Oleh: Bukhari Umar
Dasar pendidikan adalah pondasi atau landasan
yang kokoh bagi setiap masyarakat untuk dapat melakukan perubahan sikap dan
tata laku dengan cara berlatih dan belajar dan tidak terbatas pada lingkungan
sekolah, sehingga meskipun sudah selesai sekolah akan tetap belajar apa-apa
yang tidak ditemui di sekolah. Hal ini lebih penting dikedepankan supaya tidak
menjadi masyarakat berpendidikan yang tidak punya dasar pendidikan sehingga
tidak mencapai kesempurnaan hidup.
Menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan nasional berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(Himpunan, 2009: 5).
Sumber pendidikan Islam yang dimaksudkan di
sini adalah semua acuan atau rujukan yang darinya memancar ilmu pengetahuan dan
nilai-nilai yang akan ditransinternalisasikan dalam pendidikan Islam. Sumber
ini tentunya telah diyakini kebenaran dan kekuatannya dalam menghantar
aktivitas pendidikan, dan telah teruji dari waktu ke waktu. Sumber pendidikan
Islam terkadang disebut dengan dasar ideal pendidikan Islam. Urgensi penentuan
sumber di sini adalah untuk:
1.
Mengarahkan tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai.
2. Membingkai seluruh kurikulum yang dilakukan
dalam proses belajar mengajar, yang di dalamnya termasuk materi, metode, media,
sarana dan evaluasi.
3. Menjadi standar dan tolok ukur dalam
evaluasi, apakah kegiatan pendidikan telah mencapai dan sesuai dengan apa yang
diharapkan atau belum.
Menurut Sa’id Ismail Ali, sebagaimana yang
dikutip oleh Hasan Langgulung(1980: 35) sumber pendidikan Islam terdiri atas
enam macam, yaitu Alquran, As-Sunnah, kata-kata sahabat (madzhab shahabi), kemaslahatan
umat/sosial (mashalil al-mursalah), tradisi atau adat kebiasaan
masyarakat ('uruf), dan hasil pemikiran para ahli dalam Islam (ijtihad).
Keenam sumber pendidikan Islam tersebut didudukkan secara hierarkis.
Artinya, rujukan penyelidikan Islam diawali dari sumber pertama (Alquran) untuk
kemudian dilanjutkan pada sumber-sumber berikutnya secara berurutan.
1.
AIquran
Secara etimologi Alquran berasal dari kata qara'a,
yaqra’u, qira’atan atau qur'anan, yang berarti mengumpulkan (al-jam’u)
dan menghimpun (al-dhammu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu
bagian ke bagian yang lain secara teratur. Muhammad Salim Muhsin (tt: 5)
mendefinisikan Alquran dengan: “Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang tertulis dalam mushaf-mushaf dan dinukil/diriwayatkan kepada
kita dengan jalan yang mutawatir dan membacanya dipandang ibadah serta
sebagai penentang (bagi yang tidak percaya) walaupun surat terpendek.” Sedang
Muhammad Abduh (1373 H: 17) mendefinisikannya dengan: “Kalam mulia yang
diturunkan oleh Allah kepada nabi yang paling sempurna (Muhammd SAW), ajarannya
mencakup keseluruhan ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber yang mulia yang
esensinya tidak dimengerti kecuali bagi orang yang berjiwa suci dan berakal
cerdas.” (Muhammad Rasyid Ridha, 1373 H: 17)
Definisi pertama lebih melihat keadaan Alquran
sebagai Firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW diriwayatkan
kepada umat Islam secara mutawatir, membacanya sebagai ibadah, dan salah
satu fungsinya sebagai mukjizat atau melemahkan para lawan yang menentangnya.
Definisi kedua melengkapi isi Alquran yang mencakup keseluruhan ilmu
pengetahuan, fungsinya sebagai sumber yang mulia, dan penggalian esensinya
hanya bisa dicapai oleh orang yang berjiwa suci dan cerdas (Ridha, 1373 H: 17).
Alquran dijadikan sebagai sumber pendidikan
Islam yang pertama dan utama karena ia memiliki nilai absolut yang diturunkan
dari Tuhan. Allah SWT menciptakan manusia dan Dia pula yang mendidik manusia,
yang mana isi pendidikan itu telah termaktub dalam wahyu-Nya. Tidak satu pun
persoalan, termasuk persoalan pendidikan, yang luput dari jangkauan AIquran.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-An’am ayat 38: “Tiadalah Kami alpakan
sesuatu pun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”
dan QS. An-Nahl ayat 89: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitah (Alquran)
untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira
bagi orang-orang yang berserah diri". Ayat di atas memberikan isyarat
bahwa pendidikan Islam cukup digali dari sumber autentik Islam, yaitu A1quran.
