Sabtu, 04 Desember 2010

Metode Pendidikan dalam Hadis: Metode Pembiasaan dan Hukuman


Oleh: Bukhari Umar

1.    Metode Pembiasaan
Sehubungan dengan penggunaan metode pembiasaan dalam pendidikan dapat dilihat antara lain dari hadis riwayat Ahmad dari Abi Syu'aib, Ahmad dari Sabrah al-Juhani, dan Abu Daud dari Abi Syu'aib:
عن عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: مُرُوا أَبْنَاءَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ .[1]  رواه أحمد
Dari 'Amr ibn Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya, Rasulullah saw. berkata: “Suruhlah anakmu mendirikan salat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah mereka karena meninggalkannya ketika ia berumur sepuluh tahun. (Pada saat itu), pisahkanlah tempat tidur mereka.
Hadis di atas menginformasikan beberapa hal, yaitu: (1) orang tua harus menyuruh anak mendirikan salat mulai berumur tujuh tahun, (2) setelah berumur sepuluh tahun ternyata anak meninggalkan salat, maka orang tua boleh memukulnya, dan (3) pada usia sepuluh tahun itu juga, tempat tidur anak harus dipisahkan antara laki-laki dan perempuan, antara anak dan orang tuanya.
Kemampuan menunaikan ibadah salat merupakan salah satu keterampilan. Menurut Muhibbin Syah, belajar keterampilan adalah belajar dengan menggunakan gerakan-gerakan motorik yakni yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot neuromuscular. Tujuannya adalah memperoleh dan menguasai keterampilan jasmaniah tertentu. Dalam belajar jenis ini, latihan-latihan intensif dan teratur amat diperlukan. Termasuk belajar dalam jenis ini misalnya belajar olah raga, musik, menari, melukis, memperbaiki benda-benda elektronik dan juga sebagian materi pelajaran agama, seperti ibadah salat dan haji.[2]
Belajar kebiasaan adalah proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru atau perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Belajar kebiasaan, selain menggunakan perintah, suri teladan dan pengalaman khusus, juga menggunakan hukuman dan ganjaran. Tujuannya agar siswa memperoleh sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan, perbuatan baru yang lebih tepat dan positif dalam arti selaras dengan kebutuhan ruang dan waktu (kontekstual).
Dari segi hukum, anak yang berusia tujuh tahun belum termasuk mukallaf.[3] Di antara usia tujuh tahun dan mukallaf itu terdapat masa lebih kurang tujuh atau delapan tahun. Dengan demikian dapat dipahami bahwa Rasulullah menyuruh anak usia tujuh tahun mendirikan salat dengan maksud membiasakan mereka agar setelah mukallaf nanti, anak tidak merasa keberatan untuk melakukannya. Sesuai dengan peribahasa "Alah bisa karena biasa" yang berarti: segala kesukaran dan sebagainya tidak lagi terasa sesudah terbiasa.[4] Maksud peribahasa ini adalah  pekerjaan yang pada awalnya sulit dan memberatkan akan terasa mudah dan ringan apabila sudah dikerjakan berulang kali sehingga menjadi kebiasaan.
Orang tua diperintahkan mendidik anak mengerjakan salat setelah berusia tujuh tahun. Hal itu dilakukan untuk mempermudah proses pendidikan. Hal ini sesuai dengan syarat-syarat penggunaan pembiasaan yang dikemukakan oleh Armai Arief. Menurutnya, Pembiasaan itu dimulai sebelum terlambat, dan hendakah dilakukan secara kontiniu, teratur dan berprogram.[5]
Selain itu, hadis di atas juga mengisyaratkan bahwa pendidikan salat dilakukan kepada anak secara bertahap. Sewaktu berusia tujuh tahun, anak disuruh mendirikan salat, tetapi belum boleh dipukul/dihukum bila meninggalkan salat sampai berumur sepuluh tahun. Itu berarti bahwa pembiasaan salat dilakukan secara bertahap, tidak sekaligus. Kebertahapan pembiasaan ini sesuai pula dengan kodrat manusia yang diciptakan Allah secara bertahap. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah:
لَتَرْكَبُنَّ طَبَقًا عَنْ طَبَقٍ. (الإنشقاق، 84: 19)
Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan).[6]
Ketika menafsirkan ayat di atas, Ahmad Musthafa al-Marâghi mengemukakan bahwa kamu akan melalui urusan demi urusan, kondisi demi kondisi sampai kembali tetap pada Tuhanmu, baik di sorga maupun di neraka. Termasuk dalam hal ini semua tahapan yang dilalui oleh manusia sejak kondisi “nuthfah” dalam rahim ibu sampai menjadi satu pribadi dan apa yang dilalui oleh manusia dalam kehidupan sejak masa kanak-kanak sampai tua kemudian mati, dihimpun, dihisab, terakhir dimasukkan ke dalam sorga atau neraka.[7]
Berdasarkan penafsiran ayat di atas, pembiasaan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak dalam mengerjakan salat harus dilaksanakan secara bertahap dan disiplin. Sbagai contoh dapat dikemukakan sebuah model pentahapan. Orang tua (ayah, ibu, wali) membiasakan anak usia tujuh tahun mengerjakan salat magrib. Anak harus mengerjakan salat magrib secara disiplin, sedangkan salat yang lain belum disuruh kecuali bila anak yang mau karena keinginan sendiri. Salat magrib ini tidak boleh tertinggal. Setelah berlangsung selama satu semester, maka beban pembiasaan ditambah dengan salat ashar. Dengan demikian,  anak harus mengerjakan salat dua kali dalam satu hari dengan disiplin dan kontinu. Setelah berlangsung selama satu semester pula ditambah satu salat lagi. Begitulah seterusnya. Dengan cara ini, insya Allah orang tua akan sukses.
Selain metode pembiasaan, hadis di atas juga memuat metode hukuman. Rasulullah SAW. menyuruh orangtua memukul anak bila meninggalkan salat setelah berusia 10 tahun.
