kehidupan masyarakat, bahkan pada hakikatnya mengatur semua yang ada. Hukum dasar ini mengandung kepastian dan keabadian, sedangkan sifat perkembangan dan perubahan masyarakat tercakup dalam jangkauan pasal-pasal pengaturnya. Oleh karena itu, di bawah naungan hukum dasar tidak akan terjadi tabrakan antara kemajuan manusiawi dengan syariah Allah yang tetap itu. (Sayid Quthub, terj. Mu'thi Nurdin, 1983: 40-41). Pada tataran ini terdapat hubungan simbiotis antara pewarisan agama dan budaya kepada peserta didik. Agama butuh aktualitas dalam budaya, sementara budaya butuh kerangka ideal dan membingkai kreativitasnya. Budaya yang baik adalah budaya yang mendekati cita-cita ideal dalam agama, sementara agama yang ‘populer’ adalah agama yang dapat diwujudkan dan diaplikasikan dalam kehidupan berbudaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar