Sabtu, 04 Desember 2010

Metode Pendidikan dalam Hadis: Metode Keteladanan/Demonstrasi


Oleh: Bukhari Umar

Dalam mendidik para sahabat, Rasulullah saw. menggunakan metode antara lain keteladanan. Sehubungan dengan hal ini ditemukan banyak hadis. Sebagai contoh dapat dilihat dalam pengajaran kaifiyat salat, bacaan salat, kedisiplinan waktu pelaksanakan salat dan pembentukan ketekunan beribadah.
1. Metode Keteladanan/Demonstrasi dalam Pengajaran Kaifiyat Salat
Berkaitan dengan pengajaran kaifiyat salat ditemukan hadis riwayat Muslim dari Aisyah:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَفْتِحُ الصَّلاَةَ بِالتَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةَ بِ الْحَمْد لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَكَانَ إِذَا رَكَعَ لَمْ يُشْخِصْ رَأْسَهُ وَلَمْ يُصَوِّبْهُ وَلَكِنْ بَيْنَ ذَلِكَ وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَائِمًا وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السَّجْدَةِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِيَ جَالِسًا وَكَانَ يَقُولُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى وَكَانَ يَنْهَى عَنْ عُقْبَةِ الشَّيْطَانِ وَيَنْهَى أَنْ يَفْتَرِشَ الرَّجُلُ ذِرَاعَيْهِ افْتِرَاشَ السَّبُعِ وَكَانَ يَخْتِمُ الصَّلاَةَ بِالتَّسْلِيمِ.[1] رواه مسلم
Aisyah berkata, "Rasulullah saw. memulai salat dengan takbir dan memulai bacaan dengan 'Al-hamd lillâh Rabb al-'âlamîn'. Bila rukuk, beliau tidak mendongakkan kepalanya dan tidak (pula) menundukkannya, tetapi di antara itu. Apabila bangkit dari rukuk, beliau tidak sujud sebelum berdiri betul-betul (lurus). Bila mengangkat kepalanya dari sujud, beliau tidak sujud lagi hingga duduk betul-betul. Beliau membaca 'al-tahiyyat' di tiap-tiap dua rakaat, dan membentangkan kaki kirinya dan mendirikan kaki kanan. Beliau melarang ''uqbat al-syaithân ' (cara duduk syaitan yaitu menghamparkan dua tapak kaki dan duduk di atas dua tumitnya) dan melarang seseorang membentangkan dua lengannya (di bumi) sebagai bentangan binatang buas. Selanjutnya, beliau mengakhiri salatnya dengan salam.
Hadis dengan maksud yang sama juga diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad dari Aisyah[2].
Informasi yang terkandung dalam hadis-hadis di atas antara lain adalah Rasulullah saw. telah memperlihatkan kepada sahabat kaifiyat (cara-cara) melaksanakan salat serta urutannya. Kaifiyat tersebut antara lain adalah: memulai salat dengan takbir, melakukan ruku', bangkit dari ruku', sujud, duduk antara dua sujud, duduk sambil membaca tahiyat, dan akhirnya beliau menutup kegiatan salat dengan mengucapkan salam. Dengan demikian,  beliau telah menggunakan metode keteladanan (demontrasi).
Penggunaan metode demontrasi dalam pengajaran kaifiyat salat ini merupakan hal yang sangat tepat. Hal itu dapat dipahami karena kesesuaian metode dengan kompetensi yang diharapkan dapat dimiliki oleh peserta didik. Dalam melaksanakan salat, umat Islam diperintahkan agar mengikuti cara yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Agar umat dapat mengerjakan sebagaimana rasul, sudah seyogianya beliau memberikan contoh. Hal itu dilakukan agar sahabat mudah memahami dan tidak melakukan kesalahan.
2. Metode Keteladanan/Demonstrasi dalam Pengajaran Bacaan Salat
Sehubungan dengan penggunaan metode keteladanan dalam pengajaran bacaan salat ditemukakan hadis:
عَنْ أَبُى هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَسْكُتُ بَيْنَ التَّكْبِيرِ وَبَيْنَ الْقِرَاءَةِ إِسْكَاتَةً - قَالَ أَحْسِبُهُ قَالَ هُنَيَّةً - فَقُلْتُ بِأَبِى وَأُمِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِسْكَاتُكَ بَيْنَ التَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةِ مَا تَقُولُ قَالَ « أَقُولُ اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِى وَبَيْنَ خَطَايَاىَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ ، اللَّهُمَّ نَقِّنِى مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ ، اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَاىَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَد[3]ِ . رواه البخارى
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa biasanya Rasulullah saw. diam sejenak antara takbir dan bacaan – ia berkata aku kira ia mengatakan sesaat -  aku bertanya, " Dengan bapak dan ibuku wahai Rasulullah! apa yang Engkau baca dalam keheninganmu antara takbir dan bacaan (Al-Fatihah)? Beliau menjawab, "Aku membaca, 'Allâhumma bâ'id baynî wa bayn khathâyâ kamâ bâ'adt bayn al-masyriq wa al-maghrib. Allâhumma naqqinî min al-khathâya kamâ yunaqqa al-tsawb al-abyadh min al-danas. Allâhumma aghsilnî min khathâyâyâ bi al-mâ'i wa a-tsalj al-barad'. (Ya Allah! Jauhkan antara aku dan dosaku sebagaimana Engkau telah menjauhkan Timur dari Barat, Ya Allah! Bersihkanlah aku dari dosa sebagaimana kain putih dibersihkan dari kotoran, Ya Allah! Cucilah kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan air embun.

Hadis dengan pengertian yang sama juga diriwayatkan oleh Muslim dari Abi Hurairah[4], Abi Dau dari Abi Hurairah[5], Al-Nasa'i dari Abi Hurairah[6], Ahmad dari Abi Hurairah[7]

Melalui hadis di atas dapat diketahui bahwa Rasulullah saw. telah meragakan bacaan doa iftitah di depan sahabatnya (dalam hal ini Abu Hurairah). Kendatipun bukan ini satu-satunya doa yang dibaca oleh Rasulullah saw. dalam iftitâh, namun yang jelas beliau telah menunjukkan dan meragakan bacaan tersebut. Selain menunjukkan waktu membaca, beliau juga telah memperdengarkan bacaan yang benar agar para sahabat dapat mengikutinya. Itu bearti bahwa Rasulullah saw. telah menggunakan metode keteladanan/ demonstrasi dalam mengajarkan bacaan salat.
Keteladanan Rasulullah saw. dalam mengajarakan kaifiyat dan bacaan salat, selain memperlihatkan dan memperdengarkan, juga meminta agar sahabat mengikuti praktek salat yang beliau laksanakan. Hal itu dapat dilihat dalam Hadis Riwayat Bukhari dan al-Darimi dari Abi Sulaiman Malik ibn al-Huwairis:
عَنْ أَبِي سُلَيْمَانَ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ أَتَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً فَظَنَّ أَنَّا اشْتَقْنَا أَهْلَنَا وَسَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا فِي أَهْلِنَا فَأَخْبَرْنَاهُ وَكَانَ رَفِيقًا رَحِيمًا فَقَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي وَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ[8]. رواه البخارى والدارمى
Abu Sualiman Malik ibn al-Huwayris berkata: Kami, beberapa orang pemuda sebaya  datang kepada Nabi saw., lalu kami menginap bersama beliau selama 20 malam. Beliau menduga bahwa kami telah merindukan keluarga dan menanyakan apa yang kami tinggalkan pada keluarga. Lalu, kami memberitahukannya kepada Nabi. Beliau adalah seorang yang halus perasaannya dan penyayang, lalu berkata: “Kembalilah kepada keluargamu! Ajarlah mereka, suruhlah mereka dan salatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya mengerjakan salat. Apabila waktu salat telah masuk, hendaklah salah seorang kamu mengumandangkan azan dan yang lebih senior hendaklah menjadi imam.
Informasi yang terkandung dalam hadis di atas antara lain adalah (1) ada sekelompok pemuda sebaya yang menginap di rumah Rasulullah saw. untuk belajar agama Islam, (2) mereka menginap selama 20 hari, (3) para pemuda melihat dan merasakan perlakuan Rasulullah saw. yang sangat baik, (4) Rasulullah saw. menyuruh para pemuda kembali kepada keluarga masing-masing untuk mengajarkan agama yang sudah beliau ajarkan, (5) Rasulullah saw. menyuruh mereka mengerjakan salat sebagaimana beliau sendiri telah mencontohkannya, (6) bila waktu salat telah masuk, Rasulullah saw. menyuruh mereka untuk mengumandangkan azan, dan (7) Rasulullah saw. menyuruh orang yang lebih senior untuk menjadi imam dalam salat berjamaah.
Dalam hadis ini, Rasulullah saw. memberikan penekanan pada peniruan/penyontohan cara mengerjakan salat sahabat kepada cara yang telah beliau perlihatkan sendiri. Itu berarti bahwa beliau sangat mengutamakan metode keteladan/demonstrasi.
3.      Metode Keteladanan dalam Kedisiplinan Waktu Pelaksanakan Salat
Ibadah salat fardu memiliki waktu tertentu.[9] Setiap muslim harus mengerjakan salat dimaksud dalam waktu yang telah ditentukan. Bila dikerjakan di luar waktu, maka salat tersebut dipandang tidak memenuhi persyaratan dan dianggap tidak sah. Oleh karena itu, ia belum dapat memenuhi kewajiban. Namun, ada orang yang terlambat menunaikan kewajiban ini karena berbagai hal, termasuk karena kesibukan dengan berbagai pekerjaan sehari-hari.
Rasulullah saw. telah memberikan keteladanan dalam hal mengerjakan salat segera setelah waktunya masuk. Beliau meninggalkan segala pekerjaannya ketika azan dikumandangkan. Informasi ini dapat dilihat dari hadis riwayat Bukhari, Al-Tirmizi,  Ahmad dari Aisyah:
عَنِ الأَسْوَدِ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ مَا كَانَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم يَصْنَعُ فِى أَهْلِهِ قَالَتْ كَانَ فِى مِهْنَةِ أَهْلِهِ ، فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ.[10] رواه البخارى
Al-Aswad meriwayatkan, "Aku bertanya kepada Aisyah, 'Bagaimana keadaan Rasulullah saw. bekerja? Aisyah menjawab: ketika beliau bekerja untuk urusan keluarganya, lalu masuk waktu salat, maka beliau langsung keluar (berhenti bekerja) lalu mengerjakan salat.
Hadis di atas menginformasikan bahwa (1) Rasulullah saw. ikut bekerja mengurus keluarganya,[11]Dengan demikian,  beliau telah memberikan keteladan bahwa pekerjaan rumah tangga tidak boleh menjadi penghalang bagi seseorang untuk mengerjakan salat pada awal waktu. dan (2) ketika waktu salat telah masuk, beliau langsung meninggalkan pekerjaannya untuk mendirikan salat.
4.      Metode Keteladanan dalam Membentuk Ketekunan Mendirikan Salat
Salat adalah  ibadah yang harus dilaksanakan dengan tekun dan terus menerus. Ia tidak boleh dilakukan bagaikan kedatangan air banjir, yaitu ketika bersemangat, salat dilakukan dengan banyak dan baik, tetapi bila kurang semangat, pelaksanaan salat mengalami penurunan bahkan tertinggal. Rasulullah saw. telah memberikan keteladanan dalam mendirikan salat termasuk salat malam (tahajjud). Sehubungan dengan ini terdapat hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah, Al-Tirmizi, Al-Nasa'I, Ahmad,  dari Al-Mughirah ibn Syu'bah:
عَنْ عَائِشَةَ رضى الله عنها أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَقُومُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ فَقَالَتْ عَائِشَةُ لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَقَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ: أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ عَبْدًا شَكُورًا. فَلَمَّا كَثُرَ لَحْمُهُ صَلَّى جَالِسًا فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ قَامَ ، فَقَرَأَ ثُمَّ رَكَعَ.[12] رواه البخارى
Aisyah r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. mendirikan salat pada waktu malam sehingga bengkak kedua kakinya lalu Aisyah bertanya, "Ya Rasulullah! Mengapa Anda melakukan (salat) sampai seperti ini? Padahal, Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang. Rasulullah saw. menjawab, "Apakah aku tidak ingin menjadi seorang hamba yang bersyukur?" Ketika badannya gemuk, beliau salat sedang duduk.
Di antara informasi yang terkandung dalam hadis-hadis di atas adalah bahwa Rasulullah saw. telah memperlihatkan kesungguhannya dalam mendirikan salat malam (tahajjud) di depan sahabat (Aisyah). Kesungguhan beliau beribadah tidak berkurang karena adanya berita gembira (informasi) bahwa beliau telah diampuni oleh Allah SWT. Beliau telah memberikan keteladanan bagaimana cara mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT.
Dari hadis-hadis di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah saw. telah mendidik umat (sahabat)nya mendirikan salat dengan metode keteladanan. Beliau menggunakan metode ini tentu dengan pertimbangan yang matang. Untuk semua aspek pendidikan salat, metode keteladanan ini dipandang sebagai suatu metode yang efektif. Pandangan ini didukung oleh teori pendidikan modern.
Menurut Linda dan Richard Eyre, contoh selalu menjadi guru yang baik dan yang diperbuat seseorang dapat berdampak luas, lebih jelas dan lebih berpengaruh daripada yang dikatakan.[13] Hal itu mudah dipahami mengingat kecenderungan meniru yang ada pada setiap manusia, bukan saja pada anak-anak melainkan juga orang dewasa. Perbedaannya adalah dalam intensitasnya. Orang dewasa meniru sambil menyeleksi dan memodifikasi seperlunya. Lain halnya dengan anak-anak. Menurut Ramayulis, dalam segala hal, anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak[14]. Senada dengan pendapat itu, Imam Bawani mengemukakan bahwa anak-anak pada usia tertentu cenderung meniru dan mengambil alih apa saja yang ada, tanpa mengetahui manfaat dan mudaratnya[15].
Manusia banyak belajar tentang berbagai kebiasaan dan tingkah laku melalaui proses peniruan terhadap kebiasaan dan tingkah laku kedua orang tua dan saudara-saudaranya. Ia mulai belajar bahasa dengan meniru kedua orang tua dan saudara-saudaranya dengan mengucapkan kata-kata secara berulang kali. Tanpa terbiasa mendengar orang mengucapkan suatu kata, manusia tidak bisa berbahasa lisan.
Dalam mengerjakan salat, kadang-kadang Rasulullah saw. memberikan ketegasan bahwa sahabat harus mengikutinya. Di lain waktu, beliau memberikan keteladanan tanpa perintah untuk mengikutinya. Dalam kajian pedagogi, yang pertama disebut 'keteladanan sengaja' sedangkan yang kedua disebut 'keteladanan yang tidak sengaja'. Keduanya digunakan oleh Rasulullah.
Apa yang dilakukan oleh Rasulullah di atas didukung oleh teori pendidikan saat ini sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Tafsir. Menurutnya, keteladanan itu ada dua macam, yaitu sengaja dan tidak sengaja. Keteladanan yang disengaja adalah keadaan yang sengaja diadakan oleh pendidik agar diikuti atau ditiru oleh peserta didik, seperti memberikan contoh membaca yang baik dan mengerjakan salat dengan benar. Keteladanan ini disertai penjelasan atau perintah agar diikuti. Keteladanan yang tidak disengaja adalah keteladanan dalam keilmuan, kepemimpinan, sifat keikhlasan dan sebagainya. Dalam pendidikan Islam, kedua macam keteladanan tersebut sama pentingnya.[16] Keteladanan yang tidak disengaja dilakukan secara informal, sedangkan yang disengaja dilakukan dengan formal. Keteladanan yang dilakukan secara informal itu kadang-kadang lebih efektif daripada yang formal.
Efektivitas metode keteladanan itu juga diakui oleh Muhammad Qutb. Menurutnya, keteladanan merupakan teknik pendidikan yang efektif dan sukses.[17] Hal itu berlaku terutama bagi anak-anak usia sekolah. Hal itu disebabkan oleh ketertarikan dan kesenangan anak. Anak-anak pada masa usia sekolah tertarik dan senang dengan kegiatan-kegiatan keagamaan yang mereka lihat dikerjakan oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka.
Perlu juga dikemukakan bahwa efektivitas penggunaan keteladanan sebagai alat pendidikan tidak berlaku untuk semua aspek pendidikan Islam. Keteladanan efektif untuk aspek-aspek pendidikan yang bertujuan membentuk sikap dan keterampilan tertentu. Keterampilan dapat berbentuk mengerjakan suatu perbuatan atau melafalkan ucapan-ucapan tertentu. Dalam pemberian pengetahuan-pengetahuan yang tidak aplikatif, penggunaan keteladanan dipandang tidak efektif, bahkan tidak dibutuhkan.
Bila dilihat berdasarkan jenis-jenis keteladanan, maka dapat dikatakan bahwa keteladanan Nabi dalam riwayat Abi Sulaman bin al-Huwairis di atas termasuk ke dalam keteladanan sengaja. Dalam hal ini, Rasulullah sengaja memperlihatkan cara pelaksanaan salat agar dicontoh oleh istrinya dan memerintahkan kepada para sahabat agar mencontoh beliau.
Kemampuan melaksanakan ibadah salat merupakan suatu keterampilan. Ia harus diajarkan, dilatihkan, dan dibimbingkan dengan keteladanan. Penggunaan alat-alat pendidikan yang lain hanya akan efektif untuk mengajarkan hal-hal yang bersifat informasi tentang salat, syarat-syarat, jumlah, fadilah, waktu-waktu dan hikmah-hikmahnya. Semua informasi ini belum cukup bagi peserta didik sebelum ia mampu melaksanakannya. Oleh sebab itu, keteladanan sangat urgen dalam pendidikan salat.


[1]Muslim, Op.cit., Juz 1, h. 357
[2]Abû, Op.cit., juz 1, h. 209; Ahmad ibn Hanbal, Op.cit., Juz 6, h. 21 dan 164
[3]Al-Bukhâriy, Op.cit., juz 1,  h. 292
[4]Muslim, Op.cit., h. 419
[5]Abû Dâwûd, Op.cit., 207
[6]Al-Imâm a-Hafizh Abdurrahmân Ahmad ibn Syu'aib Ali al-Nasâ'iy, Sunan al-Nasâ'iy, juz 2, (Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, t.th.), h. 91
[7]Ahmad ibn Hanbal, Op.cit., juz 2, h. 494
[8]Al-Bukhâriy, Op.cit., juz 4, h. 2436; Al-Dârimî, Op.cit.,, juz 1, h. 286
[9]Lihat QS. Surat Al-Nisa'/4: 103
[10]Al-Bukhârîy, Op.cit., juz 1, h. 265; juz 3, h. 2218; Al-Tirmiziy, Op.cit., juz 4, h. 66; Ahmad ibn Hanbal, op.cit. juz 6, h. 126
[11]Muhammad Ali Shabban mengemukakan bahwa Nabi SAW. melobangi sendiri sandalnya, menambal sendiri bajunya, memeras sendiri susu kambingnya dan melayani keluarganya. Muhammad Ali Shabban,  Teladan Suci Keluarga Nabi Akhlak dan Keajaibannya, , judul asli "Is’af a1-Râghibîn fî  Sifât al-Mustafã wa Fadãil Ahl Baytih al-Thâhirîn",  Terjemahan Idrus H. Alkaf, (Bandung: al-Bayan, 1994), Cet. ke-4, h. 47
[12]Al-Bukhâriy, Op.cit., juz 3, h. 1988; Al-Tirmiziy, Op.cit., juz 1, h. 257; Al-Nasâ'iy, Op.cit., juz 3, h. 242, dalam Al-Maktabah al-Syâmilah;  Ahmad ibn Hanbal, op.cit., juz 4, h. 251; dan Muslim, Op.cit., juz 4, h. 2171
[13]Linda dan Richard Eyre, Mengajar Nilai-nilai kepada Anak, Judul Asli “Teaching Your Children Values”, Terjemahan Alex Tri Kantjono Widodo, , (Jakarta: Gramedia, 1995), h. 29
[14]Lihat, Jalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 1989), h. 30
[15]Imam Bawani, Ilmu Jiwa Perkembangan dalam Konteks Pendidikan Islam, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990), h. 103
[16]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), h. 143
[17]Muhammad Qutb,  Sistem Pendidikan Islam, Penerjemah Salman Harun, (Bandung: Al-Maarif, 1984), h. 325

Pendidik dalam Perspektif Hadis: Sifat-sifat Pendidik



Oleh: Bukhari Umar

1. Sifat Lemah Lembut dan Kasih Sayang
عَنْ أَبِي سُلَيْمَانَ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ أَتَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً فَظَنَّ أَنَّا اشْتَقْنَا أَهْلَنَا وَسَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا فِي أَهْلِنَا فَأَخْبَرْنَاهُ وَكَانَ رَفِيقًا رَحِيمًا فَقَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي وَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ.[1] رواه البخارى
Abu Sualiman Malik ibn al-Huwayris berkata: Kami, beberapa orang pemuda sebaya  datang kepada Nabi saw., lalu kami menginap bersama beliau selama 20 malam. Beliau menduga bahwa kami telah merindukan keluarga dan menanyakan apa yang kami tinggalkan pada keluarga. Lalu, kami memberitahukannya kepada Nabi. Beliau adalah seorang yang halus perasaannya dan penyayang lalu berkata: “Kembalilah kepada keluargamu! Ajarlah mereka, suruhlah mereka dan salatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya mengerjakan salat. Apabila waktu salat telah masuk, hendaklah salah seorang kamu mengumandangkan azan dan yang lebih senior hendaklah menjadi imam.
Di antara informasi yang dapat dari hadis di atas adalah  (1). Ada sekelompok pemuda sebaya datang dan menginap di rumah Rasulullah SAW., (2). Pemuda itu belajar masalah agama (ibadah) kepada Rasulullah SAW. , (3). Rasulullah SAW. telah memperlakukan mereka dengan santun dan kasih sayang, (4). Rasulullah SAW. menyuruh mereka mengajarkan salat kepada keluarga masing-masing seperti beliau mengajar mereka. Di antara informasi tersebut, yang berkaitan erat dengan sub tema ini adalah beliau memperlakukan para sahabat tersebut dengan santun dan kasih sayang.
Pendidik yang mampu bersikap santun kepada peserta didiknya sesuai dengan tuntutan Allah dalam Alquran, sebagaimana terdapat dalam ayat-Nya:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ.
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali Imran/3: 159).
Ahmad musthafa Al-Maraghi menjelaskan, andaikata engkau (Muhammad) bersikap kasar dan galak dalam muamalah dengan mereka (kaum muslimin), niscaya mereka akan bercerai (bubar) meninggalkan engkau dan tidak menyenangimu. Sehingga engkau tidak bisa menyampaikan hidayah dan bimbingan kepada mereka ke jalan yang lurus. [2] Berdasarkan tafsir ini, seorang pendidik harus memiliki rasa santun kepada setiap peserta didiknya dalam proses pendidikan. Bila tidak, maka kekasaran itu akan menjadi penghalang baginya untuk mencapai tujuan pendidikan.
Sejalan dengan itu, Rasulullah SAW. menyampaikan secara lebih tegas agar umatnya (termasuk pendidik) agar memiliki rasa kasih sayang sebagaimana terlihat dalam hadis di atas.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا وَيَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ. رواه الترمذى
Ibn Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih kecil, tidak memuliakan yang lebih besar, tidak menyuruh berbuat makruf, dan tidak mencegah perbuatan munkar.

Kandungan hadis ini umum, termasuk semua umat Islam, umat Nabi Muhammad SAW. juga pendidik. Pendidik harus memiliki sifat kasih sayang kepada peserta didiknya agar mereka dapat menerima pendidikan dan pengajaran dengan hati yang senang dan nyaman. Segala proses edukatif yang dialkukan oleh pendidik harus diwarnai oleh sifat kasih sayang ini.
2.      Mengembalikan Ilmu kepada Allah
Seorang pendidik harus memiliki sifat tawaduk, tidak merasa paling tahu atau serba tahu. Bila ada hal-hal yang tidak diketahui dengan jelas, ia sebaiknya mengembalikan persoalan itu kepada Allah. Sehubungan dengan hal ini terdapat hadis:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهم - قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - عَنْ أَوْلاَدِ الْمُشْرِكِينَ فَقَالَ « اللَّهُ إِذْ خَلَقَهُمْ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوا عَامِلِينَ[3]. رواه البخارى ومسلم
Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. ditanya tentang anak-anak orang yang musyrik. Lalu beliau menjawab: Allah Maha Mengetahui apa yang akan mereka kerjakan pada saat ia diciptakan.
Dalam hadis ini dinyatakan bahwa Rasulullah SAW. ditanya oleh sahabat tentang nasib anak-anak orang musyrik pada hari kiamat nanti. Beliau menjawab, "Allah lebih mengetahui" atau "Allah mengetahui" apa yang mereka lakukan. Di sini terlihat bahwa Rasulullah SAW. tidak selalu menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, kendatipun beliau adalah Rasulullah. Beliau tidak merasa risih dengan sikap tidak memberikan jawaban yang pasti. Itulah sesungguhnya sikap yang harus dimiliki oleh setiap pendidik. Bila ternyata ada hal yang diragukan atau belum diketahui sama sekali, jangan segan mengatakan "Allah Yang Mahatahu. Itu adalah salah satu bentuk sikap tawadhu' seorang hamba.
3.      Memperhatikan Keadaan Peserta Didik

Agar pendidikan dan pembelajaran dapat terlaksana dengan efektif, pendidik perlu memperhatikan keadaan peserta didiknya. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah minat, perhatian, kemampuan dan kondisi jasmani peserta didik. Pendidik jangan sampai memberikan beban belajar yang sangat memberatkan peserta didik. Sehubungan dengan ini terdapat hadis:
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا بِالْمَوْعِظَةِ فِي الْأَيَّامِ كَرَاهَةَ السَّآمَةِ عَلَيْنَا[4]. رواه البخارى
Dari Ibnu Mas'ud, Nabi SAW. selalu menyelingi hari-hari belajar untuk kami untuk menghindari kebosanan kami.
Dalam hadis ini terdapat informasi bahwa Rasulullah saw. mengajar sahabat tidak setiap hari, tetapi ada waktu belajar dan ada pula waktu istirahat. Hal itu dilakukannya untuk menghindari kebosanan kepada pelajaran. Itu berarti bahwa Rasulullah saw. memperhatikan kondisi para sahabat (peserta didik) dalam mengajar. Peserta didik membutuhkan selingan waktu untuk beristirahat.
Menurut Muhammad Utsman Najati, di antara temuan riset mutakhir dalam proses belajar ialah jadwal waktu belajar. Dengan kata lain, dalam proses belajar harus ada jenjang waktu untuk istirahat. Hal  ini  sangat penting dalam proses belajar yang tepat dan cepat. Dengan mengatur jadwal waktu belajar, pelajaran yang akan disampaikan berikutnya dapat dicerna dengan baik. [5]Oleh karenanya, prinsip belajar dengan membagi waktu belajar  ini  dapat menghilangkan rasa lelah dan bosan.
Sebelum para ahli kejiwaan modern menemukan prinsip  ini, sudah sejak empat belas abad yang silam Alquran telah mempraktekkan prinsip  ini . Prinsip  ini  ditandai dengan peristiwa diturunkannya Alquran secara berangsur-angsur selama 23 tahun. Tujuannya ialah memberi ruang waktu yang dapat memungkinkan kaum muslim mudah menghafalkannya.
Dalam hadis di atas, Rasulullah SAW juga mempraktekkan prinsip “pembagian waktu belajar”. Ini sebagai metode mendidik jiwa para sahabatnya dengan tujuan agar mereka tidak merasa bosan. Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud RA. bahwa Nabi SAW dalam beberapa hari pernah memberi nasihat kepada kami sehingga perasaan benci dan bosan itu muncul pada diri kami  semua.”Abu Wail RA berkata: “Setiap hari Kamis, Abdullah memberi ceramah kepada sekelompok orang. Salah seorang di antara mereka berkata kepada beliau, Hai ayah Abdurrahman! Saya berharap engkau setiap hari memberi ceramah kepada kami.” Ia menjawab, “Aku tidak bisa setiap hari karena sesungguhnya aku tidak suka melihat kalian bosan. Aku memberi ceramah kepada kalian seperti Nabi SAW memberi peringatan kepada kami. Kami takut bila rasa bosan menimpa kami semua.[6]
Secara praktis, prinsip ini dilakukan Nabi SAW ketika menyuruh para sahabat mempelajari 10 ayat Alquran. Mereka tidak diperbolehkan mempelajari lebih dari itu kecuali setelah mereka benar-benar memahami dan mengamalkan ajaran yang terkandung dalam ayat tersebut. Abdullah bin Mas’üd RA berkata: “ Kami belajar pada Nabi SAW 10 ayat Alquran, setelah itu kami tidak belajar ayat Alquran hingga kami benar-benar mendalami 10 ayat tersebut.” Ditanya oleh temannya, “Apakah karena mengamalkannya?” Ia menjawab: “Benar
عن عائشة قال قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسلم: إِنَّ اللهَ لَمْ يَبْعَثْنِيْ مُعْنِتاً وَلاَ مُتَعَنِّتًا وَلَكِنْ بَعَثَنِيْ مُعَلِّمًا مُيَسِّرًا[7]. رواه مسلم
Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda kepada ‘Aisyah: “Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai orang yang menyusahkan dan merendahkan orang lain. Akan tetapi, Allah mengutusku sebagai seorang pengajar (guru) dan pemberi kemudahan.”
4.      Berlaku dan Berkata Jujur
Seorang pendidik harus bersifat jujur kepada peserta didiknya sebagaimana yang dipertunjukkan oleh Nabi SAW. dalam hadis berikut:
عن عمر بن الخطاب ...  قاَلَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ قاَلَ ماَ المْسَؤُْوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّاِئلِ....[8] رواه البخارى ومسلم.
Umar ibn al-Khatthâb meriwayatkan: … Jibril berkata lagi, Beritahukan kepadaku tentang hari kiamat! Rasulullah saw. menjawab: tentang masalah ini, saya tidak lebih tahu dari Anda. ...

Dalam hadis di atas dikatakan bahwa ketika Nabi SAW. ditanya oleh malaikat Jibril tentang hari kiamat, belia menjawab, saya tidak lebih tahu daripada Anda, saya sama-sama tidak tahu dengan Anda. Beliau tidak mentang-mentang Rasulullah, lalu menjawab semua yang ditanyakan kepadanya. Beliau tidak segan-segan mengatakan tidak tahu bila yang ditanyakan orang itu tidak diketahuinya. Inilah sifat yang harus dimiliki oleh setiap pendidik.
Seorang ilmuan, guru, dan pendidik harus bersifat jujur dan terbuka. Bila ditanya orang tentang suatu hal yang tidak diketahuinya, dia harus berani mengatakan tidak tahu. Jangan bergaya serba tahu. Jangan mengada-ada untuk menjaga gengsi keilmuan.







[1] Al-Bukhâriy, Op.cit., juz 4, h. 2436
[2] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Op.cit., Jilid 2, Juz 4, h. 113
[3]Al-Bukhari, Op.cit., h. Juz 1, h. 532
[4]Ibid., h. 42
[5] Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Perspektif Hadis, Op.cit., h. 195
[6] Al-Bukhariy, op.cit., h. 43
[7] Muslim, Op.cit., Juz 2, h. 1104
[8] Muslim, Op.cit., Juz 1, h. 36; al-Bukhari, Op.cit., juz 1, h. 31-32; Abu Dawud, Op.cit., Juz 4, h. 223-224; An-Nasâ'iy, Op.cit., Juz 15, h. 281 (dalam al-Maktabah al-Syâmilah).

Kamis, 02 Desember 2010

Pendidik dalam Perspektif Hadis: Syarat-syarat Pendidik

Oleh: Bukhari Umar
 
Pendidik adalah orang yang paling berpengaruh terhadap perkembangan peserta didik. Oleh sebab itu, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan menjadi pendidik. Menurut hadis, syarat-syarat tersebut adalah:
1.      Pendidik harus beriman
Pendidik adalah  orang yang bertanggung jawab membimbing anak untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Agar tujuan tersebut dapat tercapai, pendidik terlebih dahulu harus beriman. Sehubungan dengan ini, terdapat hadis sebagai berikut:
عن سفيان بن عبد الله الثقفي قال قُلْتُ ياَ رَسُوْلُ اللهِ قُلْ لِيْ فِي الإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ (وَفِي حَدِيْثِ أَبِي أُسَامَةَ غَيْرَكَ)  : قَالَ قُلْ آمَنْتُ باِللهِ فَاسْتَقِمْ.[1] رواه مسلم وأحمد
Sufyan bin Abdullah al-Saqafiy meriwayatkan bahwa ia berkata kepada Rasulullah: Ya Rasulullah ! Katakanlah kepada saya sesuatu tentang Islam yang tidak akan saya tanyakan lagi sesudah Engkau! Nabi berkata: Katakanlah! Saya beriman kepada Allah lalu tetapkanlah pendirianmu.
Hadis ini menunjukkan bahwa iman kepada Allah dan istiqamah dengan pengakuan keimanan itu merupakan suatu hal yang sudah cukup dan memadai bagi seseorang muslim. Oleh karena itu, para pendidik harus berusaha agar peserta didik  memiliki iman yang kuat dan teguh pendirian dalam melaksanakan tuntutan iman tersebut. Segala aktivitas kependidikan agar diarahkan menuju terbentuknya pribadi-pribadi yang beriman. Bila yang diinginkan adalah peserta didik  yang beriman kepada Allah, maka terlebih dahulu pendidik harus beriman. Tidak mungkin orang yang tidak beriman mampu membina orang menjadi orang beriman. Orang yang tidak memiliki tidak akan mampu memberi.
2.      Pendidik harus berilmu
Sehubungan dengan ini ditemukan hadis sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا ، يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا ، اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا ، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا.[2] رواه البخارى
Abdullah ibn 'Amru ibn al-'Ash meriwayatkan bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah tidak menarik ilmu penetahuan kembali dengan mencabutnya hati sanubar manusia, akan tetapi dengan mewafatkan orang-orang berpengetahuan (ulama).Apabila tidak ada lagi orang alim yang tersisa, manusia akan mengangkat orang bodoh menjadi pemimpin yang dijadikan tempat bertanya. Lalu orang-orang bodoh itu ditanya dan mereka berfatwa tanpa ilmu mengakibatkan mereka sesat dan menyesatkan.
Ibnu Hajar menjelaskan bahwa hadis ini berisi anjuran menjaga ilmu, peringatan bagi pemimpin yang bodoh, peringatan bahwa yang berhak mengeluarkan fatwa adalah pemimpin yang benar-benar mengetahui, dan larangan bagi orang yang berani mengeluarkan fatwa tanpa berdasarkan ilmu pengetahuan. Hadis ini juga dijadikan alasan oleh jumhur ulama untuk mengatakan, bahwa pada zaman sekarang ini tidak ada lagi seorang mujtahid.[3]
Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa orang yang berfatwa dan mengajar harus berilmu pengetahuan. Termasuk dalam hal ini adalah pendidik, guru. Bila pendidik tidak berilmu pengetahuan, maka murid-murid yang diajarnya akan sesat atau dalam bahasa kependidikan bila guru tidak profesional akan mengakibatkan proses pembelajaran akan sia-sia. Dalam Undang-undang Guru dan Dosen Republik Indonesia, salah satu syarat bagi guru adalah profesional. Sehubungan dengan ini, Rasulullah SAW. bersabda:
عن أَبى هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ أفْتى بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ إِثْمُهُ عَلَى مَنْ أَفْتَاهُ[4]. رواه أبو داود
Dari Abi Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, Siapa yang berfatwa tanpa ilmu, maka dosanya akan dipikul oleh orang yang berfatwa itu.
Dalam hadis ini, Rasulullah SAW. menyebut, siapa yang berfatwa. Berfatwa adalah memberikan ilmu kepada orang lain. Mengajar dan mendidik juga memberikan ilmu kepada orang lain. Dengan demikian,  keduanya sama. Berfatwa dan mendidik, mengajar tanpa ilmu akan menyesatkan orang lain. Karena, Rasulullah SAW. melarang keras berfatwa bila seseorang tidak memiliki ilmu.
3.      Pendidik Harus Mengamalkan Ilmunya
Selain berilmu, pendidik harus mengamalkan ilmunya. Berkaitan dengan ini terdapat hadis:
عَنْ ِأُسَامَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ أَيْ فُلاَنُ مَا شَأْنُكَ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنْ الْمُنْكَرِ قَالَ كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ وَأَنْهَاكُمْ عَنْ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ.[5] رواه البخارى
Usamah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Seseorang akan didatangkan pada hari kiamat dan dilemparkan ke neraka. Maka usus-ususnya keluar di neraka. Ia pun berputar sebagaimana berputarnya keledai di penggilingan. Para penghuni neraka berkumpul kepadanya dan bertanya, wahal fulan! Ada apa denganmu? Bukankah engkau dahulu memerintahkan kami untuk melakukan yang ma ‘ruf dan melarang kami dari perbuatan munkar? Ia menjawab, ‘Dahulu aku memerintahkan kamu kepada yang ma‘ruf tetapi aku tidak melakukannya, dan aku melarang kamu dan perbuatan mungkar tetapi aku mengerjakannya,”
Hadis di atas menjelaskan siksaan Allah yang bakal diterima oleh orang yang mengajarkan kebaikan (al-amr bi al-ma'ruf) tetapi ia sendiri tidak mengerjakannya, dan orang yang menasihati orang agar meninggalkan yang jelek (al-nahy 'an al-munkar) tetapi ia sendiri mengerjakannya. Tugas tersebut adalah  salah satu yang dikerjakan oleh pendidik, guru. Jadi guru harus mengamalkan ilmu yang diajarkannya kepada peserta didiknya agar terhindar dari siksa Allah.
4. Pendidik harus adil
Sehubungan dengan ini ditemukan hadis
عن النُّعْمَان بْنَ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اعْدِلُوا بَيْنَ أَبْنَائِكُمْ اعْدِلُوا بَيْنَ أَبْنَائِكُمْ.[6] رواه النسائى والبيهقى
Dari Nu'man  ibn Basyir, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: berlaku adillah kamu di antara anak-anakmu! Berlaku adillah kamu di antara anak-anakmu!
Dalam hadis ini dengan tegas Rasulullah saw. memerintahkan kepada para sahabat (umatnya) agar berlaku adil terhadap anak-anaknya. Dalam konteks pendidikan, peserta didik itu adalah anak oleh pendidiknya. Dengan demikian,  pendidik wajib berlaku adil dalam berbagai hal terhadap peserta didiknya.
Muhammad Athiyah Al-Abrasyi menegaskan agar pendidik itu harus memiliki sifat-sifat keadilan, kesucian, dan kesempurnaan.[7] Keadilan pendidik terhadap peserta didik mencakup dalam berbagai hal, seperti: memberikan perhatian, kasih sayang, pemenuhan kebutuhan, bimbingan, pengajaran dan pemberian nilai. Bila sifat ini tidak dimiliki oleh seorang pendidik, maka ia tidak akan disenangi oleh peserta didiknya. Bila ini terjadi proses pembelajaran tidak akan mendapatkan hasil yang optimal.
5. Pendidik Harus Berniat Ikhlas
Berkaitan dengan niat ikhlas ini ditemukan hadis:
عن أمير المؤمنين عمر ابن الخطاب رضى الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: إِنَّمَا الأَعْمَاُلُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ ماَّنَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إَلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَو امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَاهَاجَرَ إِلَيْهِ[8] (رواه البخارى ومسلم).
Umar bin Khaththab RA berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Tiap-tiap amal perbuatan harus disertai dengan niat, balasan bagi setiap amal manusia sesuai dengan apa yang diniatkan. Barangsiapa yang berhijrah untuk mengharapkan dunia atau seorang perempuan untuk dinikahi, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkan.”
Ibnu Hajar menjelaskan bahwa tiap-tiap amal perbuatan harus disertai dengan niat. Menurut Al Khauyi, seakan-akan Rasulullah memberi pengertian bahwa niat itu bermacam-macam sebagaimana perbuatan. Seperti orang yang melakukan perbuatan dengan motivasi ingin mendapat ridha Allah dan apa yang dijanjikan kepadanya, atau ingin menjauhkan diri dari ancamanNya.[9] Niat yang benar adalah keinginan dalam hati dalam melaksanakan suatu kegiatan untuk mendapatkan keridhaan Allah.
Pendidik hendaknya membebaskan niatnya, semata-mata untuk Allah dalam seluruh pekerjaan edukatifnya, baik berupa perintah, larangan, nasihat, pengawasan atau hukuman. Buah yang dipetiknya adalah, ia akan melaksanakan metode pendidikan, mengawasi anak secara edukatif terus-menerus, di samping mendapat pahala dan keridhaan Allah. Ikhlas dalam perkataan dan perbuatan adalah sebagian dari asas iman dan keharusan Islam. Allah tidak akan menerima perbuatan tanpa dikerjakan secara ikhlas.[10] Perintah untuk ikhlas, tercantum dalam Al-Qur’an dengan tegas, Surat Al-Bayyinah: 5.
Kata ikhlash terambil dari kata khalasha. Menurut Husain Mazhahiri, kata  khalasha, kata khalushan, dan kata khalashan berarti jernih, lenyap kotoran darinya. Kalimat akhlasha sy-syai’a berarti menjernihkan dan menyucikannya dari kotorannya. Adapun kalimat " dia mengikhlaskan agamanya hanya untuk Allah” berarti dia meninggalkan sifat riya di dalam agamanya. Barangsiapa yang pikiran, perbuatan, dan ucapannya sejalan dengan apa yang terdapat di dalam Al-Qur’an al-Karim maka dia adalah orang yang ikhlas kepada Allah, dan dia akan senantiasa berada dalam pertolongan-Nya dalam menjalani peperangan berkecamuk dalam dirinya, untuk kemudian setelah itu ia samapai kepada tujuan-tujuan yang luhur. [11]
Mengapa pendidik harus memiliki niat yang ikhlas? Dengan keikhlasan karena Allah, pendidik dalam melaksanakan tugasnya akan mendapatkan kemudahan. Karena sasaran pendidikan itu adalah hati. Apa yang diberikan dengan hati akan diterima oleh hati dengan baik. Dengan demikian,  proses pendidikan akan mencapai hasil yang optimal. Selain itu dan yang tidak kalah pentingnya adalah semua proses pendidikan yang diberikan oleh pendidik dengan ikhlas akan dihitung sebagai ibadah kepada Allah. Jadi, sangat rugi pendidikan yang melaksanakan tugas kependidikannya tanpa disertai dengan niat yang ikhlas.
Selain bersifat ikhlas, pendidik harus mengajar peserta didik untuk berbuat ikhlas, baik di dalam melaksanakan pekerjaan atau-pun proses belajarnya. Semuanya itu harus mereka laksanakan dengan ikhlas, demi mendapatkan rida dari Allah SWT. Jangan sampai, perbuatan tersebut dilandaskan pada sifat munafik, riya, atau hanya ingin mendapatkan rasa terima kasih dan pujian dari orang-orang.
Segala bentuk pekerjaan dinilai sesuai dengan niat pelakunya. Oleh sebab itu, proses pendidikan dapat bernilai ibadah bila orang yang melaksanakannya mempunyai niat yang ikhlas. Agar mendapat pahala dari Allah, pendidik harus mendidik/mengajar dengan niat mengerjakan perintah Allah dan mengharapkan rida-Nya. Niat merupakan salah satu motivasi intrinsik (dorongan yang berada di dalam diri seseorang). Motivasi ini sangat besar pengaruhnya kepada hasil pekerjaan seseorang. Oleh sebab itu, dalam kegiatan belajar mengajar, pendidik dan peserta didik harus mempunyai motivasi yang benar.
6. Pendidik harus Berlapang Dada
Berlapang dada adalah  sikap ntidak mudah marah dan apabila marah dapat mengendalikan diri secara normal. Sehubungan dengan ini ditemukan hadis:
عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَشْيَاءَ كَرِهَهَا فَلَمَّا أُكْثِرَ عَلَيْهِ غَضِبَ ثُمَّ قَالَ لِلنَّاسِ سَلُونِي عَمَّا شِئْتُمْ قَالَ رَجُلٌ مَنْ أَبِي قَالَ أَبُوكَ حُذَافَةُ فَقَامَ آخَرُ فَقَالَ مَنْ أَبِي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُوكَ سَالِمٌ مَوْلَى شَيْبَةَ فَلَمَّا رَأَى عُمَرُ مَا فِي وَجْهِهِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَتُوبُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ.[12] رواه البخارى.
Dari Abu Musa radhiallahu anhu, dia berkata, “Seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mengenai perkara yang tidak disukai beliau. Maka tatkala orang itu terrlalu banyak bertanya, Nabi menjadi marah. Kemudian beliau berkata, “Tanyakanlah apa yang hendak kamu tanyakan.”Seorang laki-laki bertanya, “Siapakah bapakku?” Nabi menjawab. “Bapakmu, Hudzafah.” Bertanya pula yang lain, “Siapakah bapakku hai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Bapakmu Salim, hamba sahaya Syaibah.”Tatkala Umar bin Khaththab,) melihat rasa kurang senang tergambar di wajah Rasululluh karena soal-soal yang tidak menentu itu. segera ia berkata, "Wahai Rasulullah SAW. ! Kami tobat kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Agung.
Dalam hadis di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah saw. juga merasa marah ketika ada hal-hal yang tidak diinginkannya ditampilkan di depannya. Dalam kasus ini, sahabat bertanya banyak tentang hari kiamat. Akan tetapi kemarahan beliau itu tidak sempat menghilangkan sifat lapangan dadanya.
Menurut Ibnu Hajar, bahwa orang yang memberi nasihat boleh menampakkan sikap marah, karena dia sebagai orang yang memberi peringatan. Begitu juga seorang guru, jika dia mencela kesalahan murid yang belajar kepadanya. Karena terkadang hal itu terpaksa dia lakukan agar si murid dapat menerima kebenaran darinya, akan tetapi hal itu harus disesuaikan dengan keadaan psikologi masing-masing murid. [13]
Sikap lapang dada dan jauh dari kedengkian akan mewujudkan keseimbangan jiwa bagi manusia dan akan membiasakannya untuk selalu cinta kepada kebaikan bagi masyarakat. Ia juga akan memberikan jalan bagi kebaikan pada jiwa manusia untuk sampai kepada puncaknva. Nabi telah memberiikan bimbingan sahabat Anas bin Malik - ketika masih kecil  agar mencuci noda-noda jiwa setiap pagi dan petang dengan cara memberikan maaf kepada setiap orang yang berbuat jahil  kepadanya, dan juga mengosongkan hatinya dari sisa-sisa hembusan setan ke dalam akal pikiran.[14]
Kelapangan dada Nabi SAW. juga terlihat dalam kasus seorang Arab Badui yang kencing dalam masjid seperti terekam dalam hadis:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ أَعْرَابِيًّا بَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَقَامَ إِلَيْهِ بَعْضُ الْقَوْمِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُوهُ وَلاَ تُزْرِمُوهُ قَالَ فَلَمَّا فَرَغَ دَعَا بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَصَبَّهُ عَلَيْهِ[15]. رواه البخارى
Dari Anas, sesungguhnya seorang Arab kencing dalam masjid. Lalu orang-orang berdiri dan menghadang ke sana. Rasulullah SAW. bersabda, biarkanlah dia (sampai selesai), jangan hentikan. Setelah selesai, beliau  meminta setimba air lalu menyiram kencing laki-laki itu.
Laki-laki yang kencing itu adalah orang Arab Badwi. Ia kencing mungkin karena ketidaktahuannya akan najis, atau karena sebab lain. Yang jelas, Rasulullah SAW. tidak marah kepadanya dan melarang sahabat untuk memarahinya. Dalam kasus ini, Rasulullah SAW. sendiri yang langsung menyiram/membasuh kencing itu. Dalam hadis ini terlihat betapa berlapang dadanya Rasulullah SAW. sebagai rasul dan pendidik.