Nilai esensi dalam Alquran selamanya abadi dan
selalu relevan pada setiap waktu dari zaman, tanpa ada perubahan sama sekali.
Perubahan dimungkinkan hanya menyangkut masalah interpretasi mengenai
nilai-nilai instrumental dan menyangkut masalah teknik operasional. Pendidikan
Islam yang ideal harus sepenuhnya mengacu pada nilai dasar Alquran, tanpa
sedikit pun menghindarinya. Mengapa hal itu diperlukan? Karena Alquran memuat
tentang:
a.
Sejarah Pendidikan Islam
Dalam
Alquran disebutkan beberapa kisah nabi yang berkaitan dengan pendidikan. Kisah
ini menjadi suri teladan bagi peserta didik dalam mengarungi kehidupan ini.
Kisah itu misalnya:
(1) Kisah Nabi Adam as., sebagai manusia pertama,
yang merintis proses pengajaran (ta'lim) pada anak cucunya, seperti
pengajaran tentang asma’ (nama-nama) benda (QS. Al-Baqarah: 30-31).
Penyebutan nama-nama sama artinya dengan penelusuran terminologi, dan
terminologi ekuivalen dengan konsep, sedangkan konsep merupakan produk penting
dan akal budi manusia. Melalui sebuah asma’ sering kali seseorang
menemukan gambaran mengenai karakteristik sesuatu, minimal mengetahui apa dan
siapa yang diberi asma’ itu. Asma’ menunjukkan identitas dan
eksisnya sesuatu. (Bastaman, 1995: 3).
(2) Kisah Nabi Nuh as. yang mampu mendidik dan
mengentaskan masyarakat dari banjir kemaksiatan melalui perahu keimanan; tidak
membela dengan membabi buta kepada keluarga yang salah; menjadi pemula dalam
mengembangkan teknologi perkapalan. Perhatikan QS. Hud: 42-43,25-32,40-48,
Al-Ankabut:14.
(3) Kisah Nabi Shalih as. yang saleh, cerdas, dan
tubuhnya kuat; mampu memfungsikan batu seperi fungsi hewan unta mendayagunakan
teknologi listrik (petir) untuk menghancurkan orang-orang yang durhaka.
Perhatikan QS. Hud: 61-63, Asy- Syu'ara: 41-159, Al-A'raf 73-79.
(4) Kisah Nabi Ibrahim as. yang memiliki
kepribadian ketuhanan yang tangguh meskipun hidup pada keluarga dan lingkungan
yang korup; mampu bertahan hidup meskipun dibuang ke hutan belantara; perintis
metode induktif dalam mencari kebenaran, sebagaimana ketika ia mencari Tuhan;
mempunyai kekuatan diplomatik yang baik ketika menghadapi penguasa yang zalim
(Namrudz); menghancurkan sistem pemberhalaan kehidupan dalam segala hal; mampu
mendinginkan kobaran api yang panas; melerai panasnya amarah; menjadi pemula
dalam mengembangkan teknologi AC (air conditioning); mau menyembelih
jiwa kebinatangan anaknya; mampu menyembuhkan (menghidupkan) yang sakit (mati);
dan menjadi bapak agama millah Ibrahim) yang hanif bagi seluruh umat
manusia, sehingga dibangunkan tempat kiblat yang disebut dengan Ka’bah.
Perhatikan QS. Al-An’am: 76-79, Al-Anbiya’: 51-69, Maryam: 4149, As-Shaffat
100-111, Al-Baqarah: 260,126,128, Ali Imran: 96-97.
(5) Kisah Nabi Ismail as. yang mampu bertahan hidup
pada situasi dan kondisi yang serba sulit gersang dan tanpa tergantung pada
orang lain meskipun ayah sendiri; berkepribadian sebagai anak saleh yang siap
menjadi korban penyembelihan jiwa kebinatangan dalam rangka mencapai keridaan
Allah SWT; dengan kepakan kakinya maka muncullah air zamzam, sehingga menjadi
bapak pemula bagi penggalian tambang air mineral, minyak, emas, dan lain-lain.