Anak yang telah berusia sepuluh tahun tetapi masih meninggalkan salat dipandang telah melakukan pelanggaran. Oleh sebab itu, sepantasnya orang tua memberikan hukuman. Hal itu dimaksudkan agar anak menyadari kesalahannya sehingga tidak mau lagi mengulangi kesalahan tersebut. Hal itu sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh M. Ngalim Purwanto. Menurutnya, hukuman ialah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang (orang tua, guru, dan sebagainya) sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan, atau kesalahan.” Sebagai alat pendidikan, hukuman hendaklah: (a). senantiasa merupakan jawaban atas suatu pelanggaran, (b). sedikit-banyaknya selalu bersifat tidak menyenangkan, (c). selalu bertujuan ke arah perbaikan; hukuman itu hendaklah diberikan untuk kepentingan anak itu sendiri.[8]
Prinsip pokok dalam mengaplikasikan pemberian hukuman yaitu bahwa hukuman adalah jalan yang terakhir dan harus dilakukan secara terbatas dan tidak menyakiti anak didik. Tujuan utama dari pendekatan ini adalah untuk menyadarkan peserta didik dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan. Setiap pendidik hendaknya memperhatikan syarat-syarat dalam pemberian hukuman, yaitu: (1). Pemberian hukuman harus tetap dalam jalinan cinta, kasih, dan sayang, (2). Harus didasarkan kepada alasan “keharusan”, (3). Harus menimbulkan kesan di hati anak, (4). Harus menimbulkan keinsyafan dan penyesalan pada anak didik, dan (5). Diikuti dengan pemberian maaf dan harapan serta kepercayaan.[9]
Suatu hal yang perlu dikemukakan di sini adalah  bahwa hadis di atas tidak dapat dijadikan sebagai legitimasi dan dasar untuk melaksanakan aksi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hal itu berdasarkan beberapa alasan:
(1).         Pukulan terhadap anak yang diperintahkan oleh Rasulullah saw. itu tetap dalam kerangka kasih sayang, bukan menyakitkan, melukai dan dendam, sesuai dengan penjelasan yang dikemukakan oleh Al-'Alaqiy dan Al-'Alqamiy. Menurutnya, pemukulan diperintahkan hanya apabila anak berumur sepuluh tahun karena saat itulah batas penanggungan pukulan (sebelumnya belum pantas menerima pukulan). Yang dimaksud dengan pukulan di sini adalah  pukulan yang bukan melukai tidak menyakiti dan perlu dihindari pemukulan pada wajah.[10]
(2).         Sifat dan perlakuan kasar bertentangan dengan kepribadian Rasulullah saw. Hal itu dapat dilihat dalam beberapa hadis dan sirah beliau, antara lain:
(a).  Hadis Riwayat Bukhari dari Abu Sualiman Malik ibn al-Huwayris berkata: Kami, beberapa orang pemuda sebaya  datang kepada Nabi saw., lalu kami menginap bersama beliau selama 20 malam. Beliau adalah seorang yang halus perasaannya dan penyayang.[11]
(b). Hadis riwayat Muslim dari Anas bin Malik. Ia berkata, saya tidak pernah melihat orang yang lebih penyayang kepada keluarganya melebihi Rasulullah saw. Ibrahim (anak beliau) disusukan pada suatu keluarga di sebuah kampung di perbukitan Madinah. Pada suatu hari, beliau pergi menengoknya dan kami ikut bersama-sama dengan beliau. Setelah beliau memasuki rumah orang tua susuan Ibrahim, didapatinya rumah itu penuh asap karena orang tua itu seorang pandai besi, Nabi saw. menggendong bayinya lalu menciumnya.[12] Perbuatan Rasulullah sebagaimana tersebut dalam hadis di atas merupakan wujud nyata dari kesayangan beliau terhadap anaknya. Di celah-celah kesibukan sebagai seorang Rasulullah, beliau menyempatkan diri melihat anaknya yang sudah dititipkan kepada ibu susuannya, menggendong, dan menciumnya.
(c).  Hadis Riwayat Usamah bin Zaid. Usamah[13] ibn Zaid berkata, Rasulullah saw. mengambilku lalu mendudukkanku di atas pahanya dan mendudukan Hasan di atas pahanya yang lain. Kemudian, beliau mengumpulkan kami, lalu berdoa. Ya Allah, Kasihanilah keduanya karena aku mengasihi mereka.[14] Dalam hadis di atas kelihatan dengan jelas betapa kesayangan Nabi saw. kepada cucunya. Bukan hanya sekedar bermain, melainkan beliau juga mendoakan kepada Allah agar cucunya tersebut mendapat kasih sayang-Nya.
(d). Abu Hurairah menceritakan bahwa al-Aqra’ ibn Habis melihat Nabi saw. mencium al-Hasan. Ia berkata, ‘Saya mempunyai 10 orang anak. Tidak seorang pun di antara mereka yang saya cium’ . Lalu Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya orang yang tidak menyayangi tidak disayangi’[15]
(e). Muhammad Athiyah al-Abrâsyi mengemukakan bahwa Rasulullah saw. terkenal dengan sifat kasih sayang, berhati lembut, berjiwa baik, lemah lembut kepada orang lain, sayang kepada binatang dan merawat ayam yang sakit.[16]
(f). Muhammad Ali Shabban menulis bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang yang kasar dan bukan pula seorang yang suka mencela.[17]
Berdasarkan hadis-hadis dan riwayat di atas dapat dipahami bahwa perintah Rasulullah saw. untuk memukul anak yang meninggalkan ibadah salat setelah ia berumur 10 tahun hanyalah pukulan ringan yang tidak melukai dan tidak pula menyakitkan. Atau dapat pula dipahami bahwa anak yang meninggalkan salat pada usia tersebut perlu diberi sanksi (hukuman) agar ia menyadari kesalahannya dan tidak mau lagi meninggalkan salat. Dengan demikian  tidak dapat dikatakan bahwa berdasarkan perintah beliau, Rasulullah saw. mengizinkan pemberlakuan kekerasan dalam rumah tanggga.