[1]Muslim, Op.cit., Juz 1, h. 65
[2] Al-Bukhariy, Op.cit., Juz 1, h. 56
[3]Al-Asqalaniy, Op.cit., Juz 1, h. 375
[4] Abu Daud, Op.cit., Juz 3, h. 321
[5] Al-Bukhariy, Juz 2, h. 1282
[6]Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib Al-Nasa’iy, Sunan an-Nasâ’iy, Juz 6, h. 573; Al-Bayhaqiy, Sunan al-Bayhaqiy, Juz 2, h. 411 dalam al-Maktabah al-Syâmilah.
[7]Muhammad Athiyah Abrasyi,, al-Tarbiyat al-Islamiyyat wa Falasifatuha, (Mishr: Isa al-Babiy al-Halabiy wa Syurakah, t.th.), h. 225
[8]Al-Bukhari, Op.cit., Juz 1, h. 4
[9]Al-Asqalani, Op.cit.,  Juz 1, h. 18
[10]Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Jilid 2, (Semarang: Asy-Syifa', t.th.), h. 177
[11]Husain Mazhahiri, Jihad Melawan Hawa Nafsu, Judul Asli, "Jihâd al-Nafs", Terjemahan Ahmad Subandi, (Jakarta: Lentera, 2009), cet.ke-3, h. 221. Menurut Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin ikhlas (tulus, murni), bersih dan terbebas dari tujuan untuk selain Allah. Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasauf, T.tp.: Amzah, 2005, Cet.ke-1, h. 85
[12]Al-Bukhariy, Op.cit., Juz 1, h, 53
[13]Ibnu Hajar, Op.cit., Juz 1, h. 253
[14]Muhammad Suwaid., Op.cit., h. 248
[15]Al-Bukhariy, Op.cit., Juz 4, 2441