Perhatikan QS. Ibrahim: 37, Al- Baqarah 125-129, As-Shaffat: 102.
(6) Kisah Nabi Yusuf as. yang tetap eksis meskipun
dikucilkan atau dibuang oleh yang lain; kuat menghadapi fitnah cinta, yang
dengan kegantengan tidak untuk berbuat mesum, meskipun dengan para selebriti;
mampu memprediksi masa depan melalui interpretasi mimpi; dan tidak membalas
pada siapa pun yang pernah menyakitinya. Perhatikan QS. Yusuf: 1-111.
(7) Kisah Nabi Musa as. yang berani menentang
penguasa yang zalim; bapak kedokteran yang karena ilmunya bisa menghidupkan
(menyembuhkan) orang yang mati (sakit); memerangi Qarun yang tamak; memberantas
penyembahan terhadap hal-hal yang ganjil seperti patung sapi; berguru pada
orang yang mengetahui masa depan seperti Nabi Khidhir; bapak pemula dalam
pengembangan teknologi jembatan, melalui tongkat (beton) yang kokoh, Perhatikan
QS. Al-Baqarah: 49-82, Al-Qashash: 7-35, Thaha: 57-97, Al-Maidah: 21-26,
Al-Kahfi: 60-82.
(8) Kisah Nabi Isa as. yang kehidupannya
bersejarah, sehingga tercipta tahun masehi; mengembangkan teknologi kedokteran
sehingga mampu mengobati yang sakit, seperti buta, kusta, bahkan menghidupkan
(memotivasi) orang yang mati (pesimis); bapak pemula dalam ilmu kedokteran.
Perhatikan QS. Maryam: 17-34, Al-Maidah:110-114, An-Nisa’: 157.
(9) Kisah Nabi Muhammadi SAW yang kehadirannya
membawa berkah dan rahmah bagi semua alam; kehidupannya sederhana, jujur dalam
berdagang dan bisa dipercaya; perilakunya qur’ani; sikapnya yang tabah
dalam menghadapi berbagai ejekan, cemooh, dan siksaan; tidak memiliki dendam
kesumat pada orang yang menyakitinya; mampu mengendalikan diri dalam berperang
seperti tidak membunuh orang tua, wanita, anak-anak yang telah menyerah; mampu
memperbanyak makanan atau minuman melalui ujung jarinya, keluar mata air kasih
sayang; bapak pemula bagi penjelajahan ruang angkasa dalam peristiwa isra’ dan
mikraj; menjangkau masa lalu dan masa depan; melakukan imigrasi untuk
menyebarkan agama; tidak pernah memiliki imaginasi yang buruk, sehingga tidak
pernah mimpi mengeluarkan mani (ihtilam); biarpun matanya terpejam
tetapi hatinya tetap terjaga untuk berzikir kepada Allah.
(10)
Demikian
juga kisah-kisah orang yang saleh seperti Luqman al-Hakim yang selalu
menganjurkan dasar-dasar filosofi pendidikan kepada anak-anaknya tidak menyekutukan
Allah SWT namun tetap bersyukur kepada-Nya, diserukan mengerjakan shalat,
berbuat sopan santun pada ibu bapak, mengajarkan yang baik dan meninggalkan
yang mungkar, selalu bersabar, hidup bersahaja, dan tidak menyombongkan diri.
Perhatikan QS. Luqman ayat 12-19.
b.
Nilai-Nilai Normatif Pendidikan Islam
Alquran memuat nilai normatif yang menjadi
acuan dalam pendidikan Islam. Nilai yang dimaksud terdiri atas tiga pilar utama
(Al-Zuhaili, 1986: 438-439), yaitu:
1. I’tiqadiyyah,
yang berkaitan dengan pendidikan keimanan, seperti percaya kepada Allah,
malaikat, rasul, kitab, hari akhir dan takdir, yang bertujuan untuk menata
kepercayaan individu.
2. Khuluqiyyah, yang berkaitan dengan
pendidikan etika, yang bertujuan untuk membersihkan diri dari perilaku rendah
dan menghiasi diri dengan perilaku terpuji.
3. Amallyyah, yang berkaitan dengan
pendidikan tingkah laku sehari-hari, baik yang berhubungan dengan:
(a). Pendidikan
lbadah, yang memuat hubungan antara manusia dengan Tuhannya, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan yang
bertujuan untuk aktualisasi nilai-nilai ubudiyah.
(b). Pendidikan muamalah, yang memuat hubungan
antara manusia, baik secara individual maupun institusional. Bagian ini terdiri
atas:
1)
pendidikan
syakhshiyah, seperti perilaku individu, masalah perkawinan, hubungan
suami istri dan keluarga serta kerabat dekat, yang bertujuan untuk membentuk
keluarga sakinah dan sejahtera;
2)
pendidikan
madaniyah, yang berhubungan dengan perdagangan seperti upah, gadai,
kongsi, dan sebagainya, yang bertujuan untuk mengelola harta benda atau hak-hak
individu.
3)
Pendidikan
jana’iyah, yang berhubungan dengan pidana atas pelanggaran yang
dilakukan, yang bertujuan untuk memelihara kelangsungan kehidupan manusia, baik
berkaitan dengan harta, kehormatan, maupun hak-hak individu lainnya.
4)
Pendidikan
murafa’at, yang berhubungan dengan acara, seperti peradilan, saksi
maupun sumpah, yang bertujuan untuk menegakkan keadilan di antara anggota
masyarakat.
5)
Pendidikan
dusturiyah, yang berhubungan dengan undang-undang negara yang mengatur
hubungan antara rakyat dengan pemerintah atau negara, yang bertujuan untuk
stabilitas bangsa dan negara.
6)
Pendidikan
duwaliyah, yang berhubungan dengan tata negara, seperti tata negara
Islam, tata negara tidak Islam, wilayah perdamaian dan wilayah perang, dan
hubungan muslim satu negara dengan muslim di negara lain, yang bertujuan untuk
perdamaian dunia.
7)
Pendidikan
iqtishadiyah, yang berhubungan dengan perekonomian individu dan negara,
hubungan yang miskin dan yang kaya, yang bertujuan untuk keseimbangan atan
pemerataan pendapatan.
Alquran secara normatif juga mengungkap lima
aspek pendidikan dalam dimensi-dimensi kehidupan manusia, yang meliputi:
1.
Pendidikan
menjaga agama (hifdz al-din), yang mampu menjaga eksistensi agamanya;
memahami dan melaksanakan ajaran agama secara konsekuen dan konsisten;
mengembangkan, meramaikan, mendakwahkan, dan mensyiarkan agama. Perhatikan QS.
Al-Mumtahanah: 12, Al-Baqarah: 191, Al-Maidah: 54, At-Taubah: 73, Al-Furqan:
52.
2.
Pendidikan
menjaga jiwa (hifdz al-nafs), yang memenuhi hak dan kelangsungan hidup
diri sendiri dan masing-masing anggota masyarakat, karenanya perlu diterapkan
hukum qishash (pidana Islam) bagi yang melanggarnya, seperti hukuman
mati. Perhatikan QS. Al-Maidah: 32, An-Nisa’: 93, Al-Isra’: 31, Al-An’am: 151,
Al-Baqarah: 178-179.
3.
Pendidikan
menjaga akal pikiran (hifdz al-’aqal), yang menggunakan akal pikirannya
untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah dan hukum-hukum-Nya; menghindari
perbuatan yang merusak akalnya dengan minum khamar atau zat adiktif, yang
karenanya diberlakukan had (sanksi), seperti cambuk. Perhatikan QS.
Al-Maidah: 90, Yasin: 60-62, Al-Qashash: 60, Yusuf: 109, Yunus: 16, Al-A’raf:
169, al-Anbiya’: 66-67, Hud: 51, Al-Mu'minun: 80, Ar-Rum: 24, 28, Al-Ankabut:
34-35, Ali Imran: 65, Al-An’am: 32, An-Nahl: 2-10, 66-69, Ar-Ra’d: 3-4, Al
Baqarah 44,164,219.
4.
Pendidikan
menjaga keturunan (hifdz al-nasb), yang mampu menjaga dan melestarikan
generasi muslim yang tangguh dan berkualitas; menghindari perilaku seks
menyimpang, seperti free sex, kumpul kebo, homoseksual, lesbian, sodomi,
yang karenanya diundang-undangkan hukum rajam (lempar batu) atau cambuk.
Perhatikan QS. An-Nisa’:3-4,9,25, An-Nur:2-9, Al-Isra’:32, Al-Ahzab:49,
Ath-Thalaq: 1-7, Al-Baqarah:221-237.
5.