[1]Ahmad ibn Hanbal, op.cit., juz 2, h. 187; Ibid., h. 180; Abu Dâwûd, op.cit., h. 133
[2]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT Rosdakaya, 2006), h. 122
[3]Mukallaf adalah  orang-orang yang menjadi sasaran hukum dan dituntut melaksanakannya. Lihat, Ali Hasbullah, Ushûl al-Tasyrî' al-Islâmiy, (Mesir: Dâr al-Ma'ârif, 1383 H/1964 M), cet. ke-3, h. 330
[4]Peter Salim & Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 1991), ed. 1,  h. 198
[5]Lihat, Armai Arief, Op.cit., h. 114-115
[6]Departemen Agama, Op.cit., h. 1041
[7]Lihat, Ahmad Musthafâ al-Marâghî, op.cit., jilid 10, juz 30, h. 95
[8]Lihat, M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remadja Karya, 1985), cet. ke-1, h. 236
[9]Lihat, Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), cet. ke-1, h. 131
[10]Lihat, Abu al-‘Ula Muhammad ‘Abd al-Rahman, ibn ‘Abd al-Rahim Al-Mubarakfuriy, Tuhfat al-Ahwaziy Syarh Jâmi’ al-Al-Tirmiziy, juz 1, (Al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabal-Salafiyah, 1387 H./1967 M), Cet. ke-2, h. 442; Âbâdiy, Op.cit., juz 2, h. 220
[11]Lihat, Al-Bukhâriy, Op.cit., juz 4, h. 2436
[12]Muslim, Op. cit., Juz 4, h. 1808
[13] Usmah adalah anak laki-laki Zaid ibn Harisah, anak angkat Nabi saw. Lihat Muhammmad Ali Shabban, Op.cit., h. 77.
[14]Lihat, Al-Bukhariy, Op.cit., juz 4, h. 2434
[15]Muslim, Op.cit., h. 1808-1809
[16]Lihat, Muhammad Athiyah al-Abrâsyi, 'Azhamah al-Rasûl Shalla Allâh 'alayh wa Sallam, (t.t.: Dâr al-Qalam, 1966), Cet. ke-2, h. 266
[17]Lihat, Muhammmad Ali Shabban, Op.cit., h. 44

Metode Pendidikan dalam Hadis: Metode Keteladanan/Demonstrasi


Oleh: Bukhari Umar

Dalam mendidik para sahabat, Rasulullah saw. menggunakan metode antara lain keteladanan. Sehubungan dengan hal ini ditemukan banyak hadis. Sebagai contoh dapat dilihat dalam pengajaran kaifiyat salat, bacaan salat, kedisiplinan waktu pelaksanakan salat dan pembentukan ketekunan beribadah.
1. Metode Keteladanan/Demonstrasi dalam Pengajaran Kaifiyat Salat
Berkaitan dengan pengajaran kaifiyat salat ditemukan hadis riwayat Muslim dari Aisyah:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَفْتِحُ الصَّلاَةَ بِالتَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةَ بِ الْحَمْد لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَكَانَ إِذَا رَكَعَ لَمْ يُشْخِصْ رَأْسَهُ وَلَمْ يُصَوِّبْهُ وَلَكِنْ بَيْنَ ذَلِكَ وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَائِمًا وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السَّجْدَةِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِيَ جَالِسًا وَكَانَ يَقُولُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى وَكَانَ يَنْهَى عَنْ عُقْبَةِ الشَّيْطَانِ وَيَنْهَى أَنْ يَفْتَرِشَ الرَّجُلُ ذِرَاعَيْهِ افْتِرَاشَ السَّبُعِ وَكَانَ يَخْتِمُ الصَّلاَةَ بِالتَّسْلِيمِ.[1] رواه مسلم
Aisyah berkata, "Rasulullah saw. memulai salat dengan takbir dan memulai bacaan dengan 'Al-hamd lillâh Rabb al-'âlamîn'. Bila rukuk, beliau tidak mendongakkan kepalanya dan tidak (pula) menundukkannya, tetapi di antara itu. Apabila bangkit dari rukuk, beliau tidak sujud sebelum berdiri betul-betul (lurus). Bila mengangkat kepalanya dari sujud, beliau tidak sujud lagi hingga duduk betul-betul. Beliau membaca 'al-tahiyyat' di tiap-tiap dua rakaat, dan membentangkan kaki kirinya dan mendirikan kaki kanan. Beliau melarang ''uqbat al-syaithân ' (cara duduk syaitan yaitu menghamparkan dua tapak kaki dan duduk di atas dua tumitnya) dan melarang seseorang membentangkan dua lengannya (di bumi) sebagai bentangan binatang buas. Selanjutnya, beliau mengakhiri salatnya dengan salam.
Hadis dengan maksud yang sama juga diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad dari Aisyah[2].
Informasi yang terkandung dalam hadis-hadis di atas antara lain adalah Rasulullah saw. telah memperlihatkan kepada sahabat kaifiyat (cara-cara) melaksanakan salat serta urutannya. Kaifiyat tersebut antara lain adalah: memulai salat dengan takbir, melakukan ruku', bangkit dari ruku', sujud, duduk antara dua sujud, duduk sambil membaca tahiyat, dan akhirnya beliau menutup kegiatan salat dengan mengucapkan salam. Dengan demikian,  beliau telah menggunakan metode keteladanan (demontrasi).
Penggunaan metode demontrasi dalam pengajaran kaifiyat salat ini merupakan hal yang sangat tepat. Hal itu dapat dipahami karena kesesuaian metode dengan kompetensi yang diharapkan dapat dimiliki oleh peserta didik. Dalam melaksanakan salat, umat Islam diperintahkan agar mengikuti cara yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Agar umat dapat mengerjakan sebagaimana rasul, sudah seyogianya beliau memberikan contoh. Hal itu dilakukan agar sahabat mudah memahami dan tidak melakukan kesalahan.
2. Metode Keteladanan/Demonstrasi dalam Pengajaran Bacaan Salat
Sehubungan dengan penggunaan metode keteladanan dalam pengajaran bacaan salat ditemukakan hadis:
عَنْ أَبُى هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَسْكُتُ بَيْنَ التَّكْبِيرِ وَبَيْنَ الْقِرَاءَةِ إِسْكَاتَةً - قَالَ أَحْسِبُهُ قَالَ هُنَيَّةً - فَقُلْتُ بِأَبِى وَأُمِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِسْكَاتُكَ بَيْنَ التَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةِ مَا تَقُولُ قَالَ « أَقُولُ اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِى وَبَيْنَ خَطَايَاىَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ ، اللَّهُمَّ نَقِّنِى مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ ، اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَاىَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَد[3]ِ . رواه البخارى
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa biasanya Rasulullah saw. diam sejenak antara takbir dan bacaan – ia berkata aku kira ia mengatakan sesaat -  aku bertanya, " Dengan bapak dan ibuku wahai Rasulullah! apa yang Engkau baca dalam keheninganmu antara takbir dan bacaan (Al-Fatihah)? Beliau menjawab, "Aku membaca, 'Allâhumma bâ'id baynî wa bayn khathâyâ kamâ bâ'adt bayn al-masyriq wa al-maghrib. Allâhumma naqqinî min al-khathâya kamâ yunaqqa al-tsawb al-abyadh min al-danas. Allâhumma aghsilnî min khathâyâyâ bi al-mâ'i wa a-tsalj al-barad'. (Ya Allah! Jauhkan antara aku dan dosaku sebagaimana Engkau telah menjauhkan Timur dari Barat, Ya Allah! Bersihkanlah aku dari dosa sebagaimana kain putih dibersihkan dari kotoran, Ya Allah! Cucilah kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan air embun.

Hadis dengan pengertian yang sama juga diriwayatkan oleh Muslim dari Abi Hurairah[4], Abi Dau dari Abi Hurairah[5], Al-Nasa'i dari Abi Hurairah[6], Ahmad dari Abi Hurairah[7]

Melalui hadis di atas dapat diketahui bahwa Rasulullah saw. telah meragakan bacaan doa iftitah di depan sahabatnya (dalam hal ini Abu Hurairah). Kendatipun bukan ini satu-satunya doa yang dibaca oleh Rasulullah saw. dalam iftitâh, namun yang jelas beliau telah menunjukkan dan meragakan bacaan tersebut. Selain menunjukkan waktu membaca, beliau juga telah memperdengarkan bacaan yang benar agar para sahabat dapat mengikutinya. Itu bearti bahwa Rasulullah saw. telah menggunakan metode keteladanan/ demonstrasi dalam mengajarkan bacaan salat.
Keteladanan Rasulullah saw. dalam mengajarakan kaifiyat dan bacaan salat, selain memperlihatkan dan memperdengarkan, juga meminta agar sahabat mengikuti praktek salat yang beliau laksanakan. Hal itu dapat dilihat dalam Hadis Riwayat Bukhari dan al-Darimi dari Abi Sulaiman Malik ibn al-Huwairis:
عَنْ أَبِي سُلَيْمَانَ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ أَتَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً فَظَنَّ أَنَّا اشْتَقْنَا أَهْلَنَا وَسَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا فِي أَهْلِنَا فَأَخْبَرْنَاهُ وَكَانَ رَفِيقًا رَحِيمًا فَقَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي وَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ[8]. رواه البخارى والدارمى
Abu Sualiman Malik ibn al-Huwayris berkata: Kami, beberapa orang pemuda sebaya  datang kepada Nabi saw., lalu kami menginap bersama beliau selama 20 malam. Beliau menduga bahwa kami telah merindukan keluarga dan menanyakan apa yang kami tinggalkan pada keluarga. Lalu, kami memberitahukannya kepada Nabi. Beliau adalah seorang yang halus perasaannya dan penyayang, lalu berkata: “Kembalilah kepada keluargamu! Ajarlah mereka, suruhlah mereka dan salatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya mengerjakan salat. Apabila waktu salat telah masuk, hendaklah salah seorang kamu mengumandangkan azan dan yang lebih senior hendaklah menjadi imam.
Informasi yang terkandung dalam hadis di atas antara lain adalah (1) ada sekelompok pemuda sebaya yang menginap di rumah Rasulullah saw. untuk belajar agama Islam, (2) mereka menginap selama 20 hari, (3) para pemuda melihat dan merasakan perlakuan Rasulullah saw. yang sangat baik, (4) Rasulullah saw. menyuruh para pemuda kembali kepada keluarga masing-masing untuk mengajarkan agama yang sudah beliau ajarkan, (5) Rasulullah saw. menyuruh mereka mengerjakan salat sebagaimana beliau sendiri telah mencontohkannya, (6) bila waktu salat telah masuk, Rasulullah saw. menyuruh mereka untuk mengumandangkan azan, dan (7) Rasulullah saw. menyuruh orang yang lebih senior untuk menjadi imam dalam salat berjamaah.
Dalam hadis ini, Rasulullah saw. memberikan penekanan pada peniruan/penyontohan cara mengerjakan salat sahabat kepada cara yang telah beliau perlihatkan sendiri. Itu berarti bahwa beliau sangat mengutamakan metode keteladan/demonstrasi.
3.      Metode Keteladanan dalam Kedisiplinan Waktu Pelaksanakan Salat
Ibadah salat fardu memiliki waktu tertentu.[9] Setiap muslim harus mengerjakan salat dimaksud dalam waktu yang telah ditentukan. Bila dikerjakan di luar waktu, maka salat tersebut dipandang tidak memenuhi persyaratan dan dianggap tidak sah. Oleh karena itu, ia belum dapat memenuhi kewajiban. Namun, ada orang yang terlambat menunaikan kewajiban ini karena berbagai hal, termasuk karena kesibukan dengan berbagai pekerjaan sehari-hari.
Rasulullah saw. telah memberikan keteladanan dalam hal mengerjakan salat segera setelah waktunya masuk. Beliau meninggalkan segala pekerjaannya ketika azan dikumandangkan. Informasi ini dapat dilihat dari hadis riwayat Bukhari, Al-Tirmizi,  Ahmad dari Aisyah:
عَنِ الأَسْوَدِ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ مَا كَانَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم يَصْنَعُ فِى أَهْلِهِ قَالَتْ كَانَ فِى مِهْنَةِ أَهْلِهِ ، فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ.[10] رواه البخارى
Al-Aswad meriwayatkan, "Aku bertanya kepada Aisyah, 'Bagaimana keadaan Rasulullah saw. bekerja? Aisyah menjawab: ketika beliau bekerja untuk urusan keluarganya, lalu masuk waktu salat, maka beliau langsung keluar (berhenti bekerja) lalu mengerjakan salat.
Hadis di atas menginformasikan bahwa (1) Rasulullah saw. ikut bekerja mengurus keluarganya,[11]Dengan demikian,  beliau telah memberikan keteladan bahwa pekerjaan rumah tangga tidak boleh menjadi penghalang bagi seseorang untuk mengerjakan salat pada awal waktu. dan (2) ketika waktu salat telah masuk, beliau langsung meninggalkan pekerjaannya untuk mendirikan salat.
4.      Metode Keteladanan dalam Membentuk Ketekunan Mendirikan Salat
Salat adalah  ibadah yang harus dilaksanakan dengan tekun dan terus menerus. Ia tidak boleh dilakukan bagaikan kedatangan air banjir, yaitu ketika bersemangat, salat dilakukan dengan banyak dan baik, tetapi bila kurang semangat, pelaksanaan salat mengalami penurunan bahkan tertinggal. Rasulullah saw. telah memberikan keteladanan dalam mendirikan salat termasuk salat malam (tahajjud). Sehubungan dengan ini terdapat hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah, Al-Tirmizi, Al-Nasa'I, Ahmad,  dari Al-Mughirah ibn Syu'bah:
عَنْ عَائِشَةَ رضى الله عنها أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَقُومُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ فَقَالَتْ عَائِشَةُ لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَقَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ: أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ عَبْدًا شَكُورًا. فَلَمَّا كَثُرَ لَحْمُهُ صَلَّى جَالِسًا فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ قَامَ ، فَقَرَأَ ثُمَّ رَكَعَ.[12] رواه البخارى