Pendidikan
menjaga harta benda dan kehormatan (hifdz almal wa al- ‘irdh), yang
mampu mempertahankan hidup melalui pencarian rezeki yang halal; menjaga
kehormatan diri dan pencurian, penipuan, perampokan, pencekalan, riba, dan
kezaliman. Perhatikan QS. An-Nur: 19-21, 27-29, Al-Hujurat: 11- 12, Al-Maidah:
38-39, An-Nisa’: 29-32, Ali Imran: 130, Al-Baqarah: 188, 275-284.
2.
As-Sunnah
As-Sunnah menurut pengertian bahasa berarti
tradisi yang bisa dilakukan, atau jalan yang dilalui (al-thariqah
al-maslukah) baik yang terpuji maupun yang tercela. As-Sunnah adalah:
“segala sesuatu yang dinukilkan kepada Nabi SAW. berikut berupa perkataan,
perbuatan, taqrir-nya, ataupun selain dari itu.( Zuhdi, 1978: 13-14)
Termasuk ‘selain itu’ (perkataan, perbuatan, dan ketetapannya) adalah
sifat-sifat, keadaan, dan cita-cita (himmah) Nabi SAW yang belum
kesampaian. Misalnya, sifat-sifat baik beliau, silsilah (nasab), nama-nama
dan tahun kelahirannya yang ditetapkan oleh para ahli sejarah, dan cita-cita
beliau.
Robert L. Gullick dalam Muhammad the
Educator menyatakan: "Muhammad betul-betul seorang pendidik yang
membimbing manusia menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar serta
melahirkan ketertiban dan stabilitas yang mendorong perkembangan budaya Islam,
serta revolusi sesuatu yang mempunyai tempo yang tak tertandingi dan gairah
yang menantang". Dari sudut pragmatis, seseorang yang mengangkat perilaku
manusia adalah seorang pangeran di antara para pendidik, (Rahmat, 1991: 113).
Kutipan itu diambil dari ensiklopedia yang melukiskan Nabi Muhammad SAW. sebagai
seorang nabi, pemimpin, militer, negarawan, dan pendidik umat manusia.
Corak pendidikan Islam yang diturunkan dari
Sunnah Nabi Muhammad SAW adalah sebagai berikut:
(1) Disampaikan sebagai rahmat li al-‘alamin (rahmat
bagi semua alam), yang ruang lingkupnya tidak sebatas spesies manusia, tetapi
juga pada makhluk biotik dan abiotik lainnya. (QS. Al-Anbiya: 107-108)
(2) Disampaikan secara utuh dan lengkap, yang
memuat berita gembira dan peringatan pada umatnya. (QS. Saba’: 28)
(3) Apa yang disampaikan merupakan kebenaran mutlak
(QS. Al-Baqarah: 119) dan terpelihara autentitasnya. (QS. AI-Hijr: 9)
(4) Kehadirannya sebagai evaluator yang mampu
mengawasi dan senantiasa bertanggung jawab atas aktivitas pendidikan (QS.
Asy-Syura: 48, Al-Ahzab: 45, Al-Fath: 8).
(5) Perilaku Nabi SAW tercermin sebagai uswah
hasanah yang dapat dijadikan figur atau suri teladan (QS. Al-Ahzab: 21),
karena perilakunya dijaga oleh Allah SWT. (QS. An-Najm: 3-4), sehingga beliau
tidak pernah berbuat maksiat.
(6) Dalam masalah teknik operasional dalam pelaksanaan
pendidikan Islam diserahkan penuh pada umatnya. Strategi, pendekatan, metode
dan teknik pembelajaran diserahkan penuh pada ijtihad umatnya, selama hal itu
tidak menyalahi aturan pokok dalam Islam. Sabda beliau yang diriwavatkan oleh
Imam Muslim dari Anas dan Aisyah: "antum a’lmu bi umur dunyakum" (engkau
lebih tahu terhadap urusan duniamu).
3. Kata-kata Sahabat (Madzhab Shahabi)
Sahabat adalah orang yang pernah berjumpa
dengan Nabi SAW dalam keadaan beriman dan mati dalam keadaan beriman juga.