Aisyah r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. mendirikan salat pada waktu malam sehingga bengkak kedua kakinya lalu Aisyah bertanya, "Ya Rasulullah! Mengapa Anda melakukan (salat) sampai seperti ini? Padahal, Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang. Rasulullah saw. menjawab, "Apakah aku tidak ingin menjadi seorang hamba yang bersyukur?" Ketika badannya gemuk, beliau salat sedang duduk.
Di antara informasi yang terkandung dalam hadis-hadis di atas adalah bahwa Rasulullah saw. telah memperlihatkan kesungguhannya dalam mendirikan salat malam (tahajjud) di depan sahabat (Aisyah). Kesungguhan beliau beribadah tidak berkurang karena adanya berita gembira (informasi) bahwa beliau telah diampuni oleh Allah SWT. Beliau telah memberikan keteladanan bagaimana cara mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT.
Dari hadis-hadis di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah saw. telah mendidik umat (sahabat)nya mendirikan salat dengan metode keteladanan. Beliau menggunakan metode ini tentu dengan pertimbangan yang matang. Untuk semua aspek pendidikan salat, metode keteladanan ini dipandang sebagai suatu metode yang efektif. Pandangan ini didukung oleh teori pendidikan modern.
Menurut Linda dan Richard Eyre, contoh selalu menjadi guru yang baik dan yang diperbuat seseorang dapat berdampak luas, lebih jelas dan lebih berpengaruh daripada yang dikatakan.[13] Hal itu mudah dipahami mengingat kecenderungan meniru yang ada pada setiap manusia, bukan saja pada anak-anak melainkan juga orang dewasa. Perbedaannya adalah dalam intensitasnya. Orang dewasa meniru sambil menyeleksi dan memodifikasi seperlunya. Lain halnya dengan anak-anak. Menurut Ramayulis, dalam segala hal, anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak[14]. Senada dengan pendapat itu, Imam Bawani mengemukakan bahwa anak-anak pada usia tertentu cenderung meniru dan mengambil alih apa saja yang ada, tanpa mengetahui manfaat dan mudaratnya[15].
Manusia banyak belajar tentang berbagai kebiasaan dan tingkah laku melalaui proses peniruan terhadap kebiasaan dan tingkah laku kedua orang tua dan saudara-saudaranya. Ia mulai belajar bahasa dengan meniru kedua orang tua dan saudara-saudaranya dengan mengucapkan kata-kata secara berulang kali. Tanpa terbiasa mendengar orang mengucapkan suatu kata, manusia tidak bisa berbahasa lisan.
Dalam mengerjakan salat, kadang-kadang Rasulullah saw. memberikan ketegasan bahwa sahabat harus mengikutinya. Di lain waktu, beliau memberikan keteladanan tanpa perintah untuk mengikutinya. Dalam kajian pedagogi, yang pertama disebut 'keteladanan sengaja' sedangkan yang kedua disebut 'keteladanan yang tidak sengaja'. Keduanya digunakan oleh Rasulullah.
Apa yang dilakukan oleh Rasulullah di atas didukung oleh teori pendidikan saat ini sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Tafsir. Menurutnya, keteladanan itu ada dua macam, yaitu sengaja dan tidak sengaja. Keteladanan yang disengaja adalah keadaan yang sengaja diadakan oleh pendidik agar diikuti atau ditiru oleh peserta didik, seperti memberikan contoh membaca yang baik dan mengerjakan salat dengan benar. Keteladanan ini disertai penjelasan atau perintah agar diikuti. Keteladanan yang tidak disengaja adalah keteladanan dalam keilmuan, kepemimpinan, sifat keikhlasan dan sebagainya. Dalam pendidikan Islam, kedua macam keteladanan tersebut sama pentingnya.[16] Keteladanan yang tidak disengaja dilakukan secara informal, sedangkan yang disengaja dilakukan dengan formal. Keteladanan yang dilakukan secara informal itu kadang-kadang lebih efektif daripada yang formal.
Efektivitas metode keteladanan itu juga diakui oleh Muhammad Qutb. Menurutnya, keteladanan merupakan teknik pendidikan yang efektif dan sukses.[17] Hal itu berlaku terutama bagi anak-anak usia sekolah. Hal itu disebabkan oleh ketertarikan dan kesenangan anak. Anak-anak pada masa usia sekolah tertarik dan senang dengan kegiatan-kegiatan keagamaan yang mereka lihat dikerjakan oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka.
Perlu juga dikemukakan bahwa efektivitas penggunaan keteladanan sebagai alat pendidikan tidak berlaku untuk semua aspek pendidikan Islam. Keteladanan efektif untuk aspek-aspek pendidikan yang bertujuan membentuk sikap dan keterampilan tertentu. Keterampilan dapat berbentuk mengerjakan suatu perbuatan atau melafalkan ucapan-ucapan tertentu. Dalam pemberian pengetahuan-pengetahuan yang tidak aplikatif, penggunaan keteladanan dipandang tidak efektif, bahkan tidak dibutuhkan.
Bila dilihat berdasarkan jenis-jenis keteladanan, maka dapat dikatakan bahwa keteladanan Nabi dalam riwayat Abi Sulaman bin al-Huwairis di atas termasuk ke dalam keteladanan sengaja. Dalam hal ini, Rasulullah sengaja memperlihatkan cara pelaksanaan salat agar dicontoh oleh istrinya dan memerintahkan kepada para sahabat agar mencontoh beliau.
Kemampuan melaksanakan ibadah salat merupakan suatu keterampilan. Ia harus diajarkan, dilatihkan, dan dibimbingkan dengan keteladanan. Penggunaan alat-alat pendidikan yang lain hanya akan efektif untuk mengajarkan hal-hal yang bersifat informasi tentang salat, syarat-syarat, jumlah, fadilah, waktu-waktu dan hikmah-hikmahnya. Semua informasi ini belum cukup bagi peserta didik sebelum ia mampu melaksanakannya. Oleh sebab itu, keteladanan sangat urgen dalam pendidikan salat.


[1]Muslim, Op.cit., Juz 1, h. 357
[2]Abû, Op.cit., juz 1, h. 209; Ahmad ibn Hanbal, Op.cit., Juz 6, h. 21 dan 164
[3]Al-Bukhâriy, Op.cit., juz 1,  h. 292
[4]Muslim, Op.cit., h. 419
[5]Abû Dâwûd, Op.cit., 207
[6]Al-Imâm a-Hafizh Abdurrahmân Ahmad ibn Syu'aib Ali al-Nasâ'iy, Sunan al-Nasâ'iy, juz 2, (Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, t.th.), h. 91
[7]Ahmad ibn Hanbal, Op.cit., juz 2, h. 494
[8]Al-Bukhâriy, Op.cit., juz 4, h. 2436; Al-Dârimî, Op.cit.,, juz 1, h. 286
[9]Lihat QS. Surat Al-Nisa'/4: 103
[10]Al-Bukhârîy, Op.cit., juz 1, h. 265; juz 3, h. 2218; Al-Tirmiziy, Op.cit., juz 4, h. 66; Ahmad ibn Hanbal, op.cit. juz 6, h. 126
[11]Muhammad Ali Shabban mengemukakan bahwa Nabi SAW. melobangi sendiri sandalnya, menambal sendiri bajunya, memeras sendiri susu kambingnya dan melayani keluarganya. Muhammad Ali Shabban,  Teladan Suci Keluarga Nabi Akhlak dan Keajaibannya, , judul asli "Is’af a1-Râghibîn fî  Sifât al-Mustafã wa Fadãil Ahl Baytih al-Thâhirîn",  Terjemahan Idrus H. Alkaf, (Bandung: al-Bayan, 1994), Cet. ke-4, h. 47
[12]Al-Bukhâriy, Op.cit., juz 3, h. 1988; Al-Tirmiziy, Op.cit., juz 1, h. 257; Al-Nasâ'iy, Op.cit., juz 3, h. 242, dalam Al-Maktabah al-Syâmilah;  Ahmad ibn Hanbal, op.cit., juz 4, h. 251; dan Muslim, Op.cit., juz 4, h. 2171
[13]Linda dan Richard Eyre, Mengajar Nilai-nilai kepada Anak, Judul Asli “Teaching Your Children Values”, Terjemahan Alex Tri Kantjono Widodo, , (Jakarta: Gramedia, 1995), h. 29
[14]Lihat, Jalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 1989), h. 30
[15]Imam Bawani, Ilmu Jiwa Perkembangan dalam Konteks Pendidikan Islam, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990), h. 103
[16]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), h. 143
[17]Muhammad Qutb,  Sistem Pendidikan Islam, Penerjemah Salman Harun, (Bandung: Al-Maarif, 1984), h. 325