(Al-Husaiy,1405: 57). Para sahabat Nabi SAW memiliki karakteristik yang unik
dibanding kebanyakan orang. Fazlur Rahman berpendapat bahwa karakteristik sahabat Nabi SAW antara lain:
(1) Tradisi yang dilakukan para sahabat secara konsepsional tidak terpisah
dengan Sunnah Nabi SAW; (2) Kandungan yang khusus dan aktual tradisi
sahabat sebagian besar produk sendiri; (3) Unsur kreatif dan kandungan
merupakan ijtihad personal yang telah mengalami kristalisasi dalam ijma’, yang
disebut dengan madzhab shahabi (pendapat sahabat). Ijtihad ini tidak
terpisah dari petunjuk Nabi SAW terhadap sesuatu yang bersifat spesifik; dan (4)
Praktik amaliah sahabat identik dengan ijima’ (konsensus umum).
Upaya sahabat Nabi SAW dalam pendidikan Islam
sangat menentukan bagi perkembangan pemikiran pendidikan dewasa ini. Upaya yang
dilakukan oleh Abu Bakar al-Shiddiq, misalnya, mengumpulkan Alquran dalam satu mushhaf
yang dijadikan sebagai sumber utama pendidikan Islam; meluruskan keimanan
masyarakat dari pemurtadan dan memerangi membangkang dari pembayaran zakat.
Sedangkan upaya yang dilakukan Umar bin al-Khattab adalah bahwa ia sebagai
bapak revolusioner terhadap ajaran Islam. Tindakannya dalam memperluas wilayah
Islam dan memerangi kezaliman menjadi salah satu model dalam membangun strategi
dan perluasan pendidikan Islam dewasa ini. Sedang Utsman bin Affan berusaha
untuk menyatukan sistematika berpikir ilmiah dalam menyatukan susunan Alquran
dalam satu mushhaf, yang semua berbeda antara mushhaf satu dengan
mushhaf lainnya. Sementara Ali bin Abi Thalib banyak merumuskan
konsep-konsep kependidikan seperti hagaimana seyogianya etika peserta didik
pada pendidiknya, bagaimana ghirah pemuda dalam belajar, dan demikian
sebaliknya. (Al-Zarnuzi, tt: 15)
4. Kemaslahatan Umat/Sosial (Mashâlih
Al-Mursalah)
Mashâlih al-mursalah adalah
menetapkan undang-undang, peraturan dan hukum tentang pendidikan dalam hal-hal
yang sama sekali tidak disebutkan di dalam nash, dengan pertimbangan
kemaslahatan hidup bersama, dengan bersendikan asas menarik kemaslahatan dan
menolak kemudaratan (Khallaf, tt: 85-86). Mashalih al-mursalah dapat
diterapkan jika ia benar-benar dapat menarik maslahat dan menolak mudarat
melalui penyelidikan terlebih dahulu. Ketetapannya bersifat umum bukan untuk
kepentingan perseorangan serta tidak bertentangan dengan nash.
Para ahli pendidikan berhak menentukan
undang-undang atau peraturan pendidikan Islam sesuai dengan kondisi lingkungan
di mana ia berada. Ketentuan yang dicetuskan berdasarkan mashalih
al-mursalah paling tidak memiliki tiga kriteria: (1) apa yang dicetuskan
benar-benar membawa kemaslahatan dan menolak kerusakan setelah melalui tahapan
observasi dan analisis, misalnya pembuatan tanda tamat (ijazah) dengan foto
pemiliknya; (2) kemaslahatan yang diambil merupakan kemaslahatan yang bersifat
universal, yang mencakup seluruh lapisan masyarakat, taupa adanya diskriminasi,
misalnya perumusan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional di negara Islam
atau di negara yang penduduknya mayoritas Muslim; (3) keputusan yang diambil
tidak bertentangan dengan nilai dasar Alquran dan As-Sunnah. Misalnya perumusan
tujuan pendidikan tidak menyalahi fungsi kehambaan dan kekhalifahan manusia di
bumi.
5. Tradisi atau Adat Kebiasaan Masyarakat (‘Uruf)
Yang dimaksud dengan tradisi ('uruf/’adat) adalah
kebiasaan masyarakat, baik berupa perkataan maupun perbuatan yang dilakukan
secara kontinu dan seakan-akan merupakan hukum tersendiri, sehingga jiwa merasa
tenang dalam melakukanya karena sejalan dengan akal dan diterima oleh tabiat
yang sejahtera (Muhaimin, 2005: 201-202). Nilai tradisi setiap masyarakat
merupakan realitas yang multikompleks dan dialektis. Nilai-nilai itu
mencerminkan kekhasan masyarakat sekaligus sebagai pengejawantahan nilai-nilai
universal manusia. Nilai-nilai tradisi dapat mempertahankan diri sejauh di
dalam diri mereka terdapat nilai-nilai kemanusiaan. Bila nilai-nilai tradisi
tidak lagi mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan, maka manusia akan kehilangan
martabatnya (Suseno, 1991: 86-87).