Pendidik dalam Perspektif Hadis: Sifat-sifat Pendidik



Oleh: Bukhari Umar

1. Sifat Lemah Lembut dan Kasih Sayang
عَنْ أَبِي سُلَيْمَانَ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ أَتَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً فَظَنَّ أَنَّا اشْتَقْنَا أَهْلَنَا وَسَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا فِي أَهْلِنَا فَأَخْبَرْنَاهُ وَكَانَ رَفِيقًا رَحِيمًا فَقَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي وَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ.[1] رواه البخارى
Abu Sualiman Malik ibn al-Huwayris berkata: Kami, beberapa orang pemuda sebaya  datang kepada Nabi saw., lalu kami menginap bersama beliau selama 20 malam. Beliau menduga bahwa kami telah merindukan keluarga dan menanyakan apa yang kami tinggalkan pada keluarga. Lalu, kami memberitahukannya kepada Nabi. Beliau adalah seorang yang halus perasaannya dan penyayang lalu berkata: “Kembalilah kepada keluargamu! Ajarlah mereka, suruhlah mereka dan salatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya mengerjakan salat. Apabila waktu salat telah masuk, hendaklah salah seorang kamu mengumandangkan azan dan yang lebih senior hendaklah menjadi imam.
Di antara informasi yang dapat dari hadis di atas adalah  (1). Ada sekelompok pemuda sebaya datang dan menginap di rumah Rasulullah SAW., (2). Pemuda itu belajar masalah agama (ibadah) kepada Rasulullah SAW. , (3). Rasulullah SAW. telah memperlakukan mereka dengan santun dan kasih sayang, (4). Rasulullah SAW. menyuruh mereka mengajarkan salat kepada keluarga masing-masing seperti beliau mengajar mereka. Di antara informasi tersebut, yang berkaitan erat dengan sub tema ini adalah beliau memperlakukan para sahabat tersebut dengan santun dan kasih sayang.
Pendidik yang mampu bersikap santun kepada peserta didiknya sesuai dengan tuntutan Allah dalam Alquran, sebagaimana terdapat dalam ayat-Nya:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ.
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali Imran/3: 159).
Ahmad musthafa Al-Maraghi menjelaskan, andaikata engkau (Muhammad) bersikap kasar dan galak dalam muamalah dengan mereka (kaum muslimin), niscaya mereka akan bercerai (bubar) meninggalkan engkau dan tidak menyenangimu. Sehingga engkau tidak bisa menyampaikan hidayah dan bimbingan kepada mereka ke jalan yang lurus. [2] Berdasarkan tafsir ini, seorang pendidik harus memiliki rasa santun kepada setiap peserta didiknya dalam proses pendidikan. Bila tidak, maka kekasaran itu akan menjadi penghalang baginya untuk mencapai tujuan pendidikan.
Sejalan dengan itu, Rasulullah SAW. menyampaikan secara lebih tegas agar umatnya (termasuk pendidik) agar memiliki rasa kasih sayang sebagaimana terlihat dalam hadis di atas.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا وَيَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ. رواه الترمذى
Ibn Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih kecil, tidak memuliakan yang lebih besar, tidak menyuruh berbuat makruf, dan tidak mencegah perbuatan munkar.

Kandungan hadis ini umum, termasuk semua umat Islam, umat Nabi Muhammad SAW. juga pendidik. Pendidik harus memiliki sifat kasih sayang kepada peserta didiknya agar mereka dapat menerima pendidikan dan pengajaran dengan hati yang senang dan nyaman. Segala proses edukatif yang dialkukan oleh pendidik harus diwarnai oleh sifat kasih sayang ini.
2.      Mengembalikan Ilmu kepada Allah
Seorang pendidik harus memiliki sifat tawaduk, tidak merasa paling tahu atau serba tahu. Bila ada hal-hal yang tidak diketahui dengan jelas, ia sebaiknya mengembalikan persoalan itu kepada Allah. Sehubungan dengan hal ini terdapat hadis:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهم - قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - عَنْ أَوْلاَدِ الْمُشْرِكِينَ فَقَالَ « اللَّهُ إِذْ خَلَقَهُمْ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوا عَامِلِينَ[3]. رواه البخارى ومسلم
Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. ditanya tentang anak-anak orang yang musyrik. Lalu beliau menjawab: Allah Maha Mengetahui apa yang akan mereka kerjakan pada saat ia diciptakan.
Dalam hadis ini dinyatakan bahwa Rasulullah SAW. ditanya oleh sahabat tentang nasib anak-anak orang musyrik pada hari kiamat nanti. Beliau menjawab, "Allah lebih mengetahui" atau "Allah mengetahui" apa yang mereka lakukan. Di sini terlihat bahwa Rasulullah SAW. tidak selalu menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, kendatipun beliau adalah Rasulullah. Beliau tidak merasa risih dengan sikap tidak memberikan jawaban yang pasti. Itulah sesungguhnya sikap yang harus dimiliki oleh setiap pendidik. Bila ternyata ada hal yang diragukan atau belum diketahui sama sekali, jangan segan mengatakan "Allah Yang Mahatahu. Itu adalah salah satu bentuk sikap tawadhu' seorang hamba.
3.      Memperhatikan Keadaan Peserta Didik

Agar pendidikan dan pembelajaran dapat terlaksana dengan efektif, pendidik perlu memperhatikan keadaan peserta didiknya. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah minat, perhatian, kemampuan dan kondisi jasmani peserta didik. Pendidik jangan sampai memberikan beban belajar yang sangat memberatkan peserta didik. Sehubungan dengan ini terdapat hadis:
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا بِالْمَوْعِظَةِ فِي الْأَيَّامِ كَرَاهَةَ السَّآمَةِ عَلَيْنَا[4]. رواه البخارى
Dari Ibnu Mas'ud, Nabi SAW. selalu menyelingi hari-hari belajar untuk kami untuk menghindari kebosanan kami.
Dalam hadis ini terdapat informasi bahwa Rasulullah saw. mengajar sahabat tidak setiap hari, tetapi ada waktu belajar dan ada pula waktu istirahat. Hal itu dilakukannya untuk menghindari kebosanan kepada pelajaran. Itu berarti bahwa Rasulullah saw. memperhatikan kondisi para sahabat (peserta didik) dalam mengajar. Peserta didik membutuhkan selingan waktu untuk beristirahat.
Menurut Muhammad Utsman Najati, di antara temuan riset mutakhir dalam proses belajar ialah jadwal waktu belajar. Dengan kata lain, dalam proses belajar harus ada jenjang waktu untuk istirahat. Hal  ini  sangat penting dalam proses belajar yang tepat dan cepat. Dengan mengatur jadwal waktu belajar, pelajaran yang akan disampaikan berikutnya dapat dicerna dengan baik. [5]Oleh karenanya, prinsip belajar dengan membagi waktu belajar  ini  dapat menghilangkan rasa lelah dan bosan.
Sebelum para ahli kejiwaan modern menemukan prinsip  ini, sudah sejak empat belas abad yang silam Alquran telah mempraktekkan prinsip  ini . Prinsip  ini  ditandai dengan peristiwa diturunkannya Alquran secara berangsur-angsur selama 23 tahun. Tujuannya ialah memberi ruang waktu yang dapat memungkinkan kaum muslim mudah menghafalkannya.
Dalam hadis di atas, Rasulullah SAW juga mempraktekkan prinsip “pembagian waktu belajar”. Ini sebagai metode mendidik jiwa para sahabatnya dengan tujuan agar mereka tidak merasa bosan. Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud RA. bahwa Nabi SAW dalam beberapa hari pernah memberi nasihat kepada kami sehingga perasaan benci dan bosan itu muncul pada diri kami  semua.”Abu Wail RA berkata: “Setiap hari Kamis, Abdullah memberi ceramah kepada sekelompok orang. Salah seorang di antara mereka berkata kepada beliau, Hai ayah Abdurrahman! Saya berharap engkau setiap hari memberi ceramah kepada kami.” Ia menjawab, “Aku tidak bisa setiap hari karena sesungguhnya aku tidak suka melihat kalian bosan. Aku memberi ceramah kepada kalian seperti Nabi SAW memberi peringatan kepada kami. Kami takut bila rasa bosan menimpa kami semua.[6]
Secara praktis, prinsip ini dilakukan Nabi SAW ketika menyuruh para sahabat mempelajari 10 ayat Alquran. Mereka tidak diperbolehkan mempelajari lebih dari itu kecuali setelah mereka benar-benar memahami dan mengamalkan ajaran yang terkandung dalam ayat tersebut. Abdullah bin Mas’üd RA berkata: “ Kami belajar pada Nabi SAW 10 ayat Alquran, setelah itu kami tidak belajar ayat Alquran hingga kami benar-benar mendalami 10 ayat tersebut.” Ditanya oleh temannya, “Apakah karena mengamalkannya?” Ia menjawab: “Benar
عن عائشة قال قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسلم: إِنَّ اللهَ لَمْ يَبْعَثْنِيْ مُعْنِتاً وَلاَ مُتَعَنِّتًا وَلَكِنْ بَعَثَنِيْ مُعَلِّمًا مُيَسِّرًا[7]. رواه مسلم
Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda kepada ‘Aisyah: “Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai orang yang menyusahkan dan merendahkan orang lain. Akan tetapi, Allah mengutusku sebagai seorang pengajar (guru) dan pemberi kemudahan.”
4.      Berlaku dan Berkata Jujur
Seorang pendidik harus bersifat jujur kepada peserta didiknya sebagaimana yang dipertunjukkan oleh Nabi SAW. dalam hadis berikut:
عن عمر بن الخطاب ...  قاَلَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ قاَلَ ماَ المْسَؤُْوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّاِئلِ....[8] رواه البخارى ومسلم.
Umar ibn al-Khatthâb meriwayatkan: … Jibril berkata lagi, Beritahukan kepadaku tentang hari kiamat! Rasulullah saw. menjawab: tentang masalah ini, saya tidak lebih tahu dari Anda. ...

Dalam hadis di atas dikatakan bahwa ketika Nabi SAW. ditanya oleh malaikat Jibril tentang hari kiamat, belia menjawab, saya tidak lebih tahu daripada Anda, saya sama-sama tidak tahu dengan Anda. Beliau tidak mentang-mentang Rasulullah, lalu menjawab semua yang ditanyakan kepadanya. Beliau tidak segan-segan mengatakan tidak tahu bila yang ditanyakan orang itu tidak diketahuinya. Inilah sifat yang harus dimiliki oleh setiap pendidik.
Seorang ilmuan, guru, dan pendidik harus bersifat jujur dan terbuka. Bila ditanya orang tentang suatu hal yang tidak diketahuinya, dia harus berani mengatakan tidak tahu. Jangan bergaya serba tahu. Jangan mengada-ada untuk menjaga gengsi keilmuan.







[1] Al-Bukhâriy, Op.cit., juz 4, h. 2436
[2] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Op.cit., Jilid 2, Juz 4, h. 113
[3]Al-Bukhari, Op.cit., h. Juz 1, h. 532
[4]Ibid., h. 42
[5] Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Perspektif Hadis, Op.cit., h. 195
[6] Al-Bukhariy, op.cit., h. 43
[7] Muslim, Op.cit., Juz 2, h. 1104
[8] Muslim, Op.cit., Juz 1, h. 36; al-Bukhari, Op.cit., juz 1, h. 31-32; Abu Dawud, Op.cit., Juz 4, h. 223-224; An-Nasâ'iy, Op.cit., Juz 15, h. 281 (dalam al-Maktabah al-Syâmilah).