Dalam konteks tradisi ini, masing-masing
masyarakat Muslim memiliki corak tradisi yang unik, yang berbeda antara satu
masyarakat dengan masyarakat yang lain. Sekalipun memiliki kesamaan agama,
tetapi dalam hidup berbangsa dan bernegara mereka akan membentuk ciri unik.
Karena alasan seperti ini, maka ada sebutan Islam universal dan Islam lokal.
Islam universal adalah Islam yang diajarkan oleh Allah dan rasul-Nya
sebagaimana adanya, yang memiliki nilai esensial dan diberlakukan untuk semua
lapisan, misalnya menutup aurat bagi muslim dan muslaimah. Sedangkan Islam
lokal adalah Islam adaptif terhadap tradisi dan budaya masyarakat setempat,
sebagai hasil interpretasi terhadap Islam universal, seperti bagaimana bentuk
menutup aurat itu, apa memakai celana, kebaya, jubah, atau lain sebagainya.
Kesepakatan bersama dalam tradisi dapat
dijadikan acuan dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Penerimaan tradisi ini
tentunya memiliki syarat: (1) tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik
Alquran maupun As-Sunnah; (2) tradisi yang berlaku tidak bertentangan dengan
akal sehat dan tabiat yang sejahtera, serta tidak mengakibatkan kedurhakaan,
kerusakan dan kemudaratan (Zuhdi, 1990: 124).
6. Hasil Pemikiran Para Ahli dalam Islam (Ijtihad)
Ijtihad berakar dan kata jahda yang
berarti al-masyaqqah (yang sulit) dan badzl al-wus’i wa al-thaqah (pengerahan
kesanggupan dan kekuatan). Sa’id al-Taftani memberikan arti ijtihad dengan tahmil
al-juhdi (ke arah yang membutuhkan kesungguhan), yaitu pengerahan segala
kesanggupan dan kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai pada batas
puncaknya (al-Umari, 1981: 18-19). Hasil ijtihad berupa rumusan operasional
tentang pendidikan Islam yang dilakukan dengan menggunakan metode deduktif atau
induktif dalam melihat masalah-masalah kependidikan.
Tujuan ijtihad dalam pendidikan adalah untuk
dinamisasi, inovasi dan modernisasi pendidikan agar diperoleh masa depan
pendidikan yang lebih berkualitas. Ijtihad tidak berarti merombak tatanan yang
lama secara besar-besaran dan membuang begitu saja apa yang selama ini
dirintis, tetapi memelihara tatanan lama yang baik dan mengambil tatanan baru
yang lebih baik. Begitu penting upaya ijtihad ini sehingga Rasulullah
memberikan apresiasi yang baik terhadap pelakunya, bila mereka benar
melakukannya, baik pada tataran isi maupun prosedurnya, maka mereka mendapatkan
dua pahala, tetapi apabila mengalami kesalahan, maka Ia dapat satu pahala,
yaitu pahala karena kesungguhannya (HR. AI-Bukhari dan Muslim dari Amr ibn
Ash).
Daftar Bacaan:
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Sistem
Pendidikan Nasional, Bandung: Fokusmedia, 2009
Langgulung, Hasan, Pendidikan dan
Peradaban Islam Suatu Analisa Sosio-Psikologi, Jakarta: Pustaka Al-Husna,
1985
Muhammad
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Mesir: Dar al-Manar, 1373 H), Juz I
Zuhdi, Masyfuk, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Haji Masagung, 1990
Jalaluddin Rahmat, Islam
Alternatif, (Bandung: Mizan, 1991
Al-Zarnuzi, Burhan al-Islam, Ta’lim
al-Muta’alim fi Thariq al-Ta’allum, Surabaya: Salim Nabhan, tt.
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul al-Fiqh, Jakarta, Al-Majlis al-A'la al-Indonesi li al-Da'wah
al-Islamiyah, 1972
Muhaimin,
Abdul Mujib, Yusuf Mudzakkir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta:
Prenada Media, 2005
Suseno, Franz Magnis, Berfilsafat dan
Konteks, Jakarta: Gramedja, 